Bukti-Bukti Keotentikan Al-Qur’an

 
Bukti-Bukti Keotentikan Al-Qur’an

LADUNI.ID, Jakarta - Sebagai umat Muslim, kepercayaan terhadap kebenaran Alqur’an sekaligus tak ada keraguan apapun di dalamnya merupakan sebuah kewajiban yang tak boleh kita tawar. Karena kepercayaan inilah yang nantinya akan membentuk sebuah keimanan terhadap keotentikan Alqur’an.

Bahkan lebih dari itu, keotentikan Alqur’an sendiri sebenarnya sudah dijamin oleh Allah, karena Alqur’an telah “dipelihara” oleh-Nya. Seperti tertera dalam QS. Al Hijr ayat 09: Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Alqur’an dan Kamilah Pemelihara-Pemelihara-Nya) (QS. 15: 9) (Quraish Shihab, 1994: 21)

Mantan Syaikh Al-Azhar, almarhum Abdul-Halim Mahmud telah menegaskan tentang keotentikan Al-Qur’an bahwa, “para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Qur’an, tidak mendapat celah untuk meragukan keotentikannya.”Dalam konteks inilah sebenarnya telah menunjukan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang dijamin keotentikannya.

Prof Dr HM Quraish Shihab pun juga memberikan penjelasan tentang bukti kebenaran, baik itu bukti-bukti dari Alqur’an sendiri maupun bukti-bukti kesejarahan Alqur’an kemudian juga dari segi penulisannya, Alqur’an telah menempatkan dirinya sebagai kitab suci yang benar-benar otentik.

Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya: Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat menjelaskan bahwa, ada tiga bukti keotentikan Al-Qur’an. Pertama, dalam huruf-huruf hija’iyah yang terdapat pada awal beberapa surat dalam Al-Qur’an. Jika dilihat dari ini, huruf-huruf dalam Alqur’an tidak berlebih atau berkurang satu huruf pun sejak diterima oleh Rasulullah Muhammad saw., yang kesemuanya habis terbagi 19. Misalnya “qaf” yang menjadi awal dari Surah ke-50, ditemui terulang sebanyak 57 kali atau 3x19.Begitupun denga huruf kaf, ha’, ya’, ‘ayn, shad pada permulaan Surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42x19. Pun pada Surah Yasin, huruf ya’ dan sin ditemukan sebanyak 285 kali atau 15x19.

Kedua, dalam konteks sejarah masyarakat Arab dahulu, yang hidup pada masa turunnya Alqur’an adalah masyarkat yang tidak mengenal baca tulis.Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Riwayat sejarah telah banyak menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang menghafalkan Alqur’an. Selain metode hafalan ini, sejarah juga telah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw.lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang turun itu sembari menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut kemudian mereka tulis dalam pelapah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu baru bias dihimpun dalam bentuk kitab pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.

Ketiga, dalam penyusunan dan penulisan mushhaf. Pada masa Khalifah Abu Bakar dibentuklah suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit untuk membentuk sebuah mushhaf Alqur’an. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid pun mulai menjalanka tugas yang besar dan mulia itu.Abu Bakar r.a memerintahkan kepada seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Alqur’an yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Abu Bakar r.a memberi petunjuk kepada tim tersebut agar tidak menerima satu naskah kecuali memenuhi dua syarat; a. Harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain; b. Tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan dihadapan Nabi saw. (Quraish Shihab, 1994: 21-26).

Dengan demikian, ke tiga bukti ini setidaknya telah memberikan sebuah pemahaman bagi kita bahwa Alqur’an benar-benar otentik dan tanpa ada perubahan sekecil pun. Tuduhan yang selama ini dilakukan oleh kaum orientalis Barat terhadap Alqur’an sebenarnya merupakan tuduhan yang kosong dan terkesan “ambisius”, tanpa dibarengi dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang bukti keotentikan Alqur’an. Di samping itu, sangat naïf kiranya jika kita terjebak dalam kubangan dan desakan orientalisme yang berusaha masuk, baik secara kasar maupun dengan cara halus, ke dalam kalangan umat Islam sendiri.