Hukum Zakat Ikan dalam Tambak

 
Hukum Zakat Ikan dalam Tambak

Zakat Ikan dalam Tambak

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat Anda sekalian, atas hukumnya orang memelihara ikan dalam tambak (kolam), kebiasaan diambil dua kali setahun, maka bagaimana caranya memberikan zakatnya?.

Jawab :

Kalau sewaktu membeli bibit ikan dan tambaknya untuk berdagang, yakni sengaja akan dijual lagi dengan keuntungan, maka kewajiban memberikan zakat perdagangan itu dalam akhir tahun. Bila membelinya kolam itu untuk dimiliki atau menyewa dan membelinya bibit ikan itu untuk berdagang, maka hanya berkewajiban membayar zakat tijarahnya ikan saja dalam akhir tahun (terhitung mulai membeli bibit). Catatan: Tidak diragukan lagi dalam masalah ini, bahwa yang diperdagangkan adalah bibit ikan itu, bukan keturunannya. Sedang ikan itu, bukan termasuk barang yang wajib dizakati seperti padi dan lain-lain. (Pen.) Keterangan, dari kitab:

  1. Fath al-Wahhab[1]

وَالْوَاجِبُ (فِيْمَا مُلِكَ بِمُعَاوَضَةٍ) مَقْرُوْنَةٍ (بِنِيَّةِ تِجَارَةٍ) وَإِنْ لَمْ يُجَدِّدْهَا فِيْ كُلِّ تَصَرُّفٍ (كَشِرَاءٍ وَإِصْدَاقٍ) وَهِبَّةٍ بِثَوَابٍ لاَ إِقَالَةٍ وَرَدٍّ بِعَيْبٍ وَهِبَّةٍ بِلاَ ثَوَابٍ  ِلانْتِفَاءِ الْمُعَاوَضَةِ (رُبُعُ عُشُرِ قِيْمَتِهِ).

Maka kadar zakat yang wajib ditunaikan pada harta yang dimiliki dengan mu’awadhah (pertukaran) yang disertai niat berniaga, walapun tidak diperbarui dalam setiap pembelanjaannya, seperti membeli, memberi mas kawin, memberi dengan imbalan. Bukan iqalah (membatalkan akad), mengembalikan barang yang dibeli karena cacat, dan pemberian tanpa imbalan, karena tidak adanya mu’awadhah, adalah 2,5 % dari harganya.

  1. Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiyah al-Syirwani[2]

وَإِنَّمَا يَصِيْرُ الْعَرَضُ لِلتِّجَارَةِ إِذَا اقْتَرَنَتْ نِيَّتُهَا بِكَسْبِهِ بِمُعَاوَضَةٍ قَوْلُ الْمَتْنِ (إذَا اقْتَرَنَتْ نِيَّتُهَا إلَخْ) أَي نِيَّةُ التِّجَارَةِ بِهَذَا الْعَرَضِ بِكَسْبِ ذَلِكَ الْعَرَضِ وَتَمَلُّكِهِ بِمُعَاوَضَةٍ وَتَقَدَّمَ أَيْضًا أَنَّ التِّجَارَةَ تَقْلِيْبُ الْمَالِ بِالتَّصَرُّفِ فِيْهِ بِنَحْوِ الْبَيْعِ لِطَلَبِ النَّمَاءِ فَتَبَيَّنَ بِذَلِكَ أَنَّ الْبَزْرَ الْمُشْتَرَى بِنِيَّةِ أَنْ يُزْرَعَ ثُمَّ يُتَّجَرَ بِمَا يَنْبُتُ وَيَحْصُلُ مِنْهُ كَبَزْرِ الْبَقَمِ لاَ يَكُوْنُ عَرَضَ تِجَارَةٍ لاَ هُوَ وَلاَ مَا يَنْبُتُ مِنْهُ إِلَى أَنْ قَالَ وَلاَ يُقَاسُ الْبَذْرُ الْمَذْكُوْرُ عَلَى نَحْوِ صِبْغٍ اُشْتُرِيَ لِيَصْبَغَ بِهِ لِلنَّاسِ بِعِوَضٍ لِأَنَّ التِّجَارَةَ هُنَاكَ بِعَيْنِ الصِّبْغِ الْمُشْتَرَى لاَ بِمَا يَنْشَأُ مِنْهُ بِخِلاَفِ الْبَذْرِ الْمَذْكُوْرِ فَإِنَّهُ بِعَكْسِ ذَلِكَ

Suatu barang menjadi komoditas dagang hanya bila niat dagangnya bersamaan dengan mendapat barang tersebut dengan cara tukar menukar. (Ungkapan kitab Matn: “Bila niat dagangnya bersamaan …”) maksudnya adalah niat dagang dengan barang ini bersamaan dengan mendapatkannya, dan dimilikinya dengan tukar menukar. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa tijarah adalah mengelola harta dengan membelanjakannnya dengan seperti akad jual-beli untuk memperoleh keuntungan. Dengan begitu, jelaslah bahwa bibit yang dibeli dengan tujuan ditanam, lalu sesuatu yang tumbuh ataupun yang dihasilkan darinya diperdagangkan, seperti bibit baqm (nama jenis pepohonan/tanaman), itu tidak termasuk komoditas perdagangan, baik bibit itu sendiri atau apapun yang tumbuh darinya ... Dan bibit tersebut tidak bisa diqiyaskan dengan pewarna yang dibeli untuk (dijadikan) pewarna pakaian bagi orang banyak dengan menarik biaya. Sebab tijarah (bisnis) dalam pewarna tersebut adalah dengan pewarna yang dibelinya, bukan dari barang yang tumbuh darinya. Berbeda dengan usaha bibit di atas, karena kebalikannya.

[1] Sulaiman al-Jamal, Fath al-Wahhab pada Futuhat al-Wahhab, (Beirut: Dar al-Fikr t. th.) Jilid II, h. 264-265.

[2] Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1997 M), Cet. Ke-1, Jilid III, h. 325.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 137 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-8 Di Jakarta Pada Tanggal 12 Muharram 1352 H. / 7 Mei 1933 M.