Pembahasan Fiqih Seputar Hubungan Seksual Suami Istri

 
Pembahasan Fiqih Seputar Hubungan Seksual Suami Istri
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Islam membebaskan trik atau gaya bercinta antara suami istri, selama tidak bertentangan dengan aturan syariat. Termasuk pula dalam melakukannya dengan gaya oral seks. Hal ini tidak termasuk larangan dalam agama. Keterangan tersebut berlandaskan petunjuk di dalam Al-Qur'an sebagaimana berikut ini:

نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ

“Istrimu adalah ladang bagimu. Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai. Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu.” (QS. Al-Baqarah: 223)

Jadi, pada dasarnya berhubungan seksual dengan istri diperbolehkan dengan gaya apapun, tetapi ada satu hal yang dilarang yakni berhubungan seksual melalui dubur. Selain itu, suami juga tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istri yang sedang mengalami haid. Namun jika sekadar berhubungan badan dan bersenang-senang dengan istri tanpa memasukkan dzakar ke dalam farji istrinya yang sedang haid, maka hal itu juga tidak dilarang.

Tapi, meski demikian, dalam hal berhubungan seksual antara suami istri, keduanya harus memperhatikan bahwa biasanya ketika hendak melakukan oral seks, tentu sedang dalam kondisi telah mengalami ereksi atau tegang. Sehingga, tidak jarang antara suami dan istri tersebut sudah mengeluarkan "pelumas" yang berupa cairan bening atau biasa disebut dengan istilah madzi. Inilah yang perlu dibahas lebih detail.

Jika ditelisik lebih detail dalam kajian fiqih, diterangkan bahwa cairan yang keluar dari kemaluan, selain air kencing, ada tiga jenis cairan lain. Pertama, air sperma (mani). Sperma bisa diidentifikasi dengan beberapa cirinya, seperti keluar dengan memancar dan tersendat, ada bau yang khas seperti adonan roti/kue dan terasa nikmat saat cairan itu keluar dari kemaluan. Kedua, air wadi, yaitu air keruh, kental yang biasa keluar setelah orang mengeluarkan air kencing mungkin disebabkan faktor capai atau suatu hal lain. Ketiga, air madzi, yaitu air bening yang keluar dari kemaluan, baik dari seorang pria maupun wanita yang biasanya disebabkan karena faktor syahwat. Baik disebabkan karena membayangkan, melihat atau sedang pemanasan (foreplay).

Di antara semua air yang keluar tersebut hukumnya najis, kecuali sperma. Seseorang yang mengeluarkan sperma, wajib mandi. Sedangkan jika yang keluar adalah wadi atau madzi maka hanya diwajibkan berwudhu, tidak harus mandi, serta harus dibersihkan sebagaimana membersihkan najis seperti biasanya.

Bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan intim, tentu sangat kesulitan jika harus menghindari cairan madzi tersebut. Karena madzi memang diciptakan Allah untuk melengkapi kegiatan jima' atau hubungan seksual yang dilegalkan dalam syariat bagi pasangan yang sah suami istri. Cairan madzi menjadi pelumas untuk sebuah lancarnya hubungan seksual atau senggama.

Lalu, apabila kita melihat fiqih dasarnya, ada sebuah aturan bahwa seseorang tidak diperkenankan mengotori tubuh dengan najis tanpa ada alasan yang jelas, apalagi memasukkan najis tersebut ke dalam tubuh, tentu tidak diperbolehkan. Sedangkan cairan madzi merupakan cairan najis. Tentu dalam hal ini berlaku hukum yang sama. Artinya, cairan madzi tidak boleh sampai masuk ke dalam tubuh, termasuk masuk ke dalam kelamin seorang istri. Tetapi karena hal ini sangat sulit dihindari, maka syariat memberikan toleransi, sehingga cairan madzi bagi pasangan suami istri yang sedang melakukan hubungan seksua dihukumi ma'fu (diampuni).

Dalam Kitab I'anatuth Thalibin disebutkan mengenai hal itu. Syaikh Abu Bakar Syatha menjelaskan:

وَمَحَلُّ طَهَارَةِ الْمَنِيِّ إِنْ كَانَ رَأْسُ الذَّكَرِ وَالْفَرْجِ الَّذِيْ خَرَجَ مِنْهُ الْمَنِيِّ طَاهِرًا، وَإِلَّا كَانَ مُتَنَجِّسًا وَحَرُمَ الْجِمَاعُ، كَالْمُسْتَنْجِيِّ بِالْحَجَرِ إِذَا خَرَجَ مِنْهُ مَنِيٌّ فَإِنَّهُ يَكُوْنُ مُتَنَجِّسًا، وَكَمَا إِذَا خَرَجَ مِنْهُ مَذِيٌّ - كَمَا هُوَ الْغَالِبُ مِنْ سَبْقِهِ لِلْمَنِيِّ - فَإِنَّهُ يَتَنَجِّسُ بِهِ. نَعَمْ، يُعْفَى عَمَّنْ اُبْتُلِيَ بِهِ بِالنِّسْبَةِ لِلْجِمَاعِ، كَمَا صَرَحَ بِهِ الْبُجَيْرَمِيِّ فِي بَابِ النَّجَاسَةِ

“Tempat sucinya sperma itu jika memang kepala batang dzakar dan farji yang keluar murni berupa mani yang suci. Jika tidak murni suci, hukumnya (mani itu) najis dan haram bersenggama dengan kondisi seperti demikian sebagaimana orang yang istinja' dengan batu, dan cairan sperma (mani) keluar, (maka tentu mani tersebut najis). Karena memang hal itu menjadikan najis. Memang demikian, namun ya, hukumnya adalah diampuni (ma'fu) bagi orang yang kesulitan menghindari hal tersebut dengan nisbah keperluan untuk melakukan jima' (hubungan seksual).” 

Jadi, pada dasarnya menurut Mazhab Syafi'i, mani itu hukumnya adalah suci, kecuali hal itu keluar bersamaan dengan cairan lain yang najis, maka hukumnya menjadi mutanajjis, atau sama halnya juga dihukumi najis. Dan memang haram hukumnya memasukkan perkara yang haram ke dalam tubuh, termasuk melalui hubungan seksual. Tetapi dalam konteks berhubungan seksual suami istri, yang mana keluarnya cairan mani itu tidak bisa terlepas dengan diiringi cairan madzi yang najis itu, maka yang demikian itu dihukumi ma'fu (dimaafkan). Artinya tetap diperbolehkan memasukkan cairan mani yang bercampur dengan cairan madzi yang najis itu ke dalam farji istri saat melakukan hubungan seksual, karena memang tidak memungkinkan bisa menghindarinya. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 22 Februari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim