Biografi KH. Hasyim Sholeh (Pendiri Pesantren Darul Huda Mayak Ponorogo)

 
Biografi KH. Hasyim Sholeh (Pendiri Pesantren Darul Huda Mayak Ponorogo)

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru Beliau

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Pesantren
3.2  Pemerkasa Dzikrul Ghafilin
3.3  Pertemuan dengan KH. Hamim Djazuli

4.   Teladan
5.    Nasehat

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Hasyim Sholeh lahir pada tahun 1939 M. di Kabupaten Ponorogo. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Husain dan Hj. Sufiah.

Beliau kecil dan besar di dusun Mayak Kelurahan Tonatan Ponorogo, kecintaannya terhadap ilmu agama ini sudah terlihat semasa beliau masih duduk dibangku Sekolah Dasar. Hal ini bisa dilihat dari tekadnya yang kuat untuk ikut belajar dan ngaji di pondok pesantren (mondok).

1.2 Wafat
KH. Hasyim Sholeh wafat pada hari Sabtu 13 Desember 2003 M. karena sakit yang telah lama di derita beliau. Bertepatan dengan tanggal 18 Syawal 1424 H, dimana umat Islam kala itu masih dalam suasana lebaran, bersuka cita memperingati Hari Raya Idul Fitri. Namun, tidak dengan masyarakat Ponorogo yang dirundung duka karena wafatnya panutan mereka. Beliau meninggal di usia 64 tahun. Semoga segala amal ibadah beliau di terima di sisi-Nya.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Perjalanan dalam memperdalam ilmu agama dimulai dari Jampes Kediri  yang diasuh oleh Syekh Ihsan Al-Jampesi usai sembuh dari khitannya. Karena besarnya keinginan dalam mempelajari ilmu agama, beliaupun dengan sepenuh hati mencurahkan segala kekuatannya untuk menuntut ilmu serta mengamalkannya.

Hingga pada suatu saat KH. Hasyim Sholeh bernadzar, bahwa selama belum berhasil memperdalam ilmu agama atau berhasil dalam menuntut ilmu dipondok, beliau tidak akan menginjakkan kakinya di tanah Mayak. Hal inilah yang membuat ibunda beliau sering menangis karena rasa rindu yang amat mendalam, sehingga ayah dan ibunyalah yang harus menjenguk.

Pancaran kharisma dari KH. Hasyim Sholeh ini memang sudah telihat sejak masih kecil, hal ini bisa dilihat dari cara belajar beliau yang cukup unik, tidak seperti lazimnya para pelajar lainnya. Selepas Subuh, beliau terkadang pergi ke kebonan (kebun: Jawa) untuk belajar.

Durasi belajarnya pun tidak pernah lama, hanya beberapa menit, meski demikian beliau mampu menangkap pelajaran dengan sempurna. Bahkan konon, sewaktu di pondok, beliau mampu mengalahkan kakak kelasnya dalam hal keilmuan. Beliau pun sering melakukan tirakat, mulai puasa mutih, ngrowot (makan polo kependem), dan patigeni.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren, beliau pun pulang ke Ponorogo dan melaksanakan puasa mutih selama 40 hari, di hari terakhir beliau lupa tidak makan sahur, padahal waktu itu puasa harus diteruskan dengan puasa pati geni (buka pada Waktu pagi).

Waktu malam tiba, tubuh beliau tak kuat hingga beliau pingsan. Teman-temannya berusaha menyadarkan. Akhirnya munculah ide agar beliau di beri upo (butiran nasi : Jawa), sebab dari mulut beliau sudah tidak bisa lagi dimasuki makanan.

Saat dalam kondisi antara sadar dan tidak, beliau bermimpi bahwa bumi Mayak tertimpa Ka’bah dari arah langit, Serta ada cahaya yang sangat terang melayang di atas beliau. Beliau berusaha keras untuk dapat menangkapnya, namun tak berhasil. Setelah sadar beliau segera sowan kepada salah satu masyayikh untuk menanyakan hal- hal mimpinya malam itu.

Sang kyai menjawab, Gus, Ka’bah yang jatuh di bumi Mayak itu tanda bahwa kelak bumi Mayak akan menjadi kiblatnya ilmu agama, sebagaimana Ka’bah sebagai kiblat dalam shalat. Sedangkan cahaya itu, dari beberapa referensi yang didapat, bahwa beliau Kyai Hasyim tidak menceritakan arti cahaya dalam mimpinya tersebut.

Setelah berpamitan, beliau segara pulang ke Ponorogo dan berjuang untuk agama. Dalam perjalanan pulangnya, beliau berkata "aku nek wis neng omah arep nikah, tapi ora bakal karo dulurku dewe”. Namun takdir berkata lain, Akhirnya, beliau menikah dengan orang yang masih mempunyai hubungan saudara dengannya.

2.2 Guru Beliau
Syekh Ihsan Al-Jampesi

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Mendirikan Pesantren
Sepulangnya dari pondok pesantren, kegiatan rutin dari KH. Hasyim Sholeh di waktu malam adalah mengajar sekolah diniyah di Mayak kulon. Beberapa tahun kemudian, banyak santri yang ingin mengaji, hingga akhirnya sekolah diniyah dipindah dari Mayak kulon ke Mayak wetan. Saat itu, kegiatan belajar- mengajar dilaksanakan pada sore hari.

Selang beberapa lama, ada seorang pekerja bernama Boiman yang ikut ngaji beliau. Namun, karena tidak ingin menyiakan kesempatan, akhirnya Boiman tinggal di Mayak. Sedikit demi sedikit, banyak yang mengikuti jejak Boiman, hingga akhirnya, berdirilah pondok kecil di selatan masjid Mayak.

Usaha beliau dalam mengembangkan pondok tidak tanggung-tanggung, mulai dari bertani, berdagang, berkebun, hingga minta sumbangan ke berbagai pihak, namun beliau berkata wis cukup aku ae sing isin, cukup aku ae sing njaluk-njaluk, ojo nganti anak puthuku nglakoni koyok aku. ( cukup saya saja yang merasa malu, saya saja yang meminta-minta, jangan sampai anak cucu saya seperti saya ini). Tak sia-sia usaha beliau, akhirnya saat ini, Pondok Pesantren Darul Huda Mayak telah berkembang luar biasa.

3.2 Pemerkasa Dzikrul Ghafilin
Selain pondok pesantren peninggalan beliau yang lain adalah berdirinya semaan Al- Qur’an dan  Dzikrul Ghafilin di daerah Ponorogo.Jamaah Dzikrul Ghafilin sendiri berpusat di kediri yang di prakarsai oleh 3 Ulama besar yaitu, KH. Hamim Djazuli atau terkenal dengan nama Gus MiekKH. Hamid Pasuruan, dan KH. Ahmad Shidiq Jember.

KH. Hasyim mendapatkan Ijazah Dzikrul Ghohlin pada tahun 1986. Seperti yang diceritakan Bpk. H. Muhdi, bahwa saat itu orang lebih cenderung mengatakan bahwa Dzikrul Ghofilin merupakan sebuah amalan yang baru. Maka menurut mereka perlu diadakan sebuah verifikasi (pengujian).

Namun H. Muhdi sendiri menyangkal tentang ke-absurd-an Dzikrul Ghafilin sebagai amalan baru yang perlu di uji kembali. Beliau mengatakan, “apakah benar bahwa Dzikrul Ghafilin merupakan sebuah amalan yang baru? Benar, bahwa Dzikrul Ghafilin merupakan sebuah amalan yang baru, namun tidak lebih hanya dalam hal penamaan saja”. Bila dilihat lebih dalam tentang esensi dari Dzikrul Ghafilin, ternyata tidak ada yang baru. Sebagai contoh, bacaan Suratul Fatihah, Asma’uI Husna, Istighfar, Shalawat, dan lain-lain.

Setelah mengalami pro dan kontra, pada akhirnya amalan Dzikrul Ghafilin lambat laun diterima oleh masyarakat. Dan banyak yang telah mengamalkannya dan menjadi amalan sunnah rutinan. Seperti yang telah kita ketahui, ribuan orang memadati makam Tegal Sari Ponorogo setiap malam Jum’at Kliwon, untuk melaksanakan kegiatan rutinan Aurod DzikruI Ghafilin. Atau terkadang di laksanakan di makam KH. Hasyim Sholeh sendiri yang terletak di depan Pondok Pesantren Darul Huda Mayak Ponorogo.

3.3 Pertemuan dengan KH. Hamim Djazuli
KH. Hasyim Sholeh merupakan salah satu kyai Ponorogo yang disegani. Ada kisah menarik ketika beliau menunaikan ibadah haji. Seperti pada umumnya jama'ah Haji sewaktu akan pulang ke Indonesia, Kyai Hasyim berdo’a dihadapan Ka’bah, tiba-tiba disampingnya muncul sosok orang tua berpakaian putih wangi menitipkan lima jilid kitab kepada Kyai Hasyim untuk diberikan kepada KH. Hamim Djazuli Al-Jawi, nama yang belum pernah  dikenal dan didengar oleh Kyai Hasyim pada waktu itu. Ajaibnya, setelah menitipkan kitab tersebut kepada Kyai Hasyim orang tua tadi langsung menghilang.

Ketika dalam perjalanan pulang dari Makkah, Kyai Hasyim menyempatkan diri untuk membaca seluruh isi kitab, tapi ada dua jilid kitab yang tidak faham sama sekali.

Selama perjalanan itu, Kyai Hasyim berusaha mencari informasi dan menanyakan setiap orang yang ditemui tentang sosok KH. Hamim Djazuli Al-Jawi hingga beliau tiba di rumah Ponorogo.

Konon, Kyai Hasyim mencari KH. Hamim Djazuli Al-Jawi selama tiga bulan, dari Ponorogo sampai wilayah Jawa Tengah.

Tak lama berselang terdengarlah informasi tentang sosok yang bernama KH. Hamim Djazuli tepatnya di daerah Kediri. Uniknya ada dua nama KH. Hamim Djazuli; yang pertama berasal daerah Pare dan yang kedua daerah Ploso Mojo Kediri.

Kemudian Kyai Hasyim menuju daerah Pare menemui orang yang bernama KH. Hamim Djazuli, ternyata beliau adalah Petani Sawah. Selanjutnya Kyai Hasyim langsung melanjutkan perjalanan ke Pondok Ploso. Sebelum masuk daerah Ploso, Kyai Hasyim berniat melaksanakan sholat Isya, lantaran jarum jam menunjukkan  jam 24.00 malam. Beliau pun mampir di mushola.

Sesampainya di teras mushola, Kyai Hasyim kaget sebab teras itu digunakan orang-orang bermain Domino. Salah satu dari empat pemain domino itu juga terkesiap sambil melihat Kyai Hasyim berjalan menuju mushola.

Kyai Hasyim membatin “mushola koq digawe main kartu Domino” selesai shalat, Kyai Hasyim menuju Ploso untuk berkunjung ke rumah KH. Hamim Djazuli Al-Jawi, beliau ditemui santri ndalem (khodam ndalem). Kyai Hasyim diberitahu oleh khodam itu bahwa Gus Miek pulang ke rumah biasanya mendekati waktu sholat subuh.

Kyai Hasyim menunggu kedatangan KH. Hamim Djazuli Al-Jawi, tiba-tiba dari kejauhan datanglah sosok orang yang menutupi wajahnya dengan kain sarung. Tatkala berhadapan dengan Kyai Hasyim, penutup wajah berupa sarung itu dibuka, orang itu tersenyum sambil melangkah masuk rumah. Kyai Hasyim terperanjat bukan main, beliau menggumam “lho orang ini kan yang tadi main Domino di teras mushola?!".

Akhirnya, dua sosok hebat ini bertatap muka dalam sebuah ruangan. Gus Miek menemui Kyai Hasyim tepatnya di ruang tamu seraya mengucap "Alhamdulillah kyai Gede Ponorogo ndugi" (kyai Besar Ponorogo datang). Untuk kesekian kalinya kyai Hasyim terkejut dengan sapaan " kyai Ponorogo". Padahal kyai Hasyim tidak pernah sekalipun bertemu, apalagi berkenalan dengan Gus Miek. Bahkan masyarakat Mayak Ponorogo belum pernah ada yang memanggilnya dengan sebutan " kyai Gede Ponorogo".

Kemudian Kyai Hasyim menceritakan kronologi mulai awal hingga akhir. Gus miek  mendengarkan tutur kisah Kyai Hasyim dengan seksama sambil tersenyum, Gus Miek pun mengucapkan alhamdulillah berulang kali.

Kyai Hasyim lalu menyerahkan kelima jilid Kitab (yang diberikan Orang tua Misterius di Makkah) kepada Gus Miek. Kemudian Gus Miek berkata: "tiyang sepuh  ingkang kepanggih lan titip kitab 5 jilid dateng panjenengan niku sejatine Nabi Khidir."

Gus Miek menyerahkan 3 jilid kitab kepada Kyai Hasyim sambil menuturkan “niki damel panjenengan” (ini untuk anda) dan “dua jilid damel kulo” (2 jilid untuk saya).

Mungkin itu sebabnya Kyai Hasyim tidak paham isi dua jilid  kitab itu, mengingat Kyai Hasyim belum "maqom"nya untuk mempelajari 2 jilid kitab yang diperuntukkan Gus Miek. Selanjutnya, Kyai Hasyim pun meminta barokah do’a kepada Gus Miek.

Singkat kisah, bibarokati Kyai Hasyim menyerahkan kitab serta dibarengi doa dari Gus Miek, kini Pondok Pesantren Darul Huda Mayak menjadi salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur dengan ribuan santri.

4. Teladan
KH. Hasyim adalah sosok insan yang cocok sebagai suri tauladan yang baik. Dilihat dari sudut pandang keilmuan, akhlak, dan kerja keras beliau memang tidak diragukan lagi. Beliau adalah salah satu dari warotsatul Anbiya’.

Prestasi keilmuan beliau sudah tidak diragukan lagi, terutama dalam hal keilmuan kitab Salafi. Bahkan suatu waktu, pernah Presiden ke- 4 Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid, atau biasa disapa Gus Dur, berguru dan meminta ijazah kitab tauhid karangan Imam Ghazali yakni, kitab Ihya’ Ulumuddin.

Dengan adanya beberapa fakta dan bukti nyatan tentang peninggalan beliau, maka tidak diragukan lagi. Bahwa beliau adalah tokoh Ulama besar yang sangat berpengaruh, khususnya bagi Masyarakat di daerah Ponorogo dan sekitarnya.

Dikisahkan oleh banyak orang bahwasanya KH. Hasyim memang seorang waliyullah. Hal ini diketahui dari cerita KH. Tajuddin Heru Cokro, dikala beliau sowan kepada Mbah Mubasyir Mundzir Bandar Kidul, kurang lebih kisahnya sebagai berikut .

Pada waktu itu, Gus Tajuddin dan KH. Hasyim sowan kepada KH. Hamim Jazuli di Makam Tambak. Saat itu makam Tambak belum dikenal banyak orang seperti saat ini. Peristiwa ini terjadi kurang lebih jam 2 malam.

Saat itu Gus Tajuddin bersama-sama KH. Hasyim, dan Mbah Man Hamim Kemayan. “Pada saat sowan kulo didawuhi Gus Miek,” kata Gus Tajuddin.

”Derekno Kyai Hasyim sowan Mbah Abdul Qodir Khoiri…. ! (ikutkan Kyai Hasyim menghadap Mbah Abdul Qadir Khoiri ),” Perintah Gus Miek kepada Gus Tajuddin.

Gus Tajud saat itu hanya diam, di satu sisi pada saat itu maqbaroh sangat gelap, beliau ajrih (takut), di sisi Iain Mbah Hasyim selalu merasa rendah hati, beliau tidak mau diantar oleh Gus Tajuddin.dan akhirnya mereka berdua hanya udur-uduran (berselisih) hingga tiba pagi hari.

Setelah pagi, Gus Tajud ditanya oleh Gus Miek,“Kowe mambengi sido nderekne Kyai Hasyim sowan neng Mbah Abdul Qodir Khoiri ? (tadi malam kamu jadi mengantar Kyai Hasyim sowan kepada Mbah Abdul Qodir Khoiri…?),”

Lalu Gus Tajud menjawab, “mboten …, kulo ajreh. Kaping kaleh, Kyai Hasyim mboten kerso kulo derekne. Kinten-kinten mangke malah udur-uduran ingkang dados imame (Tidak jadi, saya takut. Alasan kedua karena Kyai Hasyim tidak mau saya antar. Kira- kira kalau nanti saya jadi ngantar nanti malah berselisih siapa yang menjadi imam).

“O …, Iek ngono sing apik mengko bengi Kyai Hasyim diderekne sowan nang Mbah Mundzir Bandar Kidul (O  …Kalau begitu, sebaiknya Kyai Hasyim diantar sowan kepada Mbah Mundzir Bandar Kidul),” Kata Gus Miek.

Akhirnya semuanya (KH. Hasyim, Gus Tajud, KH. Man Hamim Kemayan-Mojo- Kediri) sowan kepada Mbah Mundzir dan tiba di sana sekitar jam 12 malam.

Sesampainya di Bandar Kidul, Gus Tajud matur ( berkata) kepada Kyai Hasyim, “Yi …, mengke ingkang sowan dateng Mbah Mundzir panjenengan mawon kaliyan Kyai Man Hamim nggih, kulo nderekne sowan mawon pun gemeteran Yi…(Kyai…nanti yang masuk menemui Mbah mundzir kamu saja dan Gus Miek ya, kalau saya, ngantar sowan saja sudah gemetaran),” kata Gus Tajud.

Tapi Kyai Hasyim, tetap memaksa Gus Tajud untuk ikut sowan sesuai dengan perintah Gus Miek. Akhirnya mereka bertiga masuk ke kamar Mbah Mundzir yang saat itu beliau masih tidur (sare:Jawa).

Tepat pukul 01.00 malam, Mbah Mundzir bangun, “Lho… Kyai Man Hamim ….,…. !,” sapa Mbah Mundzir.

“Enggih,” balas Kyai Hamim.

“kowe kok nggowo wong songko Ponorogo…?” (kamu kok membawa orang dari Ponorogo..?). Saat itu Gus Tajud tidak dapat berkata apa-apa, hanya diam.

Karena heran, Gus Tajuddin bertanya kepada Kyai Hasyim, “Yi …., njenengan nopo sampun nate sowan Mbah Mundzir?” ”Dereng” jawab Kyai Hasyim.

Lalu, Mbah Mundzir dawuh kepada Gus Tajud, “Tajuddin, 7 tahun kepungkur, awakmu tak utus nyatet asmane Wali-Wali Sak dunyo, seng iseh sugeng lan sing wes kapundut”.

”Nggih Yai” jawab Gus Tajuddin membenarkan. Kemudian Mbah Mundzir mengutus salah seorang khodamnya “Fudz, jupukno polpen karo kertas, aku mbiyen tau ngutus Gus Tajud nulis Wali sak dunyo sing isek sugeng lan seng wes kapundut, tapi durung tutuk, saiki arep diterusne (Fudz, ambilkan pensil dan kertas, aku dulu pernah memerintah Gus Tajud menulis nama wali-wali di seluruh dunia, yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia, tapi belum selesai, sekarang akan di lanjutkan),” kata Mbah Mundzir.

Saat itu Gus Tajud sudah gemetaran, karena merasa belum bisa. Karena sangking pekanya Mbah Mundzir; beliau tahu kalau Gus Tajud gundah. Lalu Mbah Mundzir berkata, “Fudz, mahfudz. Sing nulis kowe wae, Gus Tajud kim biyen Madrasah durung tamat (Fudz, Mahfudz. Yang menulis kamu saja, Gus tajud dulu belum tamat madrasah),” seketika itu, Gus Tajud merasa senang luar biasa.

Setelah nama para wali ditulis, Ialu pensil dan kertasnya diberikan kepada Gus Tajud. “Jud, iki gowonen, gowonen baIi,” kata Mbah Mundzir.

“Nggeh Yai” jawab Gus Tajud.

“Simpenen, nggonen kenang-kenangan, mbok menowo kowe hadiyah AI-Fatihah wali sak dunyo, senajan urung tutuk lek mu nulis,” kata Mbah Mundzir.

 “Nggeh Yai” kata Gus Tajuddin.

Kemudian, mereka sungkem dan memohon diri. Saat itu kertas di masukkan ke dalam saku Gus Tajud. Lalu mereka pergi. Kira-kira baru melangkah 12 meter, tiba-tiba Gus Tajud dipanggil oleh Mbah Mundzir.

”Le…Jud mbaliko merene…!”, “Nggeh”, kata Gus Tajud. “kancamu loro kae tulisen neng kertas kuwi…!). “Engkang panjenengan kersaaken nopo tiyang Ponorogo niku kaleh Yai Hamim Kemayan…? (Yang mbah maksud apa orang Ponorogo itu dan Kyai Man Hamim Kemayan …. ?)”, tanya Gus Tajuddin. “Iyo…”(iya…), jawab Mbah Mundzir.

Gus Tajud tidak dapat berkata apa-apa, apakah KH. Hasyim ini termasuk wali atau bukan, yang jelas, Mbah Mundzir mengutus Gus Tajud untuk menulis nama KH. Hasyim di kertas yang telah beliau berikan… Wallohu A’lam Bi Al-Showab.

5. Nasehat
Nasehat KH. Hasyim, ”Ojo wedian, ojo gumunan, ojo kagetan” (jangan menjadi penakut, jangan sering terheran- heran, jangan sering kaget terhadap sesuatu yang baru) ternyata juga ditemukan dalam suatu tulisan di prabon (makam) Presiden Soeharto. Jadi, nasehat tersebut termasuk salah satu pepatah Jawa.

“Dadi santri, kudu siap dadi serbe’te masyarakat,” (jadi santri harus siap menjadi kain lap-nya masyarakat) nasehat KH. Hasyim. Dikandung maksud, bahwa seorang santri harus siap menjadi abdi masyarakat dalam menegakkan ajaran illahi.

Pesan KH. Hasyim kepada santrinya adalah agar betul-betul melaksanakan 3 hal ; 1. Shalat jamaah. 2. Mentaati peraturan. 3. Tadarus Al - Qur’an. Pada ketiga hal itulah, dungone Yai dilumpokne (Doanya kyai dikumpulkan). Berkaitan dengan hal tersebut, KH. Hasyim pernah mengatakan, “Dianggep santriku nek manut karo aku.” (dianggap santriku jika taat kepadaku). KH. Hasyim tidak suka (menghendaki) santri yang banyak, tetapi santri yang taat.

Ada seorang santri yang sowan kepada KH. Hasyim untuk meminta izin mendaftar kuliah. Selesai mendengar dan mengetahui maksud dan tujuan santri tersebut, KH. Hasyim menjawab, “Alhamdullilah kang, nek sampean pingin kuliah". Lalu beliau berpesan: “Nek ra pingin belajar, kudu ngajar” (kalau tidak ingin belajar, harus mengajar),

“Neng pondok ora jaminan mlebu surgo, neng kampus yo ora jaminan dadi sugih. Sing slamet, ojo diniati neko-neko (masuk pondok itu tidak menjamin masuk surga, jadi sarjana tidak menjamin menjadi kaya, pokoknya jangan diniati macam- macam)”, dan “Ojo melok demo, tak haramke melok demo (jangan ikut demo, saya haramkan ikut demo)”. Alasan KH. Hasyim, karena demo tidak sesuai dengan ajaran kitab Ta’lim Muta’allim.

“Wong nek bengi, raketang melek thok, iku hikmahe gedhe!” (orang yang terjaga ketika malam hari, itu memiliki hikmah besar walaupun dia tidak melakukan apa- apa sekalipun). Ini sejalan dengan laku tirakat KH. Hasyim yang selalu terjaga di malam hari (sahrul layali). Tirakat seperti ini KH. Hasyim lakukan semenjak remaja hingga dijemputnya ajal.

”Ngapiki wong iku wis termasuk ngamalne tasawwuf.” (berbuat baik kepada orang lain itu sudah termasuk mengamalkan tasawwuf).

Diantara pesan KH. Hasyim : 1. Sabar, 2. Manfaatkan waktu (isi waktu dengan kegiatan bermanfaat), 3. Dalam suatu majlis, janganlah membicarakan aib orang lain dan 4. Berkaitan suatu hal yang rahasia, hendaklah hanya diberitahukan kepada orang terbatas (mereka yang mampu menjaga rahasia).

KH. Hasyim pernah berpesan kepada Pak Tholib, salah satu warga, bahwa orang kaya anggaplah musuh dan orang miskin anggaplah sebagai dulur (saudara). Ungkapan KH. Hasyim ini harus dipahami dengan bijak. Bahwa dulur sejati adalah mereka yang bersaudara dengan kita dalam kebaikan dan dekat dengan kita dalam keadaan apa saja.

Dulur sejati bukanlah saudara kandung, tetapi siapa saja yang apabila temannya susah maka ia ikut merasakan susah, dan apabila temannya gembira maka ia ikut bergembira. “Nek koncone susah, yo melu susah. Semono ugo sewalike,” (kalau saudaranya susah dia ikut susah, begitu juga sebaliknya) ucap KH. Hasyim. Hubungan seperti ini akan terus langgeng sampai hari akhirat. Dikandung maksud dari pesan ini, agar kita waspada terhadap kekayaan, karena bila tidak berhati-hati, kekayaan bisa merusak ibadah kita.

Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 13 Desember 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 13 Desember 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya