Menjaga Tradisi Tertib dalam Belajar Keislaman

 
Menjaga Tradisi Tertib dalam Belajar Keislaman
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Imam Al-Ghazali dan Ibn Rusyd itu beda generasi, tetapi kritikan Al-Ghazali terhadap filsafat dibantah oleh Ibn Rusyd. Buku dibantah buku. Namun yang menarik, karya monumental Al-Ghazali dalam bidang ushul fiqih, yaitu Kitab Al-Mustasyfa, ternyata dibuat ringkasannya oleh Ibn Rusyd.

Ini artinya Ibn Rusyd bukanlah ‘hater’ dari Al-Ghazali. Tidak mencaci atau membenci. Tetap kritis, tapi juga apresiatif. Saya pernah mengunduh Kitab Ad-Dharuri fi Ushul Al-Fiqhi karya Ibnu Rusyd yang meringkas Kitab Al-Mustasyfa itu.

Menarik bukan khazanah keislaman klasik ini?

Contohnya, Al-Ghazali menulis:

‎‏أَمَّا التَّمْهِيْدُ فَهُوَ أَنَّ الْحُكْمَ عِنْدَنَا عِبَارَةٌ عَنْ خِطَابِ الشَّرْعِ إِذَا تَعَلَّقَ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ

‎‏Sedangkan Ibn Rusyd meringkas dan sekaligus memodifikasinya sebagai berikut:

‎‏أَمَّا حَدُّ الْحُكْمِ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ فَهُوَ عِبَارَةٌ عَنْ خِطَابِ الشَّرْعِ إِذَا تَعَلَّقَ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ

Saat Al-Ghazali menyodorkan definisi hukum, beliau menulis kata ‘indana (menurut kami). Kata ini diubah dengan diperjelas oleh Ibn Rusyd, yaitu ‘Inda Ahlis Sunnah (menurut Ahlussunnah). Modifikasi ini terlihat sepele tapi sesungguhnya Ibn Rusyd telah memperjelas kutipan ini.

Pertama, dengan mengubah kalimat "‘indana" Ibn Rusyd meluaskan audiens yang dituju oleh Kitab Al-Mustasyfa itu. Kedua, pembahasan berikutnya, Al-Ghazali mengupas perbedaannya dengan Mu’tazilah tentang Al-Husnu wa Al-Qubh (baik & buruk). Jadi wajar Ibn Rusyd menegaskan posisi Al-Ghazali yang adalah seorang Ahlussunnah.

Lagipula sebenarnya masalah khitab syar’i ini juga melibatkan perdebatan ilmu kalam antara Ahlussunnah dan Mu’tazilah. Kalau kita baca salah satu kitab babon ushul fiqih yang berjudul Nihayah As-Sul karya Imam Isnawi, ada diskusi menarik soal definisi hukum ini.

Apakah khitabullah itu qadim (lama) seperti klaim Ahlussunnah, atau hadits (baru) seperti klaim Mu’tazilah. Ahlussunnah bilang, bahwa khitabullah itu kalamullah. Sifat Allah itu qadim. Mu’tazilah lalu serang balik, dengan pernyataan; kalau khitabullah qadim, apakah hukum jadi hadits karena berkenaan dengan perbuatan mukallaf?

Diskusinya akan panjang soal ini, sementara Kitab Al-Mustasyfa tidak menyinggung sedetail itu, namun Ibn Rusyd paham konteks diskusinya, maka beliau memperjelas kalimat "‘indana" dari Imam Al-Ghazali menjadi "‘inda ahlis sunnah".

Selain meringkas, khazanah keilmuan klasik Islam juga dipenuhi dengan tradisi memberi syarh (penjelasan) terhadap matan (teks asli). Misalnya Nihayah As-Sul yang saya kutip di atas, itu merupakan Syarh (penjelasan) Al-Isnawi terhadap kitab Al-Baidhawi yang meringkas Al-Mahsul karya Ar-Razi.

Selain itu, ada pula eksplorasi lebih lanjut dari kitab syarh. Catatannya makin panjang. Namanya adalah hasyiyah. Dalam bidang ushul fiqih, contohnya Kitab Al-Waraqat karya Imam Al-Haramain, diberi syarh oleh Al-Mahalli. Lantas Syaikh Ahmad Ad-Dimyathi menulis hasyiyah-nya.

Tradisi inilah yg dijaga dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Ada buku teks rujukan, yang bisa diberi ringkasan, atau diberi tambahan penjelasan, dan kemudian diberi eksplorasi lebih jauh. Bacaan kitab juga bertingkat sesuai tingkatan belajar para santri. Tertib dalam disiplin ilmu.

Sama saja dengan belajar biologi di SMP dan belajar biologi di pascasarjana, pasti beda kedalamannya, meskipun sama-sama belajar biologi. Keilmuan klasik Islam juga demikian. Belajarnya tidak bisa lompat, harus tertib.

Semoga coretan sederhana ini bisa mendorong kita untukk terus rajin belajar. Medium penyampaian ilmu boleh saja menggunakan tools modern seperti di media sosial, namun belajar dengan tertib keilmuan harus kita jaga tradisi ini. Kalau tidak, pengetahuan kita hanya comot sana-sini, dan tidak mengenal kedalaman ilmu dengan baik. Medsos itu cuma tool saja, jangan menjadi yang utama. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 06 Juni 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Prof. Nadirsyah Hosen

Editor: Hakim