Biografi KH. R. Ma'mun Nawawi, Pendiri Pesantren Al-Baqiyatussholihat, Bekasi

 
Biografi KH. R. Ma'mun Nawawi, Pendiri Pesantren Al-Baqiyatussholihat, Bekasi
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.4  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Pesantren
3.2  Masa Penjajahan

4.    Karya-Karya
5.    Chart Silsilah Sanad
6.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
KH. Raden Ma’mun Nawawi pada hari Kamis, bulan jumadil Akhir 1339 H/1912 M, beliau merupakan putra dari pasangan KH. Raden Anwar (seorang pedagang sekaligus guru mengaji) dengan ibu Siti Romlah, Saudara-saudara KH. Raden Ma;mun Nawawi antara lain:

  1. Rukiyah,
  2. Endeh,
  3. H. Yahya,
  4. Siti Iyok,
  5. Endang,
  6. Dimiyati,
  7. Abdul Salim.

1.2 Wafat
KH. R. Ma’mun Nawawi wafat pada usia 63 tahun, atau pada malam Jum’at, 26 Muharram 1395 H/7 Februari 1975 M pukul 01.15 WIB. Beliau dimakamkan di kompleks pemakaman di sekitar Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
KH. R. Ma’mun Nawawi memulai pendidikannya dengan belajar di pesantren yang diasuh oleh Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di Plered Sempur Bandung. Di pesantren tersebut, beliau menempuh waktu 7 tahun. Setelah itu, beliau lanjutkan studinya ke Makkah selama 2 tahun.

Selama di Makkah beliau berguru pada lebih dari 13 muallif (pengarang kitab), diantaranya adalah Al-Muhaddits As-Sayyid Alawi Al-Maliki dan Mama KH. Mukhtar Athorid Al-Bogori.

Sekembalinya dari Makkah, saat itu usianya 24 tahun, beliau melanjutkan studinya atas saran sang ayah. Sebagai orang yang berilmu dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan Islam KH. Raden Anwar, sang ayah yang pernah menjadi murid KH. Hasyim Asy’ari, mengutus putranya itu untuk belajar agama lagi di pesantren. Berbagai pesantren pun disambanginya untuk digali ilmunya. Mulai dari Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, pesantrennya Syekh Ihsan Jampes Kediri dan lain sebagainya.

Setelah itu, beliau juga belajar lagi ke pesantren yang diasuh Syekh KH. Manshur bin Abdul Hamid Al-Batawi, pengarang kitab Sullam an-Nayirain, di Jembatan Lima, Jakarta. Kitab Sullam An-Nayirain kitab ini mampu dipelajari dan dikuasainya selama 40 hari saja. Kemudian, beliau juga belajar ke ulama Betawi lainnya seperti Habib Usman dan Habib Ali Kwitang.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Raden Anwar (ayah),
  2. Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur),
  3. Sayyid Alawi Al-Maliki,
  4. KH. Mukhtar Athorid Al-Bogori.
  5. KH. Hasyim Asy’ari,
  6. Syekh Ihsan Jampes,
  7. KH. Manshur bin Abdul Hamid Al-Batawi,
  8. Habib Usman,
  9. Habib Ali Kwitang.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Mendirikan Pesantren
KH. Raden Ma’mun Nawawi pada usia 25 tahun diminta oleh mertuanya, Tubagus Bakri untuk mendirikan pesantren di Pandeglang, Banten.

Namun, sekitar dua tahun kemudian beliau diminta oleh ayahnya, KH. Raden Anwar, untuk kembali ke kampung halaman di Cibogo Cibarusah untuk mendirikan pesantren. Atas biaya sang ayah, maka berdirilah Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat pada bulan Rajab tahun 1359 H/1938 M. Seluruh santri di Pesantren Pandeglang pun ikut gabung ke Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat ini.

Pada masa keemasannya, pesantren ini pernah menampung sekitar 1000 santri dalam satu angkatan. Bahkan, pesantren ini sempat terkenal sebagai Pesantren Ilmu Falak. Karena itu, ketika pemerintah Bekasi, Bogor, Jakarta dan sekitarnya membutuhkan masalah perhitungan falakiyah, selalu merujuk ke pesantren ini. Sekarang masalah falakiyah juga masih diajarkan di sini.

