Milad Menjelang Seabad Syaikhuna Al-Mursyid Al-Mujaddid Abu MUDI

 
Milad Menjelang Seabad Syaikhuna Al-Mursyid Al-Mujaddid Abu MUDI

LADUNI. ID, KOLOM-SAAT itu waktu masih pagi kala burung sedang berkicau dengan suara merdu dalam untaian zikirnya yang beragam, udara dingin masih segar menyelimuti pagi di kebun surga di kota santri Samalanga. Para muallim (guree) sedang bersiap dengan kitabnya menuju Balee Beton dan sebagaiannya sudah menempati saf balee yang terkenal "angker" dan "kramat".

Terlihat dari kejauhan sosok yang tawadhu dengan berjalan perlahan dan pandangan yang tertunduk berjalan dengan tongkatnya menuju Balee Beton yang merupakan pengajian tertua yang dilakoni sosok yang juga seorang mursyid Naqsyabandi.

Saat pimpinan dayah sebelumnya Allahuyarham Syaikhuna Abon Aziz Samalanga dalam kondisi sakit tepat era tahun 1980-an, sang mursyid yang telah mulai mengantikan pengajian di Balee Beton. Pasca Abon meninggal pucuk pimpinan diserahkan kepada Al-Mukarram.

Salah satu kelebihan Almukarram istiqamah dalam beut seumeubeut (taklim) hingga mampu menamatkan kitab monumental karya ulama besar mazhab Syafi'i Tuhfah Al-Muhtaj yang dikarang Syekh Ibnu Hajar bahkan menurut pengakuan salah seorang ulama pulau Walisongo belum ada di nusantara ini ulama yang mampu membaca kitab bertalaqqi hingga tamat Tuhfah Almuhtaj yang belasan jilid itu, namun berkah doa guru dan mau'ah ilahi sosok itu mampu melakukannya.

Setiap hari ulama sepuh dan kharismatik itupun membaca kitab dihadapan para guru penjara suci itu dan bukan hanya Tuhfah Almuhtaj juga beberapa kitab lainnya juga telah dikhatamkan hingga beberapa kali dengan bertalaqqi termasuk karya ulama kesohor Kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghazali. Wajar saat ada tulisan dan ibarat kitab yang dibacakan sepertinya kurang "pas" dan bertanya juga kepada jamaah pengajian, padahal almukarram telah duluan memberikan ibarat yang cocok menurutnya pemikirannya,  ternyata saat di cocokkan dengan kitab tertua ternyata benar seperti prediksi almukarram. Hal seperti ini dalam dunia turast dikenal dengan "rasih".

Pengajian yang berlangsung sejak pukul 06.00 hingga menjelang pukul. 07.30 WiB kajian kitab baik Tuhfah maupun Ihya Ulumuddin namun syarahannya mencakup semua elemen baik politik,  bermasyarakat,  masalah terkini dan berbagai kajian lainnya kalau kita kalkulasikan dengan sistem perkuliahan melebihi SKS wajib bahkan apa yang pernah beliau sampaikan dalam halaqah pengajian itu jarang yang meleset terlebih terkait fenomena di dunia yang terjadi masa akan datang dan saat dicocokkan apa yang beliau sampaikan benar adanya termasuk bagaimana kita bersikap dalam beragama dan masyarakat mengatasi problema dalam keluarga dan bermasyarakat. Dalam bahasa yang singkatnya dikenal dengan "kasyaf".

Bagaimana "lezatnya" kajian bersama Almukarram di Balee Beton terlebih kajiannya terbuka dan pasti berbeda penyampaiannya saat Almukarram mengajar di luar Balee Beton mungkin tidak ada untaian kata yang bisa digambarkan bahkan menurut paparan ureung awai (guru senior sebelum kurun penulis), kelezatan mengaji bersama Almuakrram dibandingkan dengan Almukarram Allahurham Abon Aziz Samalanga, katanya 10 kali lipat lebih "lezatnya".

Lantas bagaimanakah ketinggiannya ilmu Abon Aziz yang semua Ashabil Wujuh (murid senior)nya alim dan karamah sepertinya hal Abu Kuta Krueng, Abu Lhok Nibong, Abu Panton, Abu Lamkawe dan lainnya.

Tanpa terasa "lezat"nya bertalaqqi dengan Al-Mukarram waktu telah tiba untuk mengakhiri pembacaan kitab dan lazimnya Almukarram selalu tepat waktu baik saat belajar maupun mengakhiri beut (mengajar)  di Balee Beton. Dulunya pasca selesai pengajian selalu ada tabarruk mencium tangan, namun saat kurun penulis menjadi warga Balee Beton tradisi itu tidak ada lagi dengan banyak pertimbangan, diantaranya menghabiskan banyak waktu sehingga tidak bisa mengontrol santri untuk belajar, bayangkan apabila ada warga Balee Beton lebih kurang dari 300 orang, diumpamakan saja seorang satu menit, tentunya pasti menghabiskan banyak waktu. Lantas siapa sosok tersebut yang kini tepat 70 silam beliau telah lahir menjadi lampu pelita seantero bumi ini?

Sosok yang tidak banyak berbicara namun menyimpan seribu ide dan terobosan bahkan ide cemerlangnya membuat terkesima almarhum tokoh Aceh yang telah menjadi warga Malaysia dan seorang politikus Malaysia keturunan Aceh, Sanusi Juned, ia meninggal subuh dini hari, Jumat (9/3/2014). Sanusi Juned yang merupakan mantan menteri bekas kedah, malaysia ini meninggal dalam usia 74 tahun.

Belum bernama asli Teungku Haji Hasanoel Bashry  bin Haji Gadeng yang lebih dikenal sebagai Almursyid Almukarram Abu Mudi dilahirkan di desa Uteun Geulinggang, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, pada tanggal 21 Juni 1949 yang bertepatan dengan tanggal 26 Syaban 1368 H.

Abu MUDI orang tuanya asal Pidie kini telah berubah menjadi Pidie Jaya (Kawasan Meureudu), masyarakat Pidie pencinta perantau sebagai ciri khasnya maka Tgk. H. Gadeng Bin Bulang merantau ke Aceh Utara tepatnya Krueng Geukeuh, Dewantara. Sedangkan Ibunda Abu MUDI berasal dari Samalanga.

Abu MUDI merupakan putra tertua dari dua bersaudara dari pasangan Tgk. H. Gadeng bin Bulang dan Ummi Manawiyah binti Sandang. Dengan kehidupan yang berlatar belakang agama yang tinggi serta disiplin yang ayah beliau tanamkan sejak kecil membuatnya menjadi sosok yang sangat mencintai agama serta tekun dalam mempelajarinya.

Sejak berusia 5 tahun seperti umumnya anak-anak masyarakat Aceh pada masa itu, ia mengikuti pendidikan dasar di Sekolah Rakyat swasta di Krueng Geukueh selama 7 tahun, sebelum kemudian sempat menempuh pendidikan PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) selama 2 tahun dari standar prgogram pendidikan empat tahun.

Pada tahun 1964 setelah sempat mengenyam pendidikan di PGAP (setingkat SMP sekarang) selama dua tahun, ia memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan pendidikan umum karena melihat kualitas pendidikan yang sangat rendah pada saat itu dan atas inisiatif sendiri di usia 15 tahun ia memutuskan untuk belajar ke Dayah Mesjid Raya yang sudah cukup dikenal masyarakat pada waktu itu.

Singkat cerita, setelan lebih dari 10 tahun mengenyam pendidikan di Dayah MUDI, pada usia ke-28 tahun ia menikahi putri sulung Abon Aziz yang merupakan pimpinan Dayah MUDI yang bernama Ummi Shalihah dan dikarunia tujuh orang anak,masing-masing bernama Zahrul Fuadi Mubarrak (1979), Su’aidah (1980) (meninggal saat bayi), Zahrah Mahfudhah (1984)
Nurul A’la Rabi’ah ‘Adawiyah (1985), Muhammad Thaifur (1988),Muhammad Abrar Azizi (1989) dan terakhir bernama Abdul Muhaimin (1991).

Beranjak dari itu, singkat cerita lewat ketakdhiman dan taslim serta kedisiplinannya menjadikan Al-Mukarram matahari ilmu dari ufuk Barat nusantara ini bahkan Tarekat Naqsyabandiah yang tidak pernah diimpikan kini berkat beut seumeubeut, Al-Mukarram Abu MUDI telah menjadi Al-mursyid bahkan Sayyidul Mursyidin suatu saat nanti.

 

Tidak berlebihan dengan kiprah dan kekotohannya di bidang agama dan pendidikan lewat dayah MUDI, Tastafi dan IAI Al-Aziziyah tiga kutub ilmu ini menjulukinya sebagai Al-Mujaddid Zaman now dalam integrasi ilmu menuju Aceh bersyariat dan “Aceh Merdeka” menuju negeri baldatun tayyibatun warabbul ghafur.


Tanpa terasa umur Al-Mursyid Abu MUDI hari ini tepatnya 21 Juni 2019 genap 70 tahun. Keberkahan umur Almursyid melebihi umur ghalib yang mendedikasikan umur untuk beut seumeubeut dan kepentingan umat. Sebenarnya masih banyak  untaian coretan menggambarkan perjalanan hidup ayah rohani kita Abu MUDI, namun banyak keterbatasan dan terakhir tiada kata-kata yang indah selain untaian doa sebagaimana ditulis Syekh Abdul Fattah Abu Guddah dalam catatan kaki kitab Risâlah al-Mustarsyidin:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Terakhir kita meminta dan berharap  semoga almukarram almursyid Almujaddid Syaikhuna Abu MUDI diberi umur panjang dan kesehatan demi kemaslahatan umat demi meraih sa'adah daraini (kebahagiaan dunia akhirat). Alfatihah...

***Helmi Abu Bakar Ellangkawi, Warga Blang Dalam Ulee Glee, Bandar Dua, Pidie Jaya.