Mau Sukses Berbisnis? Belajarlah pada Pengusaha Cina Ini

 
Mau Sukses Berbisnis? Belajarlah pada Pengusaha Cina Ini

LADUNI.ID, Jakarta - Tulisan ini adalah pengantar buku karya Edward Tse berjudul China’s Disruptors; Bagaimana Alibaba, Xiaomi, Tencent, dan Perusahaan Lain Mengubah Aturan Bisnis (2018). Dalam pengantar ini, Tse menceritakan tentang pengalamannya bekerja di beberapa kawasan di China dan menyaksikan transformasi yang luar biasa di China. Selamat membaca.

***

Sekitar dua dekade terakhir; berkat hidup di kawasan Shanghai, Beijing, dan Hong Kong; serta bekerja di beragam kota lintas China, saya mendapat ‘kursi’ sempurna untuk menyaksikan transformasi luar biasa dari negara dengan populasi terpadat di dunia ini hingga menjadi negara adikuasa yang meraih kejayaan di kancah global.

Kecuali, tentu saja, negara-negara tidak serta-merta berubah dengan sendirinya tranformasi terjadi berkat ditempa para manusia yang menghuninya.

Buku ini bercerita tentang orang-orang yang memiliki andil besar dalam transformasi tersebut. Bukan para pemimpin politik. Meski keberadaan mereka cukup penting dalam menciptakan kondisi dan iklim yang baik untuk pertumbuhan bisnis, tetapi mereka bukan pemeran utama dalam pertumbuhan ekonomi. Pun bukan perusahaan-perusahaan milik negara yang ada di sana, yang –berseberangan dengan anggapan banyak orang—mengakui peran penting mereka dalam merosotnya ekonomi masyarakat China. Tentu saja, buku ini tentang para pengusaha orang-orang yang dengan penuh kesungguhan mendirikan kerajaan bisnis dengan memberikan produk serta layanan yang orang rela membayar untuknya. Diiringi pula dengan proses penciptaan kesempatan kerja yang pada akhirnya memberikan peluang bagi orang untuk mampu membayar atau membeli produk dan layanan mereka.

Dalam buku ini, saya akan menyebut individu-individu yang menjalankan bisnis dan perusahaan yang mereka dirikan sebagai bagian dari sektor swasta China. Namun saya rasa sedikit klarifikasi cukup dibutuhkan guna menjelaskan secara tepat siapa yang saya bicarakan, dengan mengungkap seberapa besar ekonomi China yang dikuasai sektor swasta, dan betapa berliku jalan yang telah ditempuh hingga kini. Secara resmi, perusahaan swasta China lahir sejak tahun 1988, yakni ketika pemerintah meloloskan legislasi yang mengizinkan adanya bisnis yang dikelola swasta. Peraturan ini menyebutkan perusahaan swasta sebagai organisasi yang menguntungkan yang dimiliki oleh satu orang atau lebih[1] dan memperkerjakan lebih dari delapan orang. Peraturan ini dengan otomatis menggugurkan segala bentuk bisnis yang dimiliki seseorang dengan pekerja kurang dari delapan orang. Hal ini mengacu pada bisnis yang dimiliki oleh satu individu atau kepemilikan tunggal, yang sebenarnya ada puluhan juta orang semacam itu di China “semi-swasta’’.[2]

Yang paling banyak terjadi adalah bisnis “topi merah” perusahaan yang dimiliki satu orang, tetapi karena satu dan lain hal (biasanya menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah setempat) sudah mendaftarkan diri sebagai bisnis kolektif atau yang dimiliki oleh negara. Perusahaan semacam ini membayar “ongkos” sekitar beberapa persen dari penghasilannya, untuk menjamin mereka aman dari gangguan regulasi yang terlalu ketat. Kagam dari bisnis topi merah ini adalah dengan cara “sewa kolektif” perusahaan atau bisnis kolektif yang disewakan oleh pemilik aslinya, yang tak lain biasanya adalah berasal dari pemerintah setempat sendiri.

Beberapa contoh di bawah ini dapat menggambarkan betapa rumitnya urusan kepemilikan usaha di China. Salah satu perusahaan yang paling eksis selama tiga puluh tahun terakhir adalah produsen peralatan rumah tangga, Haier. Secara teknis, Haier termasuk bisnis kolektif yang beraktivitas di wilayah Qingdao, yang secara teori berarti dimiliki oleh para pekerjanya dan tidak melanggar peraturan apa pun yang ditetapkan pemerintah Qingdao. Namun adakalanya, terutama di awal masanya berdiri, pihak pemerintah mengandalkan mereka untuk sejumlah kepentingan; di suatu waktu Haier mengambil alih sebuah perusahaan farmasi yang merugi demi mempertahankannya tetap melakukan produksi serta melindungi para pekerja dari kehilangan lahan pencaharian mereka. Meski pada akhirnya semua tetap keputusan pemerintah pada awal 2000-an, misalnya, pemerintah menghapus peraturan yang mengizinkan sebuah perusahaan kolektif atau perusahaan milik negara untuk dibeli oleh segelintir manajernya Haier berhasil membuat perusahaan tersebut kembali bekerja dengan efektif dan menjadi sebuah entitas yang mandiri. Dalam 30 tahun terakhir, tak perlu diragukan lagi bahwa yang menjadi sumber kekuatan utama Haier adalah Zhang Ruimin, sang eksekutif utama sekaligus ketua dewan perusahaan. Sejak saat ia resmi menjabat sebagai orang nomor satu di Haier pada 1984, Zhang Ruimin menggambarkan visi serta mencurahkan segala daya upayanya untuk kemajuan perusahaan. Bagaikan perusahaan yang ia lahirkan dari tangannya sendiri, kerja keras Zhang Ruimin menunjukkan bahwa di China, khususnya di dunia bisnis, otoritas dan kekuasaan dapat diperoleh seiring berjalannya waktu melalui jaringan informal, lebih dari sekadar struktur legal atau kedudukan di organisasi.

Huawei, perusahaan produsen peralatan telekomunikasi yang berlokasi di Shenzen, adalah contoh lain perusahaan dengan kepemilikan yang memusingkan. Para juru bicara Huawei berulang kali menjelaskan bahwa perusahaan mereka adalah perusahaan swasta yang dimiliki bersama oleh para pekerja atau karyawannya. Tak ubahnya Haier, bagaimanapun juga, deskripsi seperti ini agak membingungkan: seluruh keberadaan perusahaan ini bergerak di bawah arahan sang pentolan sekaligus pendirinya, Ren Zhengfei, terlepas dari fakta bahwa secara resmi dirinya hanya mempunyai 1,4% dari total saham perusahaan.

Ada contoh yang makin bikin sakit kepala. Sejumlah perusahaan dikategorikan swasta tetapi tidak dimiliki oleh orang China. Alibaba, misalnya, mayoritas sahamnya dikuasai oleh perusahaan dari luar negeri sejak bertahun-tahun lampau, di antaranya Softbank yang punya 34% saham, Yahoo sebesar 22% (yang pada Februari 2015 hampir diambil alih sebuah perusahaan independen), serta beberapa bagian saham yang lebih kecil yang dipegang oleh banyak perusahaan dari luar negeri lainnya. Terlebih lagi, apa yang mereka miliki sebenarnya bukan hanya perusahaan asal China tersebut, tetapi juga saham di sebuah perusahaan di Kepulauan Cayman yang menarik royalti dan bayaran dari Alibaba yang beroperasi di China melalui serangkaian anak perusahaan dan “beragam entitas menguntungkan” lainnya struktur legal yang secara teoretis memberi kesempatan perusahaan dari luar negeri untuk mempunyai kontrol berdasarkan kontrak terhadap bisnis orang China tanpa harus menjadi pemiliknya. Dengan demikian, peraturan ini memberikan peluang pula bagi mereka untuk bisa menyesuaikan diri dengan hukum dan regulasi di China yang biasanya menghambat perusahaan non-China, misalnya dalam hal kepemilikan saham di internet serta bisnis lainnya. Semua perusahaan internet ternama di China menunggangi kendaraan yang sama. Sebuah fondasi yang rumit dengan sebuah risiko: apabila pemerintah mengubah peraturan tersebut, maka bisnis seperti ini mau tidak mau menjadi usaha yang ilegal.

Ambiguitas alias ketidakpastian perihal struktur pemerintahan korporasi ini, ditambah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kualitas data ekonomi masyarakat China, membuat agak mustahil untuk mengestimasi secara persis seberapa besar sektor swasta yang ada di China. Satu hal yang pasti, bisnis yang dikelola secara swasta memainkan peran paling besar dalam menggerakkan roda perekonomian China barangkali sekitar dua per tiga dari penghasian domestik bruto (PDB), dan bisa jadi lebih dari 80% jika melibatkan sekitar 100 juta industri pertanian rumahan, yang masing-masing di antaranya menggerakkan usaha-usaha kecil, hingga bisnis yang diinvestasi oleh Per, usahaan luar negeri, hampir seluruhnya merupakan per. usahaan swasta.

Maka buku ini, tidak penting apakah sebuah bisnis termasuk dalam kategori kepemilikan individu atau lainnya, tapi apa yang dilakukan dan bagaimana ia melakukannya bagaimana bisnis seperti Huawei, Alibaba, Haier, dan Tencent merombak permainan bisnis di China, mengubah proses ekonomi yang terjadi di negaranya, dan menciptakan pasar yang seiring berjalannya waktu akan memberikan dampak yang luar biasa besar pada perekonomian dunia.

Perdebatan perkara apakah sebuah perusahaan dikelola oleh swasta atau dimiliki negara justru akan melewatkan poin pembahasan yang jauh lebih penting -bahwa ini merupakan gerakan wirausaha yang begitu besar, yang dijalankan dengan penuh risiko, membutuhkan selalu ada inovasi dan perubahan, dan yang paling penting adalah bahwa sosok-sosok penggeraknya merupakan individu-individu yang luar biasa.

Melalui buku China's Disruptors, saya ingin memperlihatkan siapa orang-orang itu, apa yang memotivasi mereka, dan bagaimana mereka berpikir dan bertindak. Para pemimpin politik di China bisa saja telah menciptakan kondisi bagi para pebisnis untuk bekerja. Namun pengusaha-pengusaha hebat tersebut yang mampu menggerakkan negaranya semakin maju melalui setiap keputusan bisnisnya. Mereka menjalankan bisnis bukan sekadar untuk mengeruk keuntungan berupa uang, tetapi, seperti yang akan saya paparkan lebih detail di Bab 1, sebagai ekspresi dari misi yang lebih luas dan besar yang pada akhirnya akan mendudukkan China sebagai negara terhebat yang menjadi sumber dari gagasan, teknologi, dan cara bisnis baru yang menginspirasi dunia. Lebih dari itu, saya yakin bahwa figur-figur ini mempunyai potensi untuk bukan hanya membantu China, tetapi juga seluruh dunia, untuk mengalahkan segala masalah di abad 21, yang meliputi masalah energi, pangan, serta perubahan iklim.

Di China segalanya berjalan begitu cepat. Hampir setiap hari terjadi perkembangan baru yang bisa dibahas di buku ini. Sebut saja akuisisi senilai triliunan dolar, jebloknya saham sebuah perusahaan, atau peraturan baru yang ditetapkan pemerintah. Selama saya menulis ini, misalnya, Xiaomi, yang menjadi salah satu bintang dalam buku ini, harus terus menerus berjuang untuk menjadi penjual telepon pintar terbesar di China. Ericsson dari Swedia berusaha menghalangi penjualan Xiaomi dan mengacaukan urusan legalnya di India. Pemerintah Amerika Serikat berusaha mengendalikan kuasa Qualcomm, supplier atau penyuplai teknologi terbesar yang digunakan komponen perangkat Xiaomi. Dari situasi ini Xiaomi punya dua pilihan: mengepakkan sayapnya dengan lebar dan membawa kekuatan China di pasar internasional, atau menyerah dengan keadaan dan mengakhiri perjuangannya.

Ke arah mana ia akan berjalan, saya pun tak tahu. Namun satu hal yang saya tahu pasti, meskipun misalnya suatu hari nanti Xiaomi bangkrut, perusahaan China lain akan bangkit dan mengambil alih posisinya entah itu salah satu perusahaan kompetitor Xiaomi saat ini seperti Lenovo, Huawei, Coolpad, ZTE, Oppo, atau bisa saja sebuah perusahaan baru yang saat ini belum pernah kita dengar namanya.

Singkatnya, saya yakin bahwa walaupun salah satu perusa. haan yang saya bahas dalam buku ini sekonyong-konyong jatuh terperosok dan berakhir tinggal nama, pesan funda. mental yang ingin disampaikan tak akan berubah: masa depan China, dalam hal ekonomi, sosial, dan pada akhirnya ~ politik, berada di tangan para pengusahanya.

Catatan tambahan: di sepanjang buku ini, saya menuliskan nama-nama orang dengan standar nama China,[3] yakni didahului dengan nama keluarga dan diikuti oleh namanya sendiri. Yu Gang, contohnya, saya sebut sebagai Tuan Yu. Apabila orang yang saya maksud sudah mengadopsi nama internasional, seperti bos Alibaba, Jack Ma (yang nama aslinya Ma Yun) atau pentolan Tencent, Pony Ma (Ma Huateng), maka saya akan menyebut nama internasionalnya.

Terlepas dari apakah dia sudah punya nama internasional atau belum, saya bisa memastikan satu hal: banyak dari tokoh-tokoh ini yang dalam beberapa tahun ke depan akan mengikuti jejak Jack Ma dan Alibaba yang menjadi semakin populer dengan nama yang lebih mudah diterima secara global tak lain berkat keterampilan wirausahanya, dan juga karena produk dan jasa yang mereka tawarkan mampu mengharumkan nama China di kancah perdagangan dunia.

 


Sumber: Edward Tse. China’s Disruptors; Bagaimana Alibaba, Xiaomi, Tencent, dan Perusahaan Lain Mengubah Aturan Bisnis, penj. Vela Andapita. Jakarta: PT Gramedia, 2018.


[1] Untuk diskusi lebih jauh tentang berbagai tipe perusahaan di China, lihat Yinggin Liu, “Development of Private Entrepreneurship in China: Process, Problems, and Countermeasures,” dipersembahkan dalam Global Forum “Entrepreneurship in Asia: 4th U.S.-Japan Dialogue,” 16 April 2003, tersedia di https://www.manfieldfdn.org/backup/programs/program_pdfs/ent_china.pdf (diakses 17 November 2014)

[2] Termasuk di dalamnya bisnis shareholdings dan bisnis-bisnis yang dibangun di China untuk operasi bisnis di luar negeri; keduanya diabaikan dalam cakupan hasil ekonomis dan jumlah orang yang dipekerjakan.

[3] Dengan pengecualian-pemodal Kai-fu Lee yang telah lama mengubah nama China-nya, ia meletakkan nama Jahirnya (Kai-fu) sebelum nama keluarganva (Lee).