Belajar dari Ketawadluan Kiai Abdul Wahid Kertosari

 
Belajar dari Ketawadluan Kiai Abdul Wahid Kertosari

LADUNI.ID, Jakarta - KH. Abdul Wahid sudah 29 tahun dipanggil kehadirat Yang Maha Kuasa. Namun, pendiri PP. Al-Anwari itu masih memberikan keteladanan yang patut diresapi oleh siapapun. Sebagaimana diceritakan oleh putranya, KH. Achmad Siddiq pada peringatan hasilnya kemarin (27/4).

"Salah satu sikap yang patut diteladani dari Abah (KH. Wahid), adalah ketawadluannya pada guru," terang Kiai Siddiq.

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Siddiq menceritakan saat ia diajak Abah-nya berkunjung ke PP. Salafiyah, Pasuruan. Dari kejauhan terlihat Kiai Idris Hamid. Dengan menunduk dan sedikit mempercepat langkah, Kiai Wahid menghampiri Kiai Idris. Ia cium tangan putra gurunya tersebut.

Hal itu terlihat masygul di mata Kiai Siddiq. Bagaimana tidak, secara nasab, sosial dan usia, Kiai Wahid lebih tua ketimbang Kiai Idris. Namun, kenapa perlakuannya sedemikian itu?

Selain itu, Kiai Wahid menjadi santri Kiai Abdul Hamid Pasuruan sejak belia. Tak kurang dari usia 8 tahun. Kiai Hamid sendiri merupakan sahabat karib ayahandanya, Haji Akan, saat mondok di Pesantren Tremas. Dari hubungan ini, Wahid kecil tak sekadar santri biasa, namun telah diangkat sebagai anak sendiri oleh Kiai Hamid.

Betapa sayangnya Kiai Hamid pada "anak angkatnya" itu, ia nikahkan dengan sepupu istrinya. Yakni, Nyai Hajjah Fatmawati binti KH. Achmad Qusyairi. Dari hubungan yang demikian, Kiai Wahid tak hanya menjadi "kakak" bagi Kiai Idris, tapi juga sebagai "paman". Lebih-lebih jika ditilik dari sisi usia. Keduanya terpaut usia 6 tahun. Kiai Wahid lahir pada 1950, sedangkan Kiai Idris lahir pada 14 Juni 1956.

Mendengar gugatan dari putranya tersebut, Kiai Wahid dengan arif menjelaskan. Bahwa, hubungan sosial apapun tak akan bisa melampau hubungan guru murid.

"Bagaimanapun beliau (Kiai Idris) adalah putra guruku. Jadi, saya harus tetap menghormati dan memuliakannya," jelas Kiai Wahid.

Keteladanan yang demikian, bak oase di tengah merosotnya nilai moralitas dewasa ini. Nilai-nilai ketawadluan kerap kali tertinggal di belakang. Terlampaui oleh syahwat kepentingan. Seperti halnya kepentingan politik yang lagi ramai beberapa waktu terakhir.  (Ayung Notonegoro)