Menyoal Qurban untuk Orang yang Telah Meninggal

 
Menyoal Qurban untuk Orang yang Telah Meninggal
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ada sebagian umat Islam yang melakukan qurban untuk orang yang telah meninggal. Mengenai persoalan ini, Imam Nawawi membahasnya di dalam kitab beliau bernama Minhajut Tholibin. Imam Nawawi menyatakan dengan tegas bahwa hukumnya tidak sah melakukan qurban untuk orang yang telah meniggal dunia, kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat. 

Berikut pernyataan Imam Nawawi di dalam Kitab Minhajut Tholibin;

وَلَا تَضْحِيَّةَ عَنِ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إِنْ لَمْ يُوْصِ بِهَا. انتهى

"Tidak ada qurban bagi orang lain tanpa mendapatkan izin, begitu juga tidak sah berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia apabila tidak ada wasiat untuk melakukan hal itu." (Minhajut Tholibin, hlm. 321)

Selain Imam Nawawi, ada Syaikh Khatib As-Syarbini yang juga berpendapat sama, sebagaimana terdapat dalam Kitab Mughnil Muhtaj. Syaikh Khatib mengatakan;

(وَلَا) تَضْحِيَّةَ (عَنْ مَيِّتٍ لَمْ يُوْصِ بِهَا) لِقَوْلِهِ تَعَالَى:{وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} فَإِنْ أَوْصَى بِهَا جَازَ، فَفِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ وَالْبَيْهَقِيْ وَالْحَاكِمِ: أَنَّ عَلِيَّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ عَنْ نَفْسِهِ وَكَبْشَيْنِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم، وَقَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم أَمَرَنِيْ أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ، فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ أَبَدًا. لَكِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ شَرِيْكٍ اَلْقَاضِيْ وَهُوَ ضَعِيْفٌ. وَقَدَّمْنَا أَنَّهُ إِذَا ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ يَجِبُ عَلَيْهِ التَّصَدُّقُ بِجَمِيْعِهَا، وَقِيْلَ تَصِحُ التَّضْحِيَّةُ عَنِ الْمَيِّتِ وَإِنْ لَمْ يُوْصِ بِهَا؛ لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنَ الصَّدَقَةِ، وَهِيَ تَصِحُ عَنِ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُهُ

 “Tidak sah qurban atas nama mayit yang tidak mewasiatkannya, karena firman Allah SWT(artinya): “Dan sesungguhnya bagi manusia hanyalah apa yang dia usahakan.” Jadi jika dia mewasiatkannya maka boleh. Di dalam Sunan Abi Dawud, Baihaqi dan Hakim diriwayatkan bahwa sesungguhnya Ali bin Abi Tholib pernah melakukan qurban dua kambing untuk dirinya dan dua kambing untuk Nabi Muhammad SAW, kemudian Ali berkata; ‘Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkanku agar berqurban untuknya, maka karena itu aku melakukannya terus. (riwayat ini dianggap dhoif). Tetapi jika memang telah melakukan qurban untuk orang lain, maka semua bagian qurban itu wajib disedekahkan (tidak boleh ikut ambil bagian). Ada yang mengatakan bahwa hukumnya sah melakukan qurban untuk orang yang sudah meninggal walaupun tidak berwasiat mengenai hal itu. Karena qurban merupakan sedekah dan bahwasanya bersedekah atas nama orang yang sudah meninggal itu hukumnya sah dan dapat memberi manfaat.” (Mughnil Muhtaj, juz 4, hlm. 292-293)

Syaikh Khatib menjelaskan bahwa tidak sah melakukan qurban atas nama seorang yang sudah meninggal, namun juga menyertakan ada pendapat lain yang memperbolehkan berdasarkan dengan keterangan Hadis mengenai apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Tholib. Kemudian dijelaskan pula bahwa jika memang qurban ini atas nama orang lain maka semua bagian qurban wajib disedekahkan. Dan jika memang qurban untuk orang lain ini adalah sah hukumnya, maka penilaian ini dilihat karena hakikatnya qurban adalah merupakan sedekah dan bahwa sedekah itu pahalanya bisa diperuntukkan bagi orang lain atau kepada orang yang sudah meninggal. Tentu hukumnya sah dan bisa memberikan manfaat.

Argumen yang dipaparkan oleh Syaikh Khatib mengenai diperbolehkannya qurban atas nama mayit di atas dengan hanya memperuntukkan pahalanya ini sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abul Hasan Al-Abbadi. Alasannya adalah bahwa qurban itu termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh mayoritas para ulama.

Pendapat Abul Hasan Al-Abbadi ini dicatat oleh Imam Nawawi di dalam Kitab  Al-Majmu’ Syarah Muhaddzab.

لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

“Adapun berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abul Hasan Al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma’ para ulama.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 8, hlm. 406)

Dalam perspektif Madzhab Syafi’i, pendapat yang kuat (shohih) adalah yang pertama yakni tidak boleh dan tidak sah berqurban untuk orang yang telah meningal tanpa wasiat. Pendapat ini juga dianut mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pijakan mayoritas Syafi’iyyah, namun pandangan kedua didukung oleh Madzhab Hanbali, Hanafi, dan Maliki.

Penjelasan perbedaan pendapat ini dipaparkan secara detail di dalam Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Berikut ini teks yang terkait;

إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ

“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dilakukan qurban atas namanya, kemudian ahli waris atau orang lain melakukan qurban untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri, maka dalam Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali qurban ini diperbolehkan. Hanya saja menurut Madzhab Maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka ini adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji” (Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, juz 5, hlm. 106-107)                                    

Dari berbagai pendapat dan adanya perbedaan dalam menghukumi qurban untuk orang lain atau orang yang telah meninggal ini, kita bisa mengambil solusi yang semua ulama menyepakatinya, yakni dengan memperuntukkan pahala qurban tersebut jika dikehendaki untuk orang yang telah meninggal, tetapi tetap atas nama orang yang berqurban itu sendiri.

Solusi terbaik ini berdasarkan satu riwayat Hadis yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah mengirim pahala qurban kepada seluruh umatnya, yang tentunya juga mencakup orang yang telah meninggal.

Ketika Rasulullah SAW menyembelih qurban, beliau berdoa:

بِاسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآل مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah terimalah qurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad.” (HR Muslim).

Demikian uraian singkat soal qurban yang diperuntukkan bagi orang yang telah meninggal. Semoga bermanfaat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 17 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Helmi Abu Bakar El-Langkawi (Dewan Guru Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga, Aceh)

Editor: Hakim