Sejarah Kesultanan Mataram Islam

 
Sejarah Kesultanan Mataram Islam

Daftar Isi

1.  Awal perkembangan Kerajaan Mataram Islam

2.  Sistem Pemerintahan di Kesultanan Mataram Islam  

3.  Perkembangan di Masa Pemerintahan Mataram Islam

3.1  Perkembangan di Bidang Politik
3.2  Perkembangan Bidang Ekonomi
3.3  Perkembangan di Bidang Sosial Budaya

4.  Dari Masa ke Masa Pemerintahan di Mataram Islam

4.1  Kyai Ageng Pamanahan ( Kyai Gede Pamanahan )
4.2  Panembahan Senopati ( Danang sutawijaya )
4.3  Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyakrawati / Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram )
4.4  Raden Mas Rangsang (Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma )( nama asli : Raden Mas Jatmika )
4.5  Amangkurat I (Sri Susuhunan Amangkurat Agung)
4.6  Amangkurat II (Nama asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat )
4.7  Amangkurat III (Nama aslinya adalah Raden Mas Sutikna )

5.  Peranan Kesultanan Mataram Islam Dalam Penyebaran Dakwah Wali Songo

6.  Referensi

 

1  Awal perkembangan Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Dalam sejarah Islam,Kesultanan Mataram memiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di Nusantara (Indonesia). Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak islam di Jawa. 

Nama Mataram berasal dari nama bunga, sejenis bunga Dahlia yang berwarna merah menyala. Ada juga nama Mataram yang dihubungkan dengan Bahasa Sansekerta, Matr yang berarti Ibu, sehingga nama Mataram diberi arti sama dengan kata Inggris Motherland yang berarti tanah air atau Ibu Pertiwi. Sebelum tahun 1000 M daerah ini telah berkembang suatu peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan Hindu. Pada abad ke-14 sewaktu Majapahit mencapai puncak kejayaan, bumi Mataram rupanya dipandang kurang penting. tidak terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa para raja Mataram kuno yang hidup beberapa abad sebelumnya masih dikenang di Majapahit. Sampai saat ini pun belum ada data-data yang mungkin dapat menghubungkan Mataram Islam yang berdiri akhir abad 16 dengan Mataram kuno.

Pada awalnya daerah Mataram dikuasai kesultanan Pajang sebagai balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram kepada Kyai Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh Kyai Ageng Pemanahan Mataram dibangun sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.Kyai Ageng Pemanahan untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. Beliau membangun pusat kekuatan di plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadirannya.

Pada tahun 1575, Pemanahan meninggal dunia. Beliau digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, beliau pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang. Sehingga, hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk.Hubungan yang tegang antara sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam peperangan ini, kesultanan Pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa pajak yakni Hadiwijaya meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati atau yang bergelar Panembahan Senopalti Ing Alaga Sayidin Pantagama. Letak kerajaan ini berada di Kotagede, Sebelah tenggara kota Yogyakarta. Senopati Ing Alaga. Beliau mulai membangun kerajaannya dan memindahkan senopati pusat pemerintahan ke Kotagede. Untuk memperluas daerah kekuasaanya, penembahan senopati melancarkan serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan menaklukkan Kyai Ageng Mangir dan Kyai Ageng Giring. Pada tahun 1590,ketika memerintah dikerajaan  Mataram,  banyak  bupati  yang  ingin  melepaskan  diri  dari  kekuasaannya. Diantara  para  bupati  yang  ingin  melepaskan  diri  dari  kekuasaannya  adalah  bupati Ponogorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan, Surabaya,  Cirebon  dan  Galuh. 

Namun upaya mereka  untuk  melepaskan  diri  tidak  berhasil  karena  Sutowijoyo  dikenal  memiliki keahlian di bidang kemiliteran berhasil mengatasi semua pemberontakan tersebut. Sebagai raja islam yang baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan itu untuk mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan agama islam, untuk menggantikan atau melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan pula dalam cerita babad bahwa cita-cita itu berasal dari wangsit yang diterimanya dari Lipura (desa yang terletak di sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang setelah mimpi dan pertemuan senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, ketika beliau bersemedi di Parangtritis dan Gua Langse di Selatan Yogyakarta. Dari pertemuan itu disebutkan bahwa kelak beliau akan menguasai seluruh tanah Jawa. Kemudian  pada  tahun  1601  Sutowijoyo  wafat.  Beliau  dimakamkan  di  kotagede. 

Meskipun  demikian  beliau  dinilai  telah  berhasil  meletakan  dasar-dasar  yang  kokoh  bagi kerajaan Mataram. Selanjutnya setelah Sutowijoyo wafat, kerajaan Mataram diperintah oleh Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak.Pada   awal   pemerintahan   terjadi   lagi   pemberontakan-pemberontakan   yang masing-masing  dilakukan  oleh  Demak  dan  Ponorogo.  Tetapi  Mas  Jolang  berhasil memadamkan pemberontakan tersebut. Pemberontakan terhadapnya tampaknya belum berakhir.  Pada  tahun  1612  Surabaya  melakukan  perlawanan.  Mas  Jolang  kemudian mengirimkan   tentaranya   berusaha   menumpas   pemberontakan.   Sementara   upaya memadamkan pemberontakan terus berlangsung dan belum berhasil dipadamkan, Mas Jolang wafat. Beliau dimakamkan di Kotagede.

Pengganti Mas Jolang bernama Adipati Martapura. Tetapi penggantinya ini tidak mampu menjalankan tugas pemerintahan karena keadaan fisik yang lemah serta sakit- sakitan.  Selanjutnya  untuk  meneruskan  pemerintahan  Adipati  Martapura  diganti  oleh Mas  Rangsang.  Beliau  ternyata  orang  kuat  yang  mampu  memimpin  pemerintahan.  Pada masa  pemerintahannya  kerajaan  Islam  Mataram  mencapai  kemajuan  yang  pesat  di bidang  petanian,  agama  dan  kebudayaan,  Mataram  ketika  itu  merupakan  kerajaan terhormat dan disegani tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lainnya.

Karya sastra berupa buku berjudul  Sastra  Gending  merupakan  hasil karya yang ditulis  oleh  Mas  Rangsang  sendiri.  Wayang  sebagai  kesenian  yang  digemari  rakyat berkembang   pesat   pula.Pada   masa   pemerintahan   Mas   Rangsang   (tahun   1633) ditetapkan  perhitungan  tahun  Islam  didasarkan  bulan.  Oleh  sebab  itu  Mas  Rangsang sebagai raja yang lebih terkenal dengan sebutan Sultan Agung.

2 Sistem Pemerintahan di Kesultanan Mataram Islam

Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak ada pada diri Sultan. Seorang Sultan atau Raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung antara Raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.Dengan sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan Senopati terus-menerus memperkuat pengaruh Mataram dalam berbagai bidang sampai beliau meninggal pada tahun 1601. beliau digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak (1601 – 1613).

Peran Mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah Mas Jolang meninggal, beliau digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram mencapai kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja Mataram ketiga. Beliau mendapat nama gelar Agung Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa beliau mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Beliau dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”. Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.

Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa.Pada tahun 1614, sultan agung mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada tahun 1615, kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat yang sangat strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun berhasil ditaklukkan. pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara mataram dan tentara surabaya, pasuruan, Tuban, Jepara, wirasaba, Arosbaya dan Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh tentara mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di tahun yang sama Lasem menyerah. Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat dipersatukan. 

Selanjutnya mataram berhadapan langsung dengan Surabaya. Untuk menghadapi surabaya, mataram melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu menggempur daerah-daerah pedalaman seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun 1625.Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram. Sukses besar tersebut menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk menantang kompeni yang masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun 1628, Mataram mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, untuk mengepung Batavia.

Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, Kyai ageng Juminah, Kyai Ageng Purbaya, Kyai Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan mataram bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. 

Bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah kerajaan islam yang mengemban amanat Tuhan di tanah Jawa. Oleh sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg ramadan, dan upaya pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.Sultan agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab Serat Sastra Gendhing. Adapun kitab serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra endhing berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja berisi tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis. Selain menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis sejarah babad tanah Jawi.

Di antara semua karyanya , peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh luas adalah dalam penanggalan. Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi kejawen dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan tahun hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh mataram. Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah, berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak berdirinya kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan Agung ini masih banyak digunakan.

Sejak masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah dilakukan. Satu yang layak disebut, panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612 m) pada masa mas jolang.Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah perebutan tahta, antara keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat penyebaran islam.

Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat,termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.