3.2 Masa Penjajahan
Pada masa perang kemerdekaan KH. R. Ma’mun Nawawi pernah mengadakan pelatihan militer santri Hizbullah di Cibarusah. Para santri itu kemudian dikirim ke Bekasi untuk menghadapi tentara sekutu secara frontal di bawah komandan yang juga teman seperjuangannya yang dikenal sebagai macan dari Bekasi, yaitu KH. Nur Ali.

Pemimpin perjuangan yang berlatih di camp Cibarusah saat itu, dimulai Pelatihan Perang Pertama pada 28 Februari 1945, dipimpin beberapa tokoh seperti KH. Wahid Hasyim, yang mewakili ayahnya, KH. Hasyim ‘Asy’ariKH. Zainul Arifin, bersama sekitar 500 pemimpin Laskar Hizbullah Sabilillah, juga diantaranya ulama Bekasi KH. Noer Alie (yang telah diangerahkan sebagai pahlawan nasional) dan KH. R. Ma’mun Nawawi, Cibogo Cibarusah, Bintal Laskar Hizbullah pengasuh Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat Cibarusah.

Usai pelatihan perang tersebut, 500 kader kembali ke desa-desa dan memberikan latihan kepada para pemuda sehingga pada saat Jepang menyerah, anggota Hizbullah berjumlah 50.000 orang.

Dalam catatan sejarah di saat latihan perdana, pada 28 Februari 1945, yang dihadiri oleh Gunseikan, para perwira Nippon, Pimpinan Pusat Masyumi, Pangreh Praja dan lainnya, Guiseikan memberikan sambutannya berhubung dengan nasib Asia Timur Raya, maka semasa sekarang adalah masa yang amat penting seperti yang belum pernah dialami atau terjadi di dalam sejarah.

Dalam saat yang demikian itu, telah bangkit segenap umat Islam di Jawa serta berjanji akan berjuang “luhur bersama dan lebur bersama”. Buktinya ialah pembentukan barisan muda Islam yang bernama Hizbulloh. Dengan demikian lahirlah tujuan untuk menghancurkan musuh yang dzalim dan perjuangan dengan segenap jiwa raga, maka saya sangat gembira membuka latihan pusat barisan Hizbullah ini.

Saat itu, di kamp militer Cibarusah, laskar tak murni berlatih soal perang. Di malam hari, mereka mengaji dengan ulama seperti KH. Mustafa Kamil dari Singaparna, Jawa Barat, dan belajar soal bahan peledak kepada KH. Abdul Halim. Setelah latihan tiga bulan, opsir Hizbullah dipulangkan untuk melatih milisi di daerah asal yang beranggotakan para santri.

Kuntowijoyo, pakar sejarah, melihat laskar bentukan KH. Wahid Hasyim ini mengubah peta militer di Indonesia. Tak terbayangkan sebelumnya santri bisa jadi petinggi tentara republik. “Hizbullah membuat santri yang tidak mengenal ilmu kemiliteran jadi bisa ikut aktif dalam revolusi fisik,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan majalah Tebuireng.

Setelah Partai Masyumi berdiri pada 7 November 1945, Hizbullah, juga laskar Sabilillah, masuk jadi sayap militer partai Islam saat itu. Kedua laskar ini ikut bertempur melawan tentara sekutu, diantaranya pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Selepas agresi militer Belanda pertama pada 1947, Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang diprakarsai M. Natsir dan KH. Wahid Hasyim bergabung dengan kedua laskar tersebut. Mereka membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia, yang menentang semua perundingan dengan Belanda.

Dalam pembukaan latihan tersebut, KH. Zainul Arifin, Ketua Markas Tertinggi Hizbulloh, dan KH. Wahid Hasyim, Ketua Muda Masyumi, mengingatkan akan pentingnya latihan kemiliteran bagi para pemuda untuk membela agama Islam dan cita-cita perjuangan bangsa. Salah satu yang menjadi tokoh utama adalah ulama kharismatik dari Ujung Harapan Bekasi yaitu KH. Noer Ali. Atas jasa besar dan manfaat perjuangannya Bapak DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, telah menganugerahkan almarhum almaghfurlah KH. Noer Ali sebagai Pahlawan Nasional.

Dengan adanya catatan sejarah, jejak dan fakta tersebut, pada Agustus 2010, Markas Besar TNI Angkatan Darat, ditandai dengan kehadiran dan penandatanganan Prasasati Monumen Bersejarah Perjuangan Umat Islam untuk Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bapak Dandim Bekasi, telah meneguhkan posisi dan nilai spirit perjuangan Masjid Al-Mujahidin dan area sekitarnya sebagai saksi dan sumber spirit dari jejak perjuangan umat Islam dalam kecintaan memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Majalah Tempo, 18 April 2011, menggambarkan adanya fakta perjuangan heroik Laskar Allah dari Cibarusah. Sekitar lima ratus pemuda berkemeja dengan celana tanggung biru berbaris keluar dari barak-barak anyaman bambu. Para calon opsir ini bersiap mengikuti upacara pembukaan latihan Laskar Hizbullah di Desa Cibarusah, Bekasi.

Suatu pagi pada Februari 1945 itu, petinggi Jawa Gunseikan meresmikan pasukan sukarelawan bentukan pemerintah militer Jepang. Bersama mereka, hadir pengurus Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), termasuk Ketua II Muda, KH. Wahid Hasyim.

Gus Wahid, begitu ia disapa, memang salah satu penggagas pembentukan “Tentara Allah” itu. Menurut dia, ulama dan santri harus angkat senjata melawan Belanda yang bakal segera kembali ke Tanah Air. “Tiap-tiap muslim mesti merupakan nasionalis,” ujarnya.

Dalam sebuah konferensi pada 1949, Wahid menyampaikan unek-uneknya soal ulama yang lebih berpengaruh ketimbang tokoh pergerakan sipil ataupun militer tapi sering ditinggalkan dalam revolusi fisik. “Ulama adalah golongan yang paling berkuasa di Indonesia, melebihi sipil dan militer,” ujarnya. “Pembesar negeri minta petunjuk ulama dan perwira militer menanyakan siasat pertempuran.”

Ide membuat laskar jihad mencuat kala Jepang mengubah strateginya setelah terdesak Sekutu. Perdana Menteri Kuniaki Koiso pada September 1944 mengobral janji, termasuk memberi kemerdekaan. Menurut sejarawan almarhum Kuntowijoyo, Hizbullah merupakan gabungan keinginan pemerintah Jepang dan ulama.

Tak sulit bagi KH. Wahid Hasyim menyampaikan usul membentuk laskar. Jabatan Wakil Ketua Shumubu, kantor urusan agama bentukan Jepang, memudahkan pembicaraan. Sebenarnya yang jadi ketua KH. Hasyim Asy’ari, ayah KH. Wahid Hasyim. Tapi Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari tak mau meninggalkanPesantren Tebuireng.

4. Karya-Karya
KH. Raden Ma’mun Nawawi adalah seorang ulama ternama kelahiran Cibogo, Cibarusah, Bekasi. Ulama yang satu ini merupakan ulama yang produktif menulis. Tidak kurang hasil karya tulisnya sejumlah 63 kitab. Selain itu beliau juga menjadi penggerak pejuang kemerdekaan Indonesia bersama para santrinya, khususnya di tanah kelahirannya Bekasi.

Beliau termasuk ulama yang produktif menulis. Selama hidupnya beliau pernah menulis nadzaman ilmu falak sebanyak 63 bait dan menghasilkan setidaknya 63 kitab. “Angka-angka ini seperti kebetulan saja,” ujar KH. R. Jamaluddin yang merupakan keturunan ke-11 dari Maulana Hasanuddin dan ke-24 dari Rasulullah Saw. ini. Diantara hasil karya tulisnya adalah:

  1. At-Taisir fi ‘Ilm Al-Falak
  2. Bahjat Al-Wudhuh
  3. Idha’ Al-Mubhamat
  4. Hikayat Al-Mutaqaddimin
  5. Manasik Haji
  6. Khutbah Jum’at
  7. Kasyf Al-Humum wa al-Ghumum
  8. Majmu’at Da’wat
  9. Risalah Zakat
  10. Syair Qiyamat
  11. Risalah Syurb Ad-Dukhan

Sebagian kitabnya dijual di Toko Arafat Bogor, seperti Kasyf Al-Humum wa Al-Ghumum (tentang doa), Hikayat Al-Mutaqaddimin (tentang kisah-kisah ulama dahulu), Idha’ Al-Mubhamat (tentang rumus-rumus akumulasi dari kitab-kitab yang mengandung akronim) dan sebagainya.

5. Chart Silsilah Sanad
Simak chart silsilah sanad ilmu KH. R. Ma'mun Nawawi

6. Referensi
NU Online Jabar

Artikel ini sebelumnya diedit pada tanggal 3 September 2022 dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 7 Februari 2024

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya