Wisata Ziarah dan Berdoa di Makam KH. Wahid Hasyim Jombang

Memperoleh Donasi Sebesar : Rp 0. Donasi Sekarang
 
Wisata Ziarah dan Berdoa di Makam KH. Wahid Hasyim Jombang

Profil Sejarah

KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan sosok yang sangat berpengaruh dalam sejarah Indonesia, terutama dalam bidang agama, politik, dan pendidikan. Beliau lahir di Jombang pada Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, atau 1 Juni 1914 dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Sejak usia dini, KH. Wahid Hasyim menunjukkan bakat dan kecerdasan luar biasa.

Pada usia 7 tahun, beliau sudah mampu membaca kitab-kitab agama yang tidak lazim dibaca oleh anak seusianya, contoh kitab Fathul-Qarib, Minhatul Qaqim Mutamminah, dan lain-lain.

Beliau terus belajar ke beberapa pesantren yaitu di Siwalan Panji, Sidoharjo, Mojosari, dan Lirboyo, Kediri. Di pesantren-pesantren itu, beliau tidak lama belajar, kemudian pulang ke Tebuireng. Mulai umur 15 tahun baru paham huruf latin, kemudian dengan bersungguh-sungguh mempelajari berbagai pengetahuan dan berlangganan majalah Panjebar Semangat (Aliran Dr. Sutomo) Daulat Rakyat (PNI-Hatta), dan Panji Pusaka, terbitan Balai Pustaka.

KH. Wahid Hasyim muda hijrah ke Arab untuk memperdalam ilmu agamanya pada 1932, atau di usia 18 tahun. Dua tahun kemudian, dia kembali ke Tanah Air. Sekembalinya dari Arab, Wahid Hasyim mengabdikan diri sepenuhnya kepada umat. Selain menjadi guru di madrasah yang dirintisnya, Madrasah Nidzamiyah, beliau juga aktif di Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah kembali dari Mekkah, KH. Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan memodernisasi, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik. Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, beliau gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaharuan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah. Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah.

Pada usia 25 tahun pula, KH. Wahid Hasyim mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak, salah satunya Abdurrahman ad-Dakhil atau Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI. Tahun 1947, KH. Wahid Hasyim dipercaya memimpin Ponpes Tebuireng. KH. Wahid Hasyim juga merupakan salah satu anggota di Tim Sembilan BPUPKI.

KH. Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Presidensial 2 September 1945. Selain itu, dia juga ditunjuk menjadi Menteri Agama dalam tiga periode pemerintahan yakni Kabinet RIS (20 Desember 1949-6 September 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), dan Kabinet Sukiman-Suwiryo (27 April 1951-3 April 1952).

KH. Wahid Hasyim meninggal dunia 19 April 1953 akibat kecelakaan. Sehari sebelumnya, beliau bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Beliau bersama beberapa orang, termasuk sopir dan Abdurrahman Wahid, naik mobil Chevrolet miliknya.

Kepulangan KH. Wahid Hasyim meninggalkan duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Beliau dianggap sebagai salah satu tokoh yang berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Makam beliau berada di komplek pemakaman pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur, sebagai tanda penghormatan atas jasa-jasanya yang besar bagi Indonesia. Profil sejarah KH. Wahid Hasyim akan terus dikenang dan dijadikan inspirasi bagi generasi-generasi selanjutnya dalam memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan kemajuan bangsa.

 

Lokasi Makam

Makam KH. Wahid Hasyim berada di Komplek Pemakaman Pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Tumur.