3 Perkembangan di Masa Pemerintahan Mataram Islam 

3.1  Perkembangan di Bidang Politik

Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.Sesudah  Kerajaan  Demak  runtuh,  Joko  Tingkir  (menantu  Sultan Trenggono) memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang. Joko Tingkir naik takhta dengan gelar Sultan Hadiwijaya, namun tidak lama (1568-1586). Hal ini  disebabkan  kota-kota  pesisir  terus  memperkuat  diri.  Ketika  Sultan meninggal (1586) dan digantikan putranya, Pangeran Benowo, kekacauan makin  tidak  terkendali.  Kekuasaan  kemudian  diserahkan  kepada Sutowijoyo, dan sekali lagi pusat pemerintahan dipindahkan ke Mataram. Sutowijoyo  mengangkat  dirinya  sebagai  raja  Mataram  dengan  gelar Panembahan Senopati (1586-1601) dengan ibukota kerajaan di Kota Gede. 

Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha ini di mulai dengan menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang,Pasuruhan, kemudian Surabaya. Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islam di Pulau Jawa ini ada yang dilakukan dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil menantu Bupati Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu Wandansari

Pengganti Panembahan  Senopati  adalah  Mas  Jolang.  Beliau  gugur  di  daerah  Krapyak dalam  upaya  memperluas  wilayah,  sehingga  disebut  Panembahan  Seda Krapyak. Raja terbesar Kerajaan Mataram ialah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). 
Sultan bercita-cita: 

  1. Mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram
  2. Mengusir kompeni (VOC) dari Batavia. 

Masa pemerintahan Sultan Agung selama 32 tahun dibedakan atas dua periode,  yaitu  masa  penyatuan  negara  dan  masa  pembangunan.  Masa penyatuan  negara  (1613-1629)  merupakan  masa  peperangan  Palembang, Sukadana (Kalimantan), dan Goa. Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan untuk menyerang  Batavia.  Serangan  pertama  dilancarkan  pada  bulan  Agustus 1628 di bawah pimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan Dipati Ukur dari Sumedang. Batavia dikepung dari darat dan laut selama 2 bulan, namun tidak mau menyerah bahkan sebaliknya akhirnya tentara Mataram terpukul mundur. Dipersiapkan serangan yang kedua dan dipersiapkan lebih matang dengan membuat pusat-pusat perbekalan makanan di Tegal, Cirebon dan Krawang  serta  dipersiapkan  angkatan  laut.  Serangan  kedua  dilancarkan bulan September 1629 di bawah pimpinan Sura Agul-Agul, Mandurarejo, dan Uposonto. 

Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan yang kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan.Adapun penyebab kegagalannya, antara lain:

  • Jarak yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus menempuh jalan kaki selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit. 
  • Kekurangan dukungan logistik menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia menjadi lemah.
  • Kalah dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang serba modern.
  • Banyak prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin memperlemah kekuatan.
  • Portugis bersedia membantu Mataram dengan menyerang Batavia lewat laut,sedangkan Mataram lewat darat. Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapi Belanda tanpa bantuan Portugis.
  • Kesalahan politik Sultan Agung yang tidak mengadakan kerja sama dengan Banten dalam menyerang Belanda. Waktu itu mereka saling bersaing.
  • Sistem koordinasi yang kurang kompak antara angkatan laut dengan angkatan darat. Ternyata angkatan laut mengadakan penyerangan lebih awal sehingga rencana penyerangan Mataram ini diketahui Belanda.
  • Akibat pengkhianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini diketahui Belanda sebelumnya.

Namun  nampaknya  VOC  telah  mengetahui  lebih  dahulu  rencana tersebut,  sehingga  VOC  membakar  dan  memusnahkan  gudang-gudang perbekalan. Serangan ke Batavia mengalami kegagalan, karena kurangnya perbekalan  makanan,  kalah  persenjataan,  jarak  Mataram–Jakarta  sangat jauh, dan tentara Mataram terjangkit wabah penyakit.Setelah Sultan Agung meninggal, penetrasi politik VOC di Mataram makin kuat. Akibat campur tangan  VOC  dan  adanya  perang  saudara  dalam  memperebutkan  takhta pemerintahan menjadikan kerajaan Mataram lemah dan akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil. Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. beliau dimakamkan di puncak Bukit Imogiri, Bantul ,Yogyakarta.

