Realisasi Esensi Mudik

 
Realisasi Esensi Mudik

LADUNI. ID, kolom- Kesibukan umat Islam dalam mudik dan Idul Fitri menarik dicermati. Dan lebih menarik lagi jika kita menjadikan momentum itu sebagai dasar otokritik pemahaman keagamaan yang lebih fungsional bagi penyelesaian banyak problem kemanusiaan. Kritik diri itu terasa pas dengan momentum hari raya fitrah.


Di antara sumber etika bagi otokritik itu adalah pesan kenabian di dalam risalah Nabi Muhammad SAW, yang kelihatannya mesti dibedakan dari konstruksi ajaran Islam menurut versi ulama klasik maupun modern.

Otokritik terpenting bahwa tanpa kita sadari, konstruksi ajaran Islam versi ulama pasca risalah kenabian acapkali kita tempatkan dalam posisi amat sentral.

Karenanya, hampir-hampir telah menutup kesempatan bagi kita menerobos dan menelusuri kembali risalah kenabian Muhammad yang bebas dari pengaruh para penafsir pasca kenabian itu sendiri.

Inilah yang sangat perlu dicermati kaum Muslimin, justru ketika kita sedang berada dalam prosesi mudik di hari raya fitrah.

Dalam konteks inilah penting dijadikan mudik itu bukan hanya sebagai perbuatan diri kita menuju ke kampung halaman, melainkan perlu pula mencari makna hakikinya menuju ke kefitrahan dengan cara memahami ajaran Islam yang sesungguhnya.

Apa sebetulnya hikmah tradisi mudik dan semua ibadah yang menandai kepedulian Islam terhadap perkara kemanusiaan dan sosial-kebangsaan, terutama yang berhubungan ajaran zakat fitrah dan zakat maal?

Pertanyaan itu untuk memancing timbulnya kepekaan kita terhadap masalah kemanusiaan dan sosial-kebangsaan, yang selama ini tampak tumpul akibat adanya penafsiran-penafsiran ayat Alquran dan sunnah yang seolah-olah sudah kita terima sebagai kebenaran final dan pandang sakral.

Semua ajaran Islam sebagaimana ditafsirkan para ulama terdahulu sepertinya sudah kita tempatkan dalam ruang sakral, lebih dari tradisi kenabian, Alquran dan sunnah itu sendiri.

Akibatnya, seolah-olah tak ada lagi sisa misteri yang harus dan dapat digali dari sumber otentik ajaran itu. Dan tanpa kita sadari, tulis AM Mulkhan (2000), cara pandang demikian telah menempatkan ajaran-ajaran historis itu bagaikan berhala yang menjadi penindas umat manusia.

Implikasinya, kini kita sepertinya tak mungkin lagi bisa menangkap kehadiran Tuhan yang kita percayai serba Maha itu secara aktual, sebab semuanya sudah dikonstruksikan secara formal. Tuhan mungkin sudah betul-betul “pensiun” seperti tesis Ibn Rusdi yang dikutip Ali Syariati (1985); atau tragisnya, Tuhan mungkin telah “dimatikan” seperti tesis Friedrich Nietsczhe (1998).

Itu terjadi karena kita sama sekali sepertinya mustahil untuk dapat memahami Tuhan yang aktual bagi setiap orang dan diri kita yang walaupun menyatakan diri sebagai Muslim.

Kesaksian iman memang sudah kita lembagakan dalam formula syahadatain atau rukun iman yang enam, tapi kita sering tak mau betul-betul menyadari keberadaan Tuhan yang otentik dan aktual.

Kita menyatakan diri beriman ketika kita telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan menghapal enam rukun iman. Itu sering kita pandang sudah cukup.

Bila demikian, kita sebetulnya tidaklah betul-betul menemukan Tuhan yang kita yakini dan imani itu. Yaitu ketika dibacakan ayat-ayat Tuhan, hati kita menjadi bergetar karena kita betul-betul menyadari kehadiran Tuhan di dalam ruang kehidupan.

Karena itulah prosesi mudik seharusnya kita beri makna sebagai etika kembalinya setiap Muslim kepada kemanusiaannya yang otentik, penemuan ketuhanannya yang otentik, dan keberagamaan yang betul-betul hidup dan aktual. Sayangnya, setiap tahun, kita seperti robot yang hampir otomatis menjalani ibadah puasa, membayar zakat fitrah, shalat ied, dan mudik pulang kampung yang biayanya kalau dikumpulkan dapat mencapai ratusan triliun rupiah.

Kita boleh saja menyatakan mudik merupakan salah satu bentuk ekspresi sebagian spiritualisme Islam. Tapi apalah makna sebuah spiritualisme kalau tanpa bisa membangkitkan kemanusiaan dan ketuhanan yang otentik dan aktual dalam kehidupan riil kita?

***Hendrizal, Dosen PPKn FKIP Universitas Bung Hatta