Biografi KH. Dimyathi Syafi'e

 
Biografi KH. Dimyathi Syafi'e

Daftar Isi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga KH. Dimyathi Syafi’e
1.3  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan KH. Dimyathi Syafi’e

2.1  Guru-guru KH. Dimyathi Syafi’e

3.  Penerus KH. Dimyathi Syafi’e

3.1  Anak-anak KH. Dimyathi Syafi’e
3.2  Murid-murid KH. Dimyathi Syafi’e

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah KH. Dimyathi Syafi’e

4.1  Sekilas Perjalanan Hidup KH. Dimyathi Syafi'e
4.2  Peran KH. Dimyathi Syafi'e Dalam Kemerdekaan RI
4.3  Peran KH. Dimyathi Syafi'e di Nahdlatul Ulama (NU)
4.4  Mendirikan Kembali Pesantren Pasca Kemerdekaan
4.5  Metode Pendidikan dan Pengajaran KH. Dimyathi Syafi'e
4.6  Karya-karya KH. Dimyathi Syafi'e

5.  Keteladanan KH. Dimyathi Syafi’e

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Muhibbut Thobari atau yang akrab dipanggil KH. Dimyathi Syafi’e, adalah anak ke kesembilan dari sepuluh bersaudara. KH. Dimyathi merupakan putra dari pasangan KH. Syafi’i dan Nyai Munthasiroh pada tahun 1912, di sebuah desa kecil, Wonokromo di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Dari jalur ayahnya, Kyai Dim masih merupakan keturunan ketujuh dari Kyai Ageng Kalimundu. Tepatnya, Kyai Dimyathi bin Kyai Syafi’i bin Kyai Irsyad bin Kyai Mubarok bin Kyai Ageng Minak bin Kyai Ageng Kalimundu.

1.2 Riwayat Keluarga KH. Dimyathi Syafi’e
KH. Dimyathi Syafi'ie telah dikaruniai 2 putra dan 5 putri dari tiga istrinya. Dua putra Beliau yakni KH. Hamadulloh Dimyathi dan KH. Hazim Fikri, sedangkan putrinya sebagian besar dipinang oleh Pengasuh Pondok Pesantren. 
Dari istri pertama

  1. Hj. Habibah (Srono),

Dari istri kedua, Nyai Saudah binti Kyai Hadist Tugung

  1. Nyai Hj. Halimah (Istri KH. As'adi Sufyan Pengasuh ke II Pondok Pesantren Kepundungan),
  2. Nyai Hj. Hamdah (Istri Kyai Basuni Bukhori Pengasuh Pondok Pesantren Yayasan Islam Nahdlatuth Thalabah Yasinat, Kesilir, Wuluhan, Jember),
  3. Nyai Hj. Hakimah (Pengasuh putri Pondok Pesantren Kepundungan )
  4. KH. Hamadulloh Dimyathi (Pengasuh ke III Pondok Pesantren Kepundungan dan Pendiri Yayasan Pendidikan Islam An-Naso'ih/ YAPINNAS, Kunir Singojuruh Banyuwangi),
  5. KH. Hazim Fikri Dimyathi (Pengasuh Pondok Pesantren Kepundungan dan Kepala Madrasah Diniyyah Nahdlatuth Thullabb).

Dari istri ketiga

  1. Nyai Hj. Hafidhoh (Istri KH. Wildan Suyuthi, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo, Bangorejo, Banyuwangi).

1.3 Wafat

Pada tahun 1959 setelah usai merampungkan pembangunan gedung pesantrennya dan menyediakan cukup lahan untuk para santrinya menopang kehidupan dan biaya belajar selama di sana, KH Dimyathi Syafe’I berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah atau Makkah al-Mukarramah. Namun di sanalah rupanya beliau datang untuk menghadap kepada Rabb-nya pada usia 47 tahun. Sebuah pemakaman tanpa penghormatan militer, meskipun beliau selalu berada di garis terdepan dalam pertempuran melawan tentara-tentara Belanda.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan KH. Dimyathi Syafi'e

Terlahir dari keluarga terpandang (priyayi), membuat Kyai Dim, memiliki akses pendidikan yang cukup. Beliau dididik langsung oleh orang tuanya.
Namun pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya, hanya sebentara, karena saat usia menginjak lima tahun, ayahandanya meninggal dunia. Kemudian, pendidikannya dilanjutkan oleh pamannya, Kyai Kholil.