Selanjutnya,Mataram diperintah oleh putranya, SunanTegalwangi, dengan gelar Amangkurat I ( 1646 – 1677). Dalam masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan mataram mulai mundur. Wilayah kekuasaan mataram berangsur-angsur menyempit karena direbut oleh kompeni VOC. Yang paling mengenaskan, pada tahun1675, Raden Trunajaya dari Madura memberontak. Pemberontakannya demikian tak terbendung, hingga akhirnya Trunajaya berhasil menguasai keraton Mataram yang waktu itu terletak di Plered. Amangkurat terlunta- lunta mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.Sepeninggal Amangkurat I, Mataram dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkan Dinasti Paku Buwana di Solo dan Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya.

Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram surakarta dan mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai vorstenlanden. Saat ini, keempat pecahan Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing-masing. Bahkan peran dan pengaruh pecahan mataram tersebut, terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.

Perseturuan antara Paku Buwono II  yang dibantu  Kompeni  dengan  Pangeran  Mangkubumi  dapat  diakhiri  dengan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 yang isinya Mataram dipecah menjadi dua, yakni:
Mataram   Barat   yakni   Kesultanan Yogyakarta,   diberikan   kepada Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.
Mataram Timur yakni Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III.

Selanjutnya untuk memadamkan perlawanan Raden Mas Said diadakan Perjanjian Salatiga, tanggal 17 Maret 1757, yang isinya Surakarta dibagi menjadi dua, yakni:
(a) Surakarta Utara diberikan kepada Mas Said dengan gelar Mangkunegoro I, kerajaannya dinamakan Mangkunegaran.
(b) Surakarta  Selatan  diberikan  kepada  Paku  Buwono  III  kerajaannya dinamakan  Kasunanan  Surakarta.  Pada  tahun  1813  sebagian  daerah Kesultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati. 
Dengan demikian kerajaan Mataram yang satu, kuat dan kokoh pada masa  pemerintahan  Sultan  Agung  akhirnya  terpecah-pecah  menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yakni:

  1. Kerajaan Yogyakarta
  2. Kasunanan Surakarta
  3. Pakualaman
  4. Mangkunegaran

 

3.2 Perkembangan Bidang Ekonomi

Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi hal-hal berikut ini:
- Sebagai negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka. 
- Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan politik,tetapi juga kekuatan ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata tergantung ekonomi agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.

3.3 Perkembangan di Bidang Sosial Budaya

Aspek Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan,dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk

Aspek Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan

Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram. Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu- Budha dengan Islam. Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.E.
Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal berikut:
1. Timbulnya kebudayaan kejawen
Unsur ini merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa dengan Islam. Misalnya upacara Grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian, dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Sampai kini, di jawa kita kenal sebagai Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.
2. Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah).Sejak tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian dikenal sebagai“tahun Jawa”.

4 Dari Masa ke Masa Pemerintahan di Mataram Islam

4.1 Kyai Ageng Pamanahan ( Kyai Gede Pamanahan ) 

  • Pendiri desa mataram tahun 1556
  • Bergelar Kyai Ageng Mataram
  • Kyai Pamanahan adalah putra Kyai Ageng Henis, putra Kyai Ageng Sela
  • Menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Kyai Ageng Henis).
  • Kyai Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Kyai Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang (murid Kyai Ageng Sela ) Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.Hadiwija
  • ya singgah ke Gunung Danaraja. Kyai Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujuk Hadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Kyai Pamanahan.
  • Meninggal tahun 1584

4.2 Panembahan Senopati ( Danang sutawijaya )

  • Pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601 
  • Bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa 
  • Dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram.
  • Putra sulung pasangan Kyai Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah
  • Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga.
  • Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Kyai Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Beliau ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
  • Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
  • Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Beliau diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
  • Meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Beliau kemudian dimakamkan di 
  • Kotagede.

4.3. Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyakrawati / Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram )

  • Raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613
  • Putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Kyai Ageng Panjawi, penguasa Pati
  • Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik). Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
  • Pada tahun 1610 melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut. Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Beliau juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.
  • Meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, beliau pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak"

4.4 Raden Mas Rangsang (Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma )( nama asli : Raden Mas Jatmika )

  • Lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645
  • Raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645
  • Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.( puncak kejayaan )
  • Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal3 November 1975.
  • Putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati.( Putri Pangeran Benawa Raja Pajang ( Dyah Banowati ))
  • Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. 
  • Kemunduran kerajaan mataram Islam akibat kalah dalam perang merebut Batavia dengan VOC
  • Menyerang Batavia sebanyak 2x.serangan pertama ( 1628 ) terjadi di benteng Holandia, dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa, dan Pangeran Mandurareja sebanyak 10.000 pasukan akan tetapi gagal. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Serangan kedua (1629) dipimpin Adipati Ukur dan Adipati Juminah Total semua 14.000 orang prajurit. serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

4.5 Amangkurat I (Sri Susuhunan Amangkurat Agung) 

  • Memerintah pada tahun 1646-1677
  • Memiliki gelar anumertaSunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum
  • Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Kyai Juru Martani).
  • Ketika menjabat Adipati Anom beliau bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
  • Memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I. 
  • Mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas
  • Menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat.
  • Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun 
  • untuk dibantai.
  • Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun beliau kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.
  • Hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat.Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal

4.6 Amangkurat II (Nama asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat )

  • Putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri Pangeran Pekikdari Surabaya. memiliki banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat 
  • III)
  • Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta karena istana Plered diduduki adiknya, yaituPangeran Puger. Istana baru tersebut bernama. KartasuraAmangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaituAmangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger. 
  • Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utaraJawa mulai Kerawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
  • Mas Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan bantuan VOC, beliau berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.

4.7 Amangkurat III (Nama aslinya adalah Raden Mas Sutikna ) 

  • Memerintah antara tahun 1703– 1705.
  • di juluki Pangeran Kencet, karena menderita cacat di bagian tumit.
  • Ketika menjabat sebagai Adipati Anom, beliau menikah dengan sepupunya, bernama Raden Ayu Lembah putri Pangeran Puger. Namun istrinya itu kemudian dicerai karena berselingkuh dengan Raden Sukra putra Patih Sindureja.
  • Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan Pangeran Puger dipaksa menghukum mati Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu Himpun adik Ayu Lembah.
  • Rombongan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo sambil membawa semua pusaka keraton. Di kota itu beliau menyiksa Adipati Martowongso hanya karena salah paham. Melihat bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo memberontak. Amangkurat III pun lari ke Madiun. Dari sana beliau kemudian pindah ke Kediri.
  • Sepanjang tahun 1707 Amangkurat III mengalami penderitaan karena diburu pasukan Pakubuwana I. Dari Malang beliau pindah ke Blitar, kemudian ke Kediri, akhirnya memutuskan menyerah di Surabaya tahun 1708.
  • Pangeran Blitar, putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya meminta Amangkurat III supaya menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak. Amangkurat III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
  • VOC kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari sana ia diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka.
  • Meninggal di negeri itu pada tahun 1734.
  • Konon, harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka. Namun demikian, Pakubuwana I berusaha tabah dengan mengumumkan bahwa pusaka Pulau Jawa yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak. 
  • Perang Suksesi Jawa I (1704–1708), antara Amangkurat III melawan Pakubuwana I.
  • Perang Suksesi Jawa II (1719–1723), antara Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya.
  • Perang Suksesi Jawa III (1747–1757), antara Pakubuwana II yang dilanjutkan oleh Pakubuwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.

5 Peranan Kesultanan Mataram Islam Dalam Penyebaran Dakwah Wali Songo

Pada masa Panembahan Senapati Agama Islam sudah banyak dianut oleh penduduk di Kerajaan Mataram hanya saja pola keagamaanya cenderung sinkretis. Sebagai raja di Kerajaan Mataram, Panembahan Senapati menjadikan Agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Secara garis besar pola kebijakan Panembahan Senapati terhadap agama di  Kerajaan Mataram Islam adalah mengangkat wali-wali Kadilangu sebagai penasihat dan pembimbing kerajaan, pengembangan tradisi Islam dan memberikan jawatan pemerintahan yang disebut Reh Pengulon (Lembaga Kepenghuluan). Obyek kajian keagamaan pada masa Panembahan Senapati diteliti dengan menggunakan pendekatan politik yang tentu tidak bisa lepas dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemimpin, dalam hal ini Panembahan Senapati sebagai raja di Kerajaan Mataram.

Keberadaan Sultan Agung sebagai penguasa tertinggi, membawa Kerajaan Mataram Islam kepada peradaban kebudayaan pada tingkat yang lebih tinggi, dimana hampir dalam segi kehidupan terjadi perubahan yang membawa kepada kedamaian dan ketentraman rakyat khususnya di pulau Jawa. Sultan Agung merupakan salah satu raja Mataram yang memiliki minat yang luas dalam kemajuan peradaban ini. Beliau menguasai berbagai keahlian baik dalam bidang militer, politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang menjadikan peradaban kerajaan Mataram pada tingkat yang lebih tinggi. Dalam hal perkembangan agama Islam, menurut De Graaf ”bahwa Senopati telah berhasil meletakkan dasar perkembangan Mataram Islam, yang kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Sultan Agung. 

Sultan Agung banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada rakyat Mataram sehingga pada masa pemerintahannya, ulama juga ditempatkan pada kedudukan yang terhormat,  yaitu sebagai pejabat anggota Dewan Parampara (penasihat tinggi kerajaan). Di samping itu dalam struktur pemerintahan kerajaan didirikan Lembaga Mahkamah Agama Islam, dan gelar raja-raja di Mataram meliputi raja Pandita, artinya di samping sebagai penguasa, raja juga sebagai kepala pemerintahan dan kepala agama (Islam). Selain peran Sultan Agung dalam mengembangkan agama Islam, kehadiran ulama/Wali seperti Sunan Kalijaga dan Panembahan Ratu (keturunan Sunan Gunung Jati) yang hidup sezaman dengan Sultan Agung, ternyata memiliki peran ganda yang sangat penting. Di satu pihak peran para Wali dapat menjadi suatu kelompok elite agama yang kharismatik, di lain pihak mereka menjadi bagian yang sangat penting dalam memainkan peran poitik dalam jaman itu. Sebagai elite agama atau ulama, para Wali sangat berkepentingan dengan dakwah dan pendidikan yaitu menyiarkan agama Islam dan mendidik masyarakat dengan cara-cara agama Islam. Kewajiban dakwah inilah yang mendorong para wali untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan penyiaran Islam di tanah Jawa.

Dalam masa pemerintahan Kesultanan Mataram Islam menjadi salah satu Kesultanan Islam yang dinilai berkembang di tanah Jawa. Kerajaan Mataram rutin menerjemahkan naskah Arab dan menerjemahkan Alquran ke bahasa Jawa. Mulai saat itu, kesultanan ini mendirikan pesantren yang menjadikan wilayahnya sebagai pusat agama Islam. Selain membangun pesantren, ada bermacam cara dilakukan para penguasa untuk menjadikan wilayah Kesultanan Mataram sebagai pusat agama Islam, di antaranya dengan mendirikan rumah ibadah.Kejayaan Kesultanan Mataram terjadi pada saat Raden Mas Rangsang atau biasa dikenal dengan Sultan Agung memimpin Kerajaan Islam Mataram pada 1613-1645.

Pada masa kepemimpinannya, beliau diklaim sebagai raja terbesar dari semua pemimpin kerajaan Mataram.Pada masa kejayaannya, Sultan Agung Hanyokrokusumo berhasil melakukan ekspansi ke sebagian pulau Jawa dengan cara menundukkan raja-raja lainnya.Cakupan wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian wilayah di Jawa Barat.

Sebagai orang Islam, Sultan Agung selalu menaati ibadah dan menjadi contoh untuk rakyatnya. Setiap hari Jum’at Sultan agung bersama rakyatnya melakukan shalat Jum’at. Dalam tahun 1633 ia membuat tarikh (kalender baru) yaitu kalender Jawa-Islam. Guna memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin Islam, Sultan Agung mengirim utusan ke Mekkah untuk kembali ke Mataram dengan membawa gelar Sultan untuknya dan ahli-ahli agama untuk menjadi penasihat baginya di istana. Gelar dari Mekkah itu lengkapnya adalah Sultan Abu Muhammad Maulana Matarami.

6 Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
  4. Purwadi (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
  5. Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: NarasiSuroyo,  A.M.  Djuliati,  dkk.  1995.  Penelitian  Lokasi  Bekas  Kraton  Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
  6. Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  7. Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
  8. G.P.H. Hadiwidjojo (1956). Paparabipun Para Nata Surakarta wiwit Mataram. Prabuwinatan, Surakarta. Jumênêng 1586 surud 1601, seda ing Kajênar
  9. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius.
  10. Purwadi (2001). Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik. Yogyakarta: Pustaka Alif.