Budaya Gengsi Bagi Generasi Milenial

 
Budaya Gengsi Bagi Generasi Milenial

LADUNI.ID, Jakarta - "Sungguh payah diri ku, lebih mengulik tentang style dan modis dari luar negeri, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi sayang, aku lupa bahwa Indonesia jauh lebih berwarna". [Lead-nya]

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa adaptasi untuk mempopuler gaya hidup westernisasi dan arabisasi kian terasa kontrasnya bagi generasi milenial. Budaya yang masuk dari Barat dan Timur tidak bisa ditelaah secara selektif oleh generasi hari ini.

Kurangnya kecintaan terhadap budaya sendiri membuat gaya hidup ini semakin mengakar kuat ditubuh pengikutnya. Artinya apa? Bahwa mayoritas generasi milenial kurang percaya diri terhadap identitasnya sendiri sehingga kurang mengenali jati dirinya.

Ini juga mengindikasikan pula bahwa terjadi degradasi mental di era dewasa ini, karena kurangnya mendalami keterkaitan antara aspek kesejarahan dan tantangan generasi ini. Dan keterbelakangan dari segi membaca serta menyelami ilmu pengetahuan membuat kian nyata diperlihatkan oleh regenerasi pemimpin bangsa.

Jauh hari sudah dibahasakan oleh Presiden pertama Republik Indonesia yakni Ir.Soekarno, bahwa "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (JAS MERAH) dalam pidatonya dahulu". Namun apa yang dialami oleh generasi sekarang? Semakin tahun, tidak mengetahui sejarah bangsanya sendiri.

Budaya konsumtif dan hedonistik yang mematikan nalar produktif bagi generasi ini, kita munafik jika perpandangan apologetik bahwa generasi ini sedang baik-baik saja. Presiden Keempat Republik Indonesia, Almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernah menyampaikan kepada khalayak bahwa "generasi kedepan akan mengalami masa dimana tantangannya begitu kompleks sehingga besar kemungkinan yang belum pernah didapati persoalannya, kelak akan didapatkan generasi selanjutnya."

Bisa kita telaah bersama, penyampaian tersebut menghasilkan berbagai permasalahan yang belum kunjung didapati solusinya, seperti misalnya memasuki arus globalisasi keempat yang penyebaran informasi tidak ada yang bisa menahan akselerasinya. Sehingga penyebaran dimedia sosial itu berimplikasi terhadap kebohongan atau yang familiar kita kenal yakni HOAX.

Terlebih kita melihat secara realistis, peminat game online semakin besar jumlahnha oleh generasi milenial. Mereka tak lagi menjadikan bahan diskoursif soal kelangsungan negeri ini, akan tetapi mereka hanya mendiskusikan sekaitan dengan game online tersebut yang kemungkinan terbesarnya mengalami ketergantungan maupun kecanduan didepan layar handphone.

Kalo diteliti lebih mendalam, mendatangkan kemudharatan ketimbang kemaslahatan, membuat gangguan pada retina mata sehingga diusia muda mengalami rabun dekat dan anti sosial, ini baru contoh kecilnya saja.

Kecenderungan yang apatis bagi generasi ini dikarenakan kehidupan yang serba manja dan penuh glamour. Hampir-hampir tidak diketemukan perubahan sosial yang diinisiasi bagi kaum milenial. Belum lagi ketika kita pusatkan fokus tinjauan kepustakaan didunia pendidikan, mari kita ambil sample terhadap mahasiswa generasi ini.

Taruhlah disuatu Universitas baik negeri maupun swasta, terjadi signifikansi dalam 10 tahun belakangan bahwa kemeresotan intelektualitas yang dimiliki generasi ini semakin jelas. Metode copy-paste dari beragam tugas yang diberikan oleh dosennya, membuatnya tidak mau ambil pusing. Ingin langsung praktis dan instan dalam mendapatkan dalam tanda kutip nilai A. namun, ketika meminta pertanggung-jawaban atas nilai tertinggi itu, hampir seluruhnya tidak bisa mempertanggung-jawabkannya. Karena mematikan nalar kritisnya dengan bertumpuh pada pendekatan searching di browser kemudian memakai kerangka copy-paste.

Budaya ini harusnya lebih mendekatkan dan sandarannya kepercayaan diri terhadap pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki. Akan tetapi, jika ditelaah kembali bahwa budaya malas membaca ini semakin meningkatkan sehingga secara faktual kita dapati hampir menjadi fosil ditiap-tiap kampus ruang-ruang diskusi oleh para mahasiswanya.

Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua yang nantinya menjadi pelaku sejarah, bahwa common sense (pandangan umum) seperti ini harus dikembalikan kepada fokus kajian yang meningkatkan budaya sendiri dan kepercayaan akan identitas yang sudah ada sejak kita lahir. Sehingga ada upaya meminimalisir beban bagi generasi pelanjut soal kesadaran kolektif kembali kepada budaya literasi dan jati diri bangsa Indonesia.

Perkataan Ir.Soekarno dalam pidatonya bahwa "jika ingin menjadi Islam jangan menjadi orang Arab, kalau jadi Hindu jangan menjadi orang India, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi, tetaplah menjadi jadi orang Nusantara dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini. Karena kelak musuh yang terberat adalah rakyat yang mabuk akan budaya luar,yang kecanduan agama dan rela membunuh bangsa sendiri demi menegakkan budaya asing. Ingatlah jangan mau diperbudak oleh semua itu, tetaplah bersatu padu membangun negeri ini tanpa pertumpahan darah saudara ku sebangsa dan se-tanah air."

Kita harus menangkap maksud Bung Karno ini dengan menghayatinya secara intuitif, bahwa mulai terbukti apa telah disampaikan oleh beliau. Kini harus kita mengaplikasikan dan mengamalkan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia. Nilai kemanusiaan sangat kental dalam budaya kita, dan pluralistik sudah memiliki kerangka tersendiri dalam identitas bangsa Indonesia.

Mari kita bergerak baik kolektif intelektual maupun literasi digital dalam menggelorakan kepada generasi milenial akan ketidak-harusan untuk mengikuti budaya-budaya luar, memang benar kita harus mengadaptasi beberapa segmentasi kehidupan yang baik bagi budaya luar ini. Namun yang seringkali luput adalah unsure selektifnya sehingga selayaknya kita akomodatifkan terhadap semangat keutuhan dan peradaban yang lebih baik lagi kedepan bagi bangsa Indonesia.

"KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) telah meneladankan kepada kita semua bahwa kemanusiaan itu lebih penting dari politik". Bukti nyatanya pada saat pengkudetaannya di tahun 2001, bahwa beliau terlihat keluar dari Istana kepresidenan dengan menggunakan pakaian sederhana dan ditemani dengan anaknya yakni Yenni Wahid. Yang berusaha disampaikan oleh beliau bahwa tidak ada jabatan yang mesti dipertahankan mati-matian jika konsekuensinya menyangkut perpecahan negeri ini, akan tetapi kita harus berada dibarisan terdepan untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seyogyanya kitalah yang meneruskan cita-cita para generasi sebelumnya untuk mencapai cita-cita dan tujuan terbentuk Negara Indonesia. Dan muaranya sampai kepada keadilan sosial bagi kesejahteraan warga negara tanpa terkecuali. Terlebih demokrasi yang substansial bisa mendapatkan klimaksnya secara demokratis melalui proses demokratisasi.

Kita harus percaya diri terhadap kekayaan kebudayaan Indonesia, kemudian memakai pendekatan naratif untuk memperkenalkan bahwa kita bangga terlahir dirahim Ibu Pertiwi. Sehingga kemelut yang sedang dihadapi beriringan dengan penuntasan secara totalistik budaya gengsi dikalangan generasi milenial.

Muhammad Rafly Setiawan
Made PMII Kota Palopo