2.1 Guru-guru KH. Dimyathi Syafi'e

  1. KH. Syafi’i
  2. KH. Kholil
  3. KH. Abdullah Faqih di Pesantren Cemoro, Songgon.
  4. Kyai Abdullah Sujak di Pesantren Idham Sari, Genteng
  5. Syekh Dimyati At-Turmusi Tremas Pacitan

3. Penerus KH. Dimyathi Syafi'e

3.1 Anak-anak KH Dimyathi Syafi'e

  1. Hj. Habibah (Srono),
  2. Nyai Hj. Halimah (Istri KH. As'adi Sufyan Pengasuh ke II Pondok Pesantren Kepundungan),
  3. Nyai Hj. Hamdah (Istri Kyai Basuni Bukhori Pengasuh Pondok Pesantren Yayasan Islam Nahdlatuth Thalabah Yasinat, Kesilir, Wuluhan, Jember),
  4. Nyai Hj. Hakimah (Pengasuh putri Pondok Pesantren Kepundungan )
  5. KH. Hamadulloh Dimyathi (Pengasuh ke III Pondok Pesantren Kepundungan dan Pendiri Yayasan Pendidikan Islam An-Naso'ih/ YAPINNAS, Kunir Singojuruh Banyuwangi),
  6. KH. Hazim Fikri Dimyathi (Pengasuh Pondok Pesantren Kepundungan dan Kepala Madrasah Diniyyah Nahdlatuth Thullabb).
  7. Nyai Hj. Hafidhoh (Istri KH. Wildan Suyuthi, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo, Bangorejo, Banyuwangi).

3.2 Murid-murid KH. Dimyathi Syafi'e

  1. KH. As'adi Sufyan Pengasuh ke II Pondok Pesantren Kepundungan
  2. Kyai Basuni Bukhori Pengasuh Pondok Pesantren Yayasan Islam Nahdlatuth Thalabah Yasinat, Kesilir, Wuluhan, Jember
  3. KH. Wildan Suyuthi, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo, Bangorejo, Banyuwangi

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah KH. Dimyathi Syafi'e

4.1 Sekilas Perjalanan Hidup KH. Dimyathi Syafi'e

Kyai Dim, sapaan Kyai Dimyati, terlahir dengan nama Muhibbut Thobari. Beliau anak kesembilan dari sepuluh bersaudara, putra pasangan KH. Syafi’i dan Nyai Munthasiroh pada tahun 1912, di sebuah desa kecil, Wonokromo di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dari jalur ayahnya, Kyai Dim masih merupakan keturunan ketujuh dari Kyai Ageng Kalimundu. Tepatnya, Kyai Dimyathi bin Kyai Syafi’i bin Kyai Irsyad bin Kyai Mubarok bin Kyai Ageng Minak bin Kyai Ageng Kalimundu.

Terlahir di keluarga terpandang (priyayi), membuat Thobari, panggilan masa kecil Kyai Dimyati, memiliki akses pendidikan yang cukup. Ia dididik langsung oleh orang tuanya. Akan tetapi, saat usia menginjak lima tahun, ayahandanya meninggal dunia. Kemudian, pendidikannya dilanjutkan oleh pamannya, Kyai Kholil. Dari pendidikan dasar yang berkualitas itulah, terbentuk karakter Thobari yang haus ilmu dan sosok yang sholeh. Karakter yang terbentuk hingga dewasa kelak.

Kegemaran Thobari pada ilmu semakin kentara ketika pindah ke Banyuwangi. Pada 1922, ibundanya, Nyai Munthasirah, hijrah ke ujung Timur Pulau Jawa itu. Ibunya yang menjanda setelah ditinggal wafat orang tuanya mengadu nasib untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Meski berada di lingkungan keluarga terpandang dan berkecukupan, namun hal itu tak membuat Nyai Munthasirah menggantungkan hidup pada uluran tangan keluarga besarnya. Beliau mendidik anak-anaknya untuk mandiri.

Di Banyuwangi, Nyai Munthasirah dan anak-anaknya tinggal di Desa Kebaman, Kecamatan Srono. Di tanah rantau inilah, beliau membesarkan kesepuluh putra putrinya. Dengan kerja keras dan doa yang tak pernah berhenti dilafalkan tiap melakukan aktivitas. Meski keadaan ekonomi keluarga masih belum stabil, gejolak Thobari untuk menuntut ilmu tak pernah padam. Setelah membujuk ibu yang sebelumnya menolak, Thobari diperbolehkan untuk melanjutkan mengaji.

Beliau mengaji kepada KH. Abdullah Faqih di Pesantren Cemoro, Songgon. Sekitar 20 kilometer dari kediaman orang tuanya. Setahun lamanya Thobari nyantri kepada kyai yang terkenal dengan ilmu haditsnya tersebut. Kemudian, beliau melanjutkan mengaji kepada Kyai Abdullah Sujak di Pesantren Idham Sari, Genteng. Tiga tahun lamanya Thobari menuntut ilmu agama di sana. Baru pada tahun keempat beliau mengajukan izin kepada guru dan orang tuanya untuk melanjutkan belajar ke Pesantren Termas, Pacitan. Beliau akan belajar kepada Syekh Dimyati At-Turmusi. Seorang ulama besar tanah Jawa yang reputasinya tersohor hingga ke Timur Tengah.

Walaupun keranjingan menuntut ilmu, Thobari menyadari betul beban berat sang ibu yang hidup seorang diri merawat saudara-saudaranya. Oleh karena itu, beliau tak ingin membebani ibunya untuk menanggung biaya pendidikan. Beliau berusaha untuk mencukupi semua kebutuhannya dengan mandiri. Seperti halnya saat mondok di Termas, Thobari mengandalkan keahliannya dalam menyalin dan memberi makna (Jawa: ngesahi) pada kitab kuning. Saat itu, percetakan kitab tak semudah dan semurah saat ini. Jadi, untuk memiliki kitab tertentu, para santri harus menulisnya secara langsung. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh Thobari sebagai ladang usahanya.

Saat itu, Thobari tidaklah seorang diri yang menghidupi dirinya dengan cara menjadi buruh penulis kitab. Tapi juga diikuti oleh para santri lainnya. Salah satu kawannya saat itu, ialah KH. Masduqi Lasem. Mereka menulis dan memberi makna beragam kitab. Mulai dari kitab-kitab dasar seperti Jurumiyah, Safinah dan Taqrib, hingga kitab-kitab babon seperti halnya Fathul Wahab, Ihya Ulumuddin, Tafsir Jalalain, dan Shohih Bukhori.

Dari aktivitasnya menjadi buruh penulis kitab tersebut, Thobari meraih manfaat ganda. Beliau tak hanya mendapatkan upah dari kegiatannya tersebut, tapi juga memberikan kesempatan untuk belajar yang lebih dibanding santri lainnya. Karena beliau harus mengkaji dan mempelajari kitab-kitab tersebut dalam intensitas yang lebih. Berkat ketekunannya dalam belajar itulah, Thobari dikenal sebagai santri yang alim. Kecerdasan tersebut, membuat kyainya, Syekh Dimyati begitu menyayanginya. Sebagai bentuk rasa sayangnya, nama Muhibut Thobari diganti sebagaimana nama gurunya tersebut, Dimyati. Di Pesantren Termas, Pacitan Thobari atau yang telah berganti nama menjadi Dimyati itu, mengenyam pendidikan selama tujuh tahun. Setelah dirasa cukup, sang ibu, Nyai Munthasirah memintanya untuk pulang.

Sekembalinya ke Banyuwangi, Dimyati muda mulai mendapatkan panggung di tengah masyarakat. Beliau mulai sering diundang mengisi pengajian keliling kampung. Beliau pun dikenal dengan sebutan Kyai Dimyati Syafi’i. Nama yang terakhir tersebut, dinisbatkan kepada nama ayahnya.
Sebagai ulama muda, Kyai Dim menjadi sosok yang cukup progresif. Beliau merintis pesantren yang diberi nama Darul Falah pada 1935. Namun, kelak, nama tersebut diganti menjadi Nahdlatut Thulab. Sebuah nama yang mensiratkan semangat baru, “Kebangkitan Para Santri”.
Kiprah Kyai Dimyati sebagai ulama muda terus mendapat simpati masyarakat. Beliau tak hanya dikenal sebagai ulama yang mumpuni keilmuwannya, tapi juga sosok yang dikenal aktif dalam dunia pergerakan. Pelan namun pasti, beliau semakin di tokohkan.

Pada 1944, atas restu para ulama di Bumi Blambangan, beliau dipercaya sebagai Rois Syuriah PCNU Blambangan, yang baru saja dirintis sebagai pengembangan dari PCNU Banyuwangi, yang telah ada sebelumnya. Memasuki masa revolusi, dimana Belanda bersama Sekutu melakukan agresi militer lagi ke Indonesia. Kyai Dim bersama para santri yang tergabung dalam barisan Hizbullah tidak bisa tinggal diam. Beliau aktif memimpin gerilya melawan kompeni yang masuk ke Banyuwangi. Untuk mengelabui Belanda, beliau melakukan aktivitas tak ubahnya pesantren biasa. Pada siang hari mereka mengaji sebagaimana biasa. Tapi tatkala malam mulai menyelimuti, mereka mulai melakukan aksi-aksi penyerangan kepada pasukan Belanda yang berkeliaran.

Namun, karena ada pengkhianatan dari salah seorang tetangga, aktivitas tersebut terbongkar oleh Belanda. Pesantren Nahdlatut Thulab/ Pondok Pesantren Kepundungan diserang dan dibumi hanguskan oleh Belanda. Pesantren tersebut kembali dibangun pada 1952. Tiga tahun setelah masa revolusi fisik telah berakhir.
Sosok Kyai Dimyati yang muda, progresif dan alim tersebut, benar-benar mewarnai dunia ke Islaman di Banyuwangi. Peranannya sebagai ulama dan aktivis pergerakan mengukuhkannya sebagai tokoh besar. Meski demikian, Allah memiliki skenario lain. Kiprahnya yang begitu luar biasa di usia muda, seolah mengejar target pengabdian pada umat di usianya yang pendek.

Kyai Dimyati Syafi’i menghembuskan nafas terakhirnya pada 1955. Usianya kala itu baru menginjak 47 tahun. Ia meninggal dunia tatkala menunaikan ibadah haji bersama adik perempuannya, Maryam. Keduanya meninggal dunia dan dimakamkan di tanah suci Makkah. Pesantren, NU, dan setangkup perjuangan menjadi warisan darinya. Suatu simbol dari semangat keilmuwan, perjuangan dan pengabdian yang patut diteladani oleh generasi muda saat ini

KH. Dimyathi Syafi'i yang lebih di kenal dengan panggilan Mbah Dim adalah pendiri Pondok Pesantren Kepundungan, salah satu Pesantren Islam yang tertua di Banyuwangi dan Pesantren yang ikut serta dalam berjuang meraih kemerdekaan Indonesia di tanah Blambangan.

4.2 Peran KH. Dimyathi Syafi'e Dalam Kemerdekaan RI

Pada zaman-zaman perjuangan merebut kemerdekaan, banyak sekali korban yang harus dipertaruhkan oleh bangsa Indonesia. Tak terhitung lagi korban yang telah dipersembahkan demi sebuah emerdekaan. Bukan sekadar harta dan nyawa, tetapi juga perasaan terhinakan karena terus dikejar-kejar dan terusir dari kampung halaman.

Namun tentu saja banyak sekali para pahlawan yang justru memanfaatkannya untuk berjuang di dua ranah, yakni perjuangan fisik dengan mengangkat senjata dan perjuangan dakwah dengan mendidik generasi penerus bangsa. Salah satu di antara sekian banyak para pahlawan bangsa yang berjuang di dalam dua medan perjuangan sekaligus ini adalah KH Dimyathi Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb/ Pondok Pesantren Kepundungan Kabupaten Banyuwangi.
Seorang ulama kharismatik yang telah memiliki banyak jasa bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Beliau adalah salah satu di antara para ulama Nahdlatul Ulama dengan andil besar dalam perjuangan fisik yang berpuncak pada meletusnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. Salah satu bentuk sumbangsih nyata bagi perjuangan fisik merebut kemerdekaan adalah fatwanya yang berbunyi, seluruh santri santri di daerah Banyuwangi selatan (kawasan Blambangan lama) wajib masuk Hizbullah. Fatwa ini memiliki konsekuensi yang cukup besar bagi santri-santri di kawasan Banyuwangi selatan. Dengan adanya fatwa ini, para santri memiliki tugas ganda. Pada malam hari mereka harus mengendap-endap untuk menyerang pos-pos keamanan tentara Belanda dan Jepang.

Sementara pagi harinya mereka kembali memeluk kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran agama. Walhasil sebenarnya mereka belajar di atas timbunan amunisi dan mesiu hasil rampasan dari tentara penjajah. Memang secara struktural, KH Dimyathi adalah Komandan Hizbullah laskar pejuang yang berafiliasi ke NU untuk wilayah Blambangan selatan. Kegiatan ganda semacam ini di jalani oleh KH Dimyathi bersama dengan santri-santrinya di Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb. Bukan tanpa risiko, selain menantang bahaya pada malam hari, mereka juga selalu diintai bahaya pada keesokan hari ketika mereka sedang mengaji. Banyaknya intel penjajah yang berkeliaran membuat keselamatan mereka selalu dipertaruhkan setiap saat.

Selain mengasuh Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb/ Pondok Pesantren Kepundungan, KH Dimyathi juga dipercaya sebagai Rois Suriyah I Nahdlatul Ulama cabang Blambangan saat itu Banyuwangi selatan. Sementara pada waktu tersebut Pengurus Tanfidiyah dipercayakan kepada K h. Syuja’i. Keduanya, bersama para ulama lain, bahu membahu memimpin penduduk di sana untuk melawan penjajahan. Baik secara fisik maupun melawan terhadap segala dampak buruk penindasan Belanda dan Jepang, termasuk kebudayaan negative yang dibawa oleh setiap pemerintah penjajah. Keadaan ini berlangsung terus hingga masa-masa setelah kemerdekaan. Dalam mempertahankan kemerdekaan, para santri terus melakukan penyerangan-penyerangan terhadap pos-pos tentara Belanda pada malam hari. Maka benar saja, lama kelamaan perlawanan mereka pun tercium oleh Belanda. Sehingga pondok pesantren yang dipimpinnya pun digerebek oleh tentara Belanda.

Seluruh bangunan dibakar, termasuk bangunan pesantren dan tempat tinggal KH. Dimyathi diratakan dengan tanah oleh Belanda. Seluruh kitab-kitabnya sebanyak dua lemari besar pun habis di makan api. Karena di bawah bangunan pesantren banyak tertanam amunisi dan mesiu hasil rampasan para santri ketika bergerilya malam hari, maka akibat pembakaran semakin menjadi-jadi. Mesiu-mesiu ini mengakibatkkan api yang melalap gedung pesantren semakin menyala menjadi-jadi dan menimbulkan ledakan-ledakan hebat.

Meski para santri telah diperintahkan menyingkir dan berpencar, salah seorang santri bernama Muhammad Fadlan tertembak dan gugur pada penyerangan Belanda tersebut. Muhammad Fadlan kemudian dikuburkan sebagai syuhada dan dipindahkan ke Makam Pahlawan Banyuwangi pada tahun 1962.

Sementara KH Dimyathi ditangkap oleh Belanda dan ditahan selama 27 bulan hingga pertengahan tahun 1949. Komandan Hizbullah Blambangan selatan ini sebenarnya sudah hampir dieksekusi oleh Belanda. Namun menurut beberapa cerita, ketika menjelang hari-hari eksekusi, dokumen-dokumen pidananya oleh Belanda ternyata hilang dan tidak pernah ditemukan lagi. Sehingga eksekusi tidak pernah benar-benar dilaksanakan, sampai waktunya beliau dibebaskan karena kekalahan-kelahan Belanda di Indonesia.

4.3 Peran KH. Dimyathi Syafi'e di Nahdlatul Ulama (NU)

KH Dimyathi benar-benar menjadikan hidupnya sebagai pengabdian sepenuhnya kepada sesama, termasuk kepada orang-orang dari tanah kelahirannya, Yogyakarta. Di manapun para alumni berada, biasanya mereka mendapatkan solusi terkait relasi yang ditunjukkan oleh KH Dimyathi.
Dalam memperjuangkan NU KH Dimyathi tidak pernah melupakan silaturahmi, dibuktikan dengan keberadaan kunjungan menteri agama Republik Indonesia yang pertama ke Pondok Pesantren Kepundungan, yakni KH A. Wahid Hasjim, tetapi untuk KH Saifuddin Zuhri dan KH Muhammad Dahlan melakukan kunjungan ke Pondok Pesantren Kepundungan tatkala beliau belum menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Meski sudah ada pejabat negara di tingkat pusat yang berkunjung, tetapi tamu-tamu ini tetap bersikap santai di Pesantren. Mereka biasa tidur-tiduran dan bercengkerama dengan santri di pendopo pesantren.

Terpenting KH Dimyathi selalu menanamkan jiwa ke-NU-an di hati anak didiknya. Beliau menyatakan ingin hidup sebagai orang NU dan kelak jika meninggal pun sebagai orang NU. KH Dimyathi mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemajuan NU.

4.4 Mendirikan Kembali Pesantren Pasca Kemerdekaan

Setelah keluar dari tahanan Belanda dan bangsa Indonesia kembali menata kehidupannya dengan merdeka, maka Kyai Dim kembali membangun pesantrennya. Pada tahun 1950 Kyai Dim mengumpulkan para tokoh agama di wilayah Banyuwangi selatan, dan pada tahun 1951 beliau secara resmi mengasuh Pesantren Nahdlatut Thullab/ Pondok Pesantren Kepundungan kembali.

Pada tahun 1957 Beliau dan keluarganya mendirikan Yayasan Nahdlatut Thullab. Beberapa saudara-saudara dan relasi keluarga Kyai Dim kemudian mengajukan permohonan kepada Presiden Soekarno di Jakarta. Rupanya pengajuan ini berhasil dan mendapatkan dana yang cukup untuk membangun kembali kompleks pesantren yang telah dibumihanguskan Belanda tersebut. Dana dari Presiden Soekarno ini rupanya diirit-irit oleh panitia pembangunan, sehingga memiliki sisa yang cukup untuk dibelikan sawah seluas 5 hektare yang kemudian dikelola oleh para santri untuk menunjang kehidupan mereka selama mondok di Pesantren Nahdlatut Thullab/ Pondok Pesantren Kepundungan. Metode penggarapan sawah oleh santri ini merupakan perluasan manfaat yang didapatkan oleh KH.  Dimyati dari pengalamannya selama Beliau menuntut ilmu di berbagai pesantren di Jawa Timur. Menurut ceritanya, dahulu sewaktu

Para santri di Nahdlatut Thullab tidak harus membawa bekal atau dibekali oleh orang tuanya dari rumah. Asalkan santrinya bekerja keras tentu dapat menopang kehidupan dan membiayai pendidikannya selama di pesantren. Karenanya, dana pembangunan pesantren yang dari Presiden Soekarno disisakan untuk membeli lahan, agar para santri tidak membebani orang tua masing-masing.

Kenyataan ini adalah yang sebenarnya, karena entah kebetulan atau tidak, jumlah santrinya tidak pernah lebih dari kapasitas lahan yang tersedia untuk menopang kehidupan dan kebutuhan belajar mereka. Sehingga KH Dimyati dapat benar-benar mendidik mereka dengan seksama, termasuk ketika harus membina mereka sebagai laskar Hizbullah pada kegelapan malam. Mengendap-endap dan menyergap musuh, untuk merangkul kitab kuning pagi harinya di pesantren.

4.5 Metode Pendidikan dan Pengajaran KH. Dimyathi Syafi'e

Dalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyathi lebih mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya menyimak dengan saksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyathi adalah “sorogan tak langsung”. Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang telah dibaca oleh sang kyai beberapa hari sebelumnya. Jadi para santri secara otomatis akan mendengarkan dengan saksama ketika sang Kyai sedang membacakan, karena mereka harus mengulanginya secara terjadwal.

Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyathi di Pesantrennya adalah metode bandongan. Dalam mekanisme bandongan sang kyai bebas menerangkan agar para santri mengerti maksud-maksud tersirat dari teks-teks kitab yang sedang dipelajari. Cara ini lazim digunakan di madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga pesantren-pesantren Nusantara lainnya. Selama mengasuh Pesantren, selain terlibat dalam perjuangan melawan para penjajah, KH Dimyathi juga masih sempat untuk membuat karangan kitab baik fan fiqih atau adab. Karangan ini semuanya berbentuk Nadzom. Nadzom karangan KH Dimyati ini berjudul Nadzom Safinah Jawa dan Muidzotus Syibyan.

Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb / Pondok Pesantren Kepundungan sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat mulai dari nahwu,shorof dan i'lal. Meski tentu saja ilmu fiqih dan tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya. Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH Dimyathi, kehebatan Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya . Melalui pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyong dapat membetulkan dan meneguhkan iman dari masyarakat daerahnya sendiri.

Banyak dari beberapa alumni karena sangat besar kadar kecintaan kepada gurunya dan semangat dalam belajar, mereka memperoleh kebaikan yang begitu banyak, terutama terbukanya Futuh Ilmu yang selama ini terhijab. Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami pelajaran saat itu juga, tetapi setelah keluar dan mengabdi untuk masyarakat, mereka tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH Dimyathi sewaktu di Pesantren dahulu.

Metodenya pembelajaran KH Dimyathi sebenarnya sangat sederhana sekali. Namun karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka mereka mendapatkan semacam pencerahan. Hal pertama yang ditancapkan kepada para santri adalah Al-Qur’an. Para santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca Al-Qur’an di sepanjang hari, di setiap aktivitas mereka. Kemudian barulah didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar nahwu shorof serta ilmu-ilmu lainnya.

Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyathi adalah pendidikan bilhal/ bifi’li. Yakni pendidikan praktik langsung, bukan hanya teori. KH Dimyathi terkenal suka mengajak para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.

4.5 Karomah KH. Dimyathi Syafi'e

KH. Musthofa Bisri menceritakan pertemuannya dengan Kyai Hambali Pemalang, ada cerita yang sungguh luar biasa, misalnya Kyaia Hambali cerita saat mondok ke pesantren tua Termas dan bertemu Allah yarham Kyai Dim. Dalam bahasa Pekalongan yang medok, beliau menceritakan waktu pertama kali datang di Termas ditanya Kyai Dim, "Naik apa dari Pemalang?" beliau menjawab, "Jalan kaki." | "Berapa lama?" | "16 hari" | "Ah, masih lama aku," kata Kyai Dimyathi; "Ketika aku mencari ilmu ke Uzbekistan, jalan kaki sampai 2 tahun" .

Kyai Dim mondok Termas mulai tahun 1912 hingga tahun 1922. Kemudian ke Mataram, Lombok Barat dengan berjalan kaki 26 hari. Ngaji ke Kyai Hasan Hariri. Beliau juga cerita tentang Kyai Abdul Manan bin Kyai Dzulkifli Weleri yang merobohkan pohon dengan diameter 5 meter dari alas Roban dan memotongnya 4 bagian.

Dua di antaranya diperuntukkan Kyai Dimyathi, untuk soko guru mesjid Termas dan Kyai Saleh Darat, dibuat bedug. Beliau sempat mengritik kyai-kyai yang ikutan menjadi tim sukses di pemilihan umum, pilpres maupun pilkada; tentang adanya 'haji hadiah' dari pemerintah; sampai dengan bicara soal kekayaan Indonesia, termasuk produksi emas Freeport, yang kemanfaatannya tidak kembali kepada rakyat."

4.6 Karya-karya KH. Dimyathi Syafi'e

K.H. Dimyathi Syafi'ie mempunyai beberapa tulisan dan catatan-catatan.Namun dengan berlangsungnya pembakaran Pondok Pesantren Kepundungan oleh pihak Belanda, maka beberapa pemikiran KH. Dimyathi Syafi'ie yang sudah terbukukan dalam beberapa kitab belum bisa terselamatkan. Dengan kekurangan informasi itulah, maka penulis masih berusaha mengumpulkan beberapa kitab beliau yang masih bisa diketahui, dan salah satu kitab didapatkan adalah:

  1. Syi'ir Safinatun Najah (Syi'ir bahasa Jawa kitab Safinah.
  2. Syi'ir Jawen Li Mau'idhoti As-Shibyan (Syi'ir bahasa Jawa untuk nasihat anak-anak muda).

Karangan ini berbentuk nadzam (semacam pantun dalam bahasa Arab), yang menggunakan susunan rima ab ab. Nadzam karangan KH. Dimyathi ini berjudul Muidzotus Syibyan (Nasehat untuk para Remaja). Pesantren Nahdlatut Thullab/ Pondok Pesantren Kepundungan sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat, nahwu dan shorof.

Meski tentu saja kitab-kitab tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya. Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH. Dimyathi, kehebatan Pesantren Nahdlatut Thullab/ Pondok Pesantren Kepundungan adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya. Melalui pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyongan dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah ketuhanan kepada masyarakat di daerah alumni itu sendiri.

Beberapa santri bahkan menyatakan ilmu-ilmu tersebut dapat mereka kuasai secara ”laduni”. Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami pelajaran saat itu juga, namun setelah keluar dan mengabdi untuk masyarakat, mereka tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH. Dimyathi sewaktu di pesantren dahulu.

Metodenya pembelajaran KH. Dimyathi sebenarnya sangat sederhana sekali. Namun karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka mereka mendapatkan semacam pencerahan. Hal pertama yang ditancapkan kepada para santri adalah Al-Qur’an. Para santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca Al-Qur’an di sepanjang hari, di setiap aktifitas mereka.

Kemudian barulah didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar nahwu shorof serta ilmu-ilmu lainnya. Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyati adalah pendidikan bilhal/bifi’li. Yakni pendidikan praktek langsung, bukan hanya teori. KH Dimyati terkenal suka mengajak para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.

Beberapa santri bahkan menyatakan, sifat kewiraan KH. Dimyathi banyak menitis/menurun kepada anak didiknya. Mereka sering didatangi oleh KH. Dimyathi jika melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran KH Dimyati. Jika mereka mengalami hambatan atau kendala dalam kehidupan, kemudian bertawassul kepada KH. Dimyathi, maka biasanya mereka kemudian segera menemukan solusi dari permasalahan mereka.
“Semasa masih di pondok, para santri seakan tidak merasakan keistimewaan menimba ilmu kepada KH Dimyati, namun setelah mereka kembali pulang ke daerahnya masing-masing, barulah mereka mengerti keistimewaan tinggal di pondok ini. Kebanyakan para santri baru menyadari manfaat menimba ilmu di Pesantren Nahdlatut Thullab/ Pondok Pesantren Kepundungan, Kaliogoro Kepundungan Srono Banyuwangi, ini setelah berdakwah di rumah,” demikian diungkapkan KH Syaifullah Ali Subagiono, Pengasuh Pondok Pesantren al-Hikmah, Ketapang Banyuwangi.

5.  Keteladanan KH. Dimyathi Syafi'e

KH. Dimyathi Syafi'i yang lebih di kenal dengan panggilan Mbah Dim adalah pendiri Pondok Pesantren Kepundungan, salah satu Pesantren Islam yang tertua di Banyuwangi dan Pesantren yang ikut serta dalam berjuang meraih kemerdekaan Indonesia di tanah Blambangan.
Sosok Kyai Dimyati yang muda, progresif dan alim tersebut, benar-benar mewarnai dunia ke Islaman di Banyuwangi. Peranannya sebagai ulama dan aktivis pergerakan mengukuhkannya sebagai tokoh besar. Meski demikian, Allah memiliki skenario lain. Kiprahnya yang begitu luar biasa di usia muda, seolah mengejar target pengabdian pada umat di usianya yang pendek.

Seorang ulama kharismatik yang telah memiliki banyak jasa bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Beliau adalah salah satu di antara para ulama Nahdlatul Ulama dengan andil besar dalam perjuangan fisik yang berpuncak pada meletusnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. Salah satu bentuk sumbangsih nyata bagi perjuangan fisik merebut kemerdekaan adalah fatwanya yang berbunyi, seluruh santri santri di daerah Banyuwangi selatan (kawasan Blambangan lama) wajib masuk Hizbullah. Fatwa ini memiliki konsekuensi yang cukup besar bagi santri-santri di kawasan Banyuwangi selatan.

Dalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyathi lebih mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya menyimak dengan saksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyathi adalah “sorogan tak langsung”. Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang telah dibaca oleh sang kyai beberapa hari sebelumnya. Jadi para santri secara otomatis akan mendengarkan dengan saksama ketika sang Kyai sedang membacakan, karena mereka harus mengulanginya secara terjadwal.

Beberapa santri bahkan menyatakan, sifat kewiraan KH. Dimyathi banyak menitis/menurun kepada anak didiknya. Mereka sering didatangi oleh KH. Dimyathi jika melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran KH Dimyati. Jika mereka mengalami hambatan atau kendala dalam kehidupan, kemudian bertawassul kepada KH. Dimyathi, maka biasanya mereka kemudian segera menemukan solusi dari permasalahan mereka.

___________________________

Diambil dari berbagai sumber

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 06 Juni 2016
Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan revisi


Editor : Achmad Susanto

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya