Keharusan Memiliki Guru, Penjelasan Buya Syakur dalam Perspektif Tasawuf

 
Keharusan Memiliki Guru, Penjelasan Buya Syakur dalam Perspektif Tasawuf
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Mencari ilmu adalah kewajiban bagi seluruh umat Muslim, baik itu laki-laki maupun perempuan. Hal ini seperti ditegaskan dalam sebuah Hadis Nabi yang berbunyi berikut:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ

"Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan." (HR. Al-Baihaqi)

Lalu muncul beberapa pertanyaan, apakah dalam proses mencari ilmu itu kita juga diwajibkan memiliki seorang guru? Bagaimana sebenarnya kriteria seorang guru yang harus kita jadikan panutan ketika mencari ilmu? Kemudian, ilmu apa saja yang harus kita cari di dunia ini untuk akhirat nanti? Apakah sanad keilmuan juga perlu diperhitungkan?

KH. Abdul Syakur Yasin atau yang akrab disapa Buya Syakur, pernah memberikan keterangan menarik mengenai rentetan pertanyaan di atas. Bahwa untuk menuntut sebuah ilmu, seorang Muslim penuntut ilmu agama harus bersemangat mencari guru yang bisa mengajarkannya tentang kebaikan dunia dan akhirat. Sebab, melalui seorang guru, sang penuntut ilmu tersebut akan lebih mudah dan cepat memahami dan lebih terbimbing.

Dalam pembacaan sebuah Hadis misalnya, terkadang tidak perlu terlalu detail melihat bagaimana sanad yang tertera, bahkan sampai satu halaman. Lebih dari itu, dalam mempelajari Hadis, substansinya adalah mempelajari isi dari Hadis tersebut. Sebab, dalam metodologi sanad masih sebatas dugaan tentang kejujuran seorang perawi Hadis, sehingga sebenarnya tidak ada kejelasan yang pasti, apakah suatu Hadis benar-benar asli, dan manakah Hadis yang memang benar-benar asli.

Hal yang penting dimiliki oleh seorang pembelajar Hadis adalah bagaimana mempelajari secara tekstual. Hal ini seperti juga dilakukan oleh Buya Syakur Yasin, di mana beliau lebih menekankan pada Dirasat An-Nushush, yakni langsung mempelajari atau studi mengenai teks Hadis tersebut.

Pendekatan terminologis semacam ini merupakan pendekatan yang mempelajari bahasa dalam sebuah teks, yakni menggunakan Dilalah Lafdhiyah, yang nantinya merupakan kesepakatan dalam setiap lafadh yang ingin dipelajari.

Pandangan tentang Ilmu

Banyak orang masih mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Padahal, hakikat ilmu itu adalah memahami sesuatu (Idraku Syaiin). Jadi bukan tentang mengenal nama, tetapi lebih pada memahami tentang sesuatu yang ingin dipelajari dari sebuah ilmu.

Hal ini juga berkaitan dengan apa yang oleh Al-Qur’an disampaikan dengan “wa ‘allamal aadama al-asmaa a”. Padahal, kata “asmaa a” itu bukan diartikan dengan nama, melainkan hanya simbol saja, dilalatuha lil makna.

Oleh karena itu, dikotomi ilmu (ilmu agama dan ilmu umum) sebenarnya merupakan kekeliruan. Hanya saja, sebuah ilmu bisa dikatakan bidang ilmu jika dilihat dari motivasi orang dalam memanfaatkan ilmu tersebut, bukan bentuk dari ilmu tersebut. Misalnya, ada seorang dokter bernama dokter Idris, merupakan dokter yang dikenal baik. Dokter Idris, seperti diceritakan Buya Syakur Yasin, adalah dokter yang tidak meminta biaya ketika tahu si pasien benar-benar membutuhkan pengobatan. Dokter Idris adalah tipikal dokter yang  menggunakan ilmu kedokteran untuk ibadah. Lalu, hal yang demikian itu disebut ilmu dunia atau ilmu akhirat?

Dalam Hadis Nabi, seperti ditulis di awal uraian ini, kata “thalabul ‘ilmi” (mencari ilmu) dalam Hadis tersebut tentu tidak diperuntukkan mencari ilmu agama dan ilmu umum/dunia. Sebab pada dasarnya, dikotomi ilmu tersebut tidak ada. Nabi Muhammad SAW menyuruh thalabul ilmi fariidlatun, ilmu apa yang harus dicari? Ilmu pemerintahan? Ilmu afsir? Ilmu fiqih? Ushul fiqih? Ilmu Hadis? Ilmu qira’at? Qawa’idul fiqhiyah? Ternyata bukan mengenai itu pembahasan yang dimaksud ilmu.

Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah mendikotomi ilmu. Ilmu adalah ilmu. Tidak pernah ada perintah, misalnya untuk mondok di Al-Ma’had Al-Platowiyah, Pesantren Aristoteles, Plato, Socrates. Demikian pula juga tidak diminta untuk bersekolah, misalnya di Ibtida’iyah Anaximenes, Anaximandros, Phytagoras, dll. Sebab, memang dulu tidak ada pesantren atau lembaga sekolah seperti sekarang.

Dari hal ini dapat ditarik benang merah, bahwa terdapat paradigma bayangan yang sesungguhnya tertanam dalam pemikiran umat Islam, bahkan hal ini sudah terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.

Kewajiban Mempunyai Guru

Ada saatnya ketika guru itu menjadi wajib untuk kita miliki, yakni ketika kita akan belajar ilmu "ruhaniah". Kehadiran seorang guru atau mursyid sangat dirasa kewajibannya, karena di dalam proses belajar ilmu ini terdapat beberapa amalan, seperti wirid dan semacamnya yang hanya diketahui oleh seorang guru tersebut.

Ilmu ruhaniah memang tergolong bukan ilmu agama dan ilmu umum, bukan ilmu dunia dan bukan ilmu akhirat. Ilmu ruhaniyah meniscayakan seseorang bisa berkomunikasi dengan makhluk-makhluk bangsa energi dan sebagainya, sehingga hal tersebut membutuhkan seorang mursyid.

Pentingnya seorang guru di dalam belajar ilmu ruhaniah adalah untuk membimbing supaya tidak terjerat dalam tipuan setan. Sebab, tidak dapat dipungkiri, setan akan memunculkan diri dan berkomunikasi dengan mengaku sebagai Tuhan. Sehingga, untuk murid yang belum memiliki "sensor", yang belum punya "detektor", harus memiliki seorang mursyid yang nanti akan membimbingnya supaya tidak tersesat.

Demikian ini sebagaimana yang dimaksud dengan nasihat “Man ta’allama bighairi syaikhin, fasyaikhuhu syaithan,” barang siapa yang belajar (ilmu ruhaniah) tanpa syaikh (seorang guru mursyid), maka yang menjadi gurunya itu tidak lain adalah setan. Akibatnya, banyak orang yang mengaku wali, mengaku nabi, bertemu malaikat Jibril, dan sebagainya. Tapi sebenarnya itu adalah jin atau setan biasa. Di sinilah penting dan wajibnya mempunyai seorang guru mursyid. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Abdul Syakur Yasin. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 19 Oktober 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim

 

 

Tags