Kenapa Asmaul Husna Hanya Berjumlah 99? Begini Penjelasan Imam Ghazali

 
Kenapa Asmaul Husna Hanya Berjumlah 99? Begini Penjelasan Imam Ghazali
Sumber Gambar: Foto Ist

LADUNI.ID, Jakarta - Seseorang mungkin saja bertanya tentang nama-nama Allah SWT: apakah lebih dari sembilan puluh sembilan atau tidak? Jika lebih, apa maknanya pembatasan ini? Bila seseorang memiliki seribu dirham, seorang yang arif tidak akan berkata bahwa dia memiliki sembilan puluh sembilan dirham, karena meskipun seribu mencakup sembilan puluh sembilan, bila jumlah tertentu disebutkan, ini menyebabkan orang memahami bahwa tidak ada angka setelah itu. Namun jika nama-nama itu tidak melebihi bilangan ini, maka apa maksud perkataan Rasulullah SAW: ‘Aku memohon kepada-Mu dengan setiap namaMu, yang Engkau gunakan untuk menyebut Diri-Mu, atau yang Engkau wahyukan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada siapa pun dari makhluk-Mu, atau yang Engkau layakkan bagi Diri-Mu dalam pengetahuan-Mu mengenai hal-hal gaib?” Karena hal ini menjelaskan bahwa Allah melayakkan nama-nama tertentu (dan tidak mengungkapkan nama-nama ini kepada kita), seperti dalam kasus ketika beliau berkata bahwa ‘Ramadhan’ adalah salah satu nama Allah. Karena inilah, para leluhur kita biasa mengatakan: seseorang diberi nama teragung (al-ism al-a’zham), dan itu dinisbahkan kepada beberapa nabi dan wali. Ini menunjukkan bahwa nama teragung ada di luar sembilan puluh sembilan nama itu.

Maka kami katakan: berkat riwayat-riwayat ini, kelihatan lebih mungkin bahwa nama-nama lebih dari sembilan puluh sembilan jumlahnya. Dan sejauh menyangkut hadis yang menyebutkan pembatasan itu, itu mempengaruhi salah satu pokoknya tetapi bukan keduanya (lihat paragraf selanjutnya). Itu seperti raja yang memiliki seribu abdi: orang dapat mengatakan bahwa raja memiliki sembilan puluh sembilan abdi, dan kalau mereka dimintai bantuannya, maka tidak ada musuh yang dapat melawannya. Yang ditetapkan adalah bilangan yang diperlukan untuk mendapatkan bantuan yang diperlukan orang dari mereka, disebabkan oleh tambahan kekuatan mereka, atau karena bilangan itu akan cukup untuk memukul mundur musuh tanpa memerlukan tambahan. Itu tidak menetapkan bahwa hanya sejumlah itu adanya.

Mungkin saja nama-nama tidak melebihi jumlah ini. Karena pernyataan yang diberikan dalam riwayat mencakup dua hal: pertama, bahwa Allah Ta’ala memiliki sembilan puluh sembilan nama; dan kedua, bahwa siapa pun yang mengucapkannya maka dia masuk surga. Seandainya orang hanya menyebutkan hal pertama, persoalannya akan selesai, namun menurut pandangan yang dominan, tidaklah mungkin hanya menyebutkan hal pertama saja.

Inilah yang pertama diingat berdasarkan munculnya pembatasan ini, tetapi itu tidak mungkin karena dua alasan. Pertama, interpretasi ini akan menyingkirkan apa yang dilayakkan Allah untuk pengetahuan-Nya mengenai hal-hal gaib sehingga tidak dianggap sebagai salah satu nama-Nya, sedangkan hadis menegaskan tidak demikian. Kedua, interpretasi ini menyebabkan menjadikan membaca nama-nama itu sebagai hak istimewa seorang nabi atau wali yang akan diberi al-ism al-a’zham, yang dengan al-ism ini bilangannya akan disempurnakan. Karena keadaannya adalah bahwa apa pun yang disebutkan tanpa nama itu maka tidak mencukupi bilangan yang diperlukan, atau bahwa al-ism al-a’zham berada di luar bilangan itu, sehingga penyebutannya tidak menjadi sah karenanya. Namun lebih mungkin bahwa Rasulullah SAW mengucapkan perkataan ini karena mencoba membangkitkan keinginan pada umatnya untuk membaca nama-nama Ilahiah itu, namun umatnya tidak mengetahui al-ism ala’zham.

Mungkin dapat dikatakan: jika lebih mungkin bahwa nama-nama itu lebih dari sembilan puluh sembilan jumlahnya, dan kalau kita taksir, misalkan, bahwa ada seribu nama, lalu siapa pun yang membaca sembilan puluh sembilan nama Ilahiah maka dia patutlah mendapatkan surga, maka ini akan merupakan sembilan puluh sembilan yang tertentu; atau sembilan puluh sembilan yang mana pun akan menjadi sedemikian sehingga siapa pun yang membacanya maka akan patut mendapatkan surga? Dalam salah satu kasus, ternyata siapa pun yang membaca apa yang telah didaftar Abu Hurairah maka dia akan masuk surga, atau jika orang membaca nama-nama yang terdapat dalam hadis kedua maka dia juga akan masuk surga, jika kita tetapkan bahwa setiap sesuatu dalam kedua hadis itu mengandung sebuah nama Allah. Maka kami katakan: lebih mungkin bahwa sembilan puluh sembilan yang tertentu yang dimaksud, karena jika yang sembilan puluh sembilan yang tertentu itu tidak ditetapkan, maka manfaat membaca dan merinci hampir tidak akan jelas. Pernyataan bahwa raja memiliki seratus abdi sedemikian sehingga jika orang meminta bantuan mereka maka tidak ada musuh yang dapat melawannya, hanya dapat dimengerti kalau di antara hamba yang banyak jumlahnya yang dimiliki raja itu terdapat seratus abdi yang memuliki kekuatan luar biasa dan semangat tempur. Namun jika orang dapat menyelesaikan ini dengan seratus abdi yang mana pun, maka penyusunan kata-kata pernyataan itu tidak akan tepat.

Kini dapat dikatakan: kenapa sembilan puluh sembilan nama itu dipilih untuk peranan khas dalam masalah ini, meskipun yang lainnya adalah nama-nama Allah Swt. juga? Kami katakan: nama-nama bisa saja berbeda keunggulannya, karena makna-maknanya berbeda keutamaan dan kedudukannya, sehingga sembilan puluh sembilan nama akan menyatukan keanekaragaman makna yang mengungkapkan kemuliaan (Allah) yang tidak dapat disatukan oleh seperangkat lain makna-makna, dan sehingga perpaduan mengandung perbedaan yang lebih besar.

Dapat dipertanyakan: apakah nama teragung (al-ism alla’zham) Allah terdapat di antara nama-nama itu atau tidak? Jika tidak, mana mungkin dibedakan dengan martabat yang lebih besar namun berada di luar nama-nama itu? Jika terdapat di antara nama-nama itu, mana mungkin begitu, karena nama-nama adalah masalah yang sudah diketahui umum, sedangkan al-ism ala’zham tersisihkan karena ia diketahui oleh para nabi dan wali? Disebutkan bahwa Ashaf membawa tahta Bilqis? karena dia diberi al-ism al-a’zham itu sendiri merupