Kisah Imam Malik dan Imam Syafi’i, antara Guru dan Murid yang Tertawa karena Beda Pendapat

 
Kisah Imam Malik dan Imam Syafi’i, antara Guru dan Murid yang Tertawa karena Beda Pendapat
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Kisah ini sangat masyhur di kalangan para santri. Namun, penelusuran sumber kitab yang menjadi rujukan kisah ini belum ditemukan. Terlepas dari itu, terkonfirmasi bahwa memang Imam Syafi'i adalah murid Imam Malik. Kedua Imam besar tersebut sama-sama memiliki pendapat yang sangat kuat dalam fikih, sehingga keduanya diikuti oleh mayoritas umat Islam. Imam Malik terkenal dengan rumusan pemahaman fikihnya dengan Mazhab Maliki, dan belakangan muridnya yang bernama Imam Syafi'if juga terkenal dengan rumusan pemahaman fikihnya dengan Mazhab Syafi'i.

Dalam bebera hal kedua Imam tersebut berbeda pendapat dalam keilmuan. Adalah sesuatu yang wajar adanya perbedaan pendapat antara guru dan murid. Demikian pula antara Imam Maliki dan Imam Syafi'i. Tapi, yang menarik adalah satu kisah yang menyebutkan bahwa Imam Malik dan Imam Syafi'i pernah berbeda pendapat namun sama-sama benar dan saling tertawa atas pendapatnya. Kisah ini mengandung pelajaran yang sangat berharga.

Alkisah, Imam Malik (guru Imam Syafi'i) dalam sebuah pengajian di majelisnya pernah menyampaikan bahwa sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakkal yang benar, niscaya Allah akan memberikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagian kita dan selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya. 

Apa yang disampaikan oleh Imam Malik tersebut terindikasi bermula dari pemahaman terkait Hadis berikut ini;

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُوْ خِمَاصًا، وَتَرُوْحُ بِطَانًا

"Andai kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah akan berikan rezeki kepada kalian. Sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaaan kenyang." (HR. Imam At-Tirmidzi)

Sementara itu, Imam Syafi'i (murid Imam Malik) berpendapat lain. Beliau mempertanyakan apakah seandainya seekor burung itu tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki? Imam Malik tetap pada pendapatnya soal rezeki, begitu pula Imam Syafi'i yang mengkritik pendapat tersebut. Guru dan murid itu bersikukuh pada pendapatnya masing-masing.

Suatu saat, ketika Imam Syafi'i meninggalkan pondok, beliau melihat serombongan orang tengah memanen anggur. Akhirnya, beliau pun membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafi'i memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.

Imam Syafi'i senang sekali, bukan karena mendapatkan anggur, tetapi pemberian itu telah menguatkan pendapatnya. Kembali pada yang kritik terhadapa apa yang disampaikan oleh Imam Malik. Jika burung tak terbang dari sangkar untuk berusaha, bagaimana mungkin ia akan mendapat rezeki. Seandainya dirinya itu tak membantu memanen, niscaya tidak mungkin akan mendapatkan anggur.

Bergegaslah Imam Syafi'i menjumpai Imam Malik, sang guru. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya itu, Imam Syafi'i bercerita. Beliau menyampaikan dengan nada yang cukup tegas, “Seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya.”

Mendengar penuturan itu, justru Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Imam Malik berucap pelan, “Sehari ini aku memang tidak keluar pondok, hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab. Cukup dengan tawakkal yang benar, niscaya Allah akan memberikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya.”

Guru dan murid itu kemudian tertawa. Dua Imam Mazhab mengambil dua hukum yang berbeda dari Hadis yang sama, dan terbukti keduanya sama-sama benarnya.

Begitulah cara ulama bila melihat perbedaan, bukan dengan cara menyalahkan orang lain dan hanya membenarkan pendapatnya saja. Antara guru dan murid bisa saja berbeda bendapat, asalkan tetap berlandaskan ilmu dan saling menghormati. 

Semoga kisah indah perbedaan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i itu dapat menjadi pelajaran untuk kita semua. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 03 Maret 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Editor: Hakim