Mencintai atau Membenci Orang Lain Harus Tetap Terkendali dan Seimbang

 
Mencintai atau Membenci Orang Lain Harus Tetap Terkendali dan Seimbang
Sumber Gambar: dreamstime.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Membincang masalah seputar cinta dan percintaan memang tidak akan pernah selesai. Cinta dan percintaan akan selalu hangat dan aktual seiring perkembangan manusia yang kian kompleks dan dramatis. Dalam hal hubungan antar lain jenis, manusia selalu dipertemukan dengan sebuah perasaan yang dianggap cinta dan dipraktikkan secara berlebihan sehingga tidak jarang menerobos batas norma sosial dan agama.

Menurut penjelasan KH. Buya Syakur Yasin dalam sebuah ceramahnya, seyogyanya semua yang ada di dunia ini harus tertakar, ada ukurannya, tidak boleh berlebihan, dan tentu harus dilakukan secara sedang-sedang saja. Begitu pula dalam hal memberikan cinta kepada sesama manusia. Hal ini bukan berkaitan dengan memberi separuh cinta, bukan masalah separuh atau seper berapanya. Tetapi ini soal kadar cinta yang terkendali. Begitupun dengan kebencian, harus juga seimbang dan bisa dikendalikan. 

Ketika kita berbicara tentang hakikat cinta, maka harus dikembalikan bahwa tidak ada yang patut kita cintai kecuali Allah. Cinta yang benar adalah cinta kepada Allah. Kalau kita mencintai yang lain selain Allah, maka cinta itu hanyalah refleksi dari cinta kita kepada Allah. Sebab, ketika kita cinta kepada Allah, maka cinta itu dengan sendirinya tentu akan tertakar.

Oleh sebab itulah, ketika cinta kita kepada sesuatu yang merupakan refleksi dari cinta kita kepada Allah, maka semuanya akan terukur. Tetapi, ketika yang kita cintai sudah tidak benar, maka tidak ada urusan lagi dengan Allah. Yang kemudian inilah yang disebut dengan cinta buta. Bagi cinta buta seperti ini, benar atau salah tetap dibela.

Hal ini juga berlaku sebaliknya, ketika kita membenci, misalnya membenci kepada kelakuan seseorang yang tidak sesuai dengan aturan Allah. Maka, membenci yang demikian itu adalah karena Allah. Jika mencintai dan membenci karena Allah, maka bisa dijamin semuanya akan terkendali.

Biasanya dalam realitas sehari-hari, ketika kita sudah membenci, maka kita akan memiliki kecenderungan untuk membalaskan kebencian tersebut. Bahkan ketika kebencian belum dilakukan dalam bentuk tindakan, maka kebencian tersebut masih belum selesai. Hal ini juga berlaku dengan cinta. Orang yang sudah kadung mencintai seseorang, maka semuanya akan diberikan. Semua rahasia dalam dirinya akan diungkapkan. Berbeda jika semua itu dikembalikan dengan landasan karena Allah. Maka, semuanya akan seimbang dan terkendali. 

Rasulullah SAW pernah bersabda:

أَحبِبْ حبيبَكَ هَونًا مَا عَسَى أَنْ يَكُوْنَ بَغِيْضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُوْنَ حَبِيْبَكَ يَوْمًا مَا

“Cintailah orang itu sekadarnya saja bisa saja kapan-kapan dia menjadi musuh, bencilah seseorang sedang-sedang saja, sebab bisa saja kapan-kapan dia menjadi kekasih.” (HR. Ibnu Hibban)

Semua itu memang menjadi dinamika dalam kehidupan yang kita alami sehari-hari. Akan terasa sulit hidup seseorang jika ia terlalu mencintai ataupun terlalu membenci. Apalagi di dalam dunia perpolitikan misalnya, yang dalam realitasnya bahwa per-detik sikap manusia di dalam dunia politik akan berubah. Sebentar-sebentar berkoalisi, sebentar-sebentar oposisi. Itulah politik.

Dalam kehidupan nyata pun demikian, yang pada akhirnya tidak lepas dari perpolitikan semacam itu. Jadi, kita sebenarnya harus pandai-pandai bermain dengan tenang dan berlandaskan ilmu.

Ada sebuah ungkapan yang cukup menarik, bunyinya begini, “Ketika kita disakiti lalu kita merasa sakit hati, itu hal yang wajar. Tetapi ketika berlebihan lalu berkelanjutan itu adalah pilihanmu!”

Memang, ketika kita dicaci orang, kemudian cacian tersebut masuk dalam telinga kita, lalu masuk ke otak kita. Mata kita pun melihat orang yang kita benci tersebut membelalakkan matanya kepada kita sampai gerakan tangan orang yang mencaci kita, semuanya akan direkam. Kebenciannya, kemarahannya, semuanya akan terekam. Lalu hati kita akan merasakan sakitnya.

Tetapi, sebenarnya sakit hati itu tidak akan lama. Sakit hati itu akan hilang dengan sedirinya. Bukan ditelan waktu, tetapi kita sendiri yang secara tidak sadar menghilangkan sakit hati itu. Contohnya, ketika orang ditinggal istri itu banyak yang mengalaminya. Begitupn ketika kita ditinggal suami, juga banyak yang mengalaminya. Tentu sangat sedih. Tetapi, lama-lama kesedihan itu juga akan kita lupakan.

Menjadi masalah jika kesedihan itu berlebihan dan berkepanjangan sampai bertahun-tahun. Persoalannya adalah karena kesedihan itu kita timang-timang sendiri. Sehingga, ketika memori kita terlalu padat dan membengkak, maka akan menyentuh emosi. Emosi bergerak kemudian menyentuh logika yang membuat logika itu menjadi off atau tak terkendali. Akhirnya menjadi keguncangan dalam pikiran kita sendiri (disorder), menjadi orang yang punya gangguan kejiwaan, menjadi pemarah, bahkan menjadi putus asa. Sampai rencana bunuh diri dan sebagainya. Maka, persoalan itu harus kita kendalikan dengan sebaik-baiknya. Meskipun cukup berat dan sulit dalam menangani hal ini, sebab kurang adanya perhatian yang memadai di Indonesia terkait kesehatan jiwa. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Buya Syakur Yasin. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 Juli 2023. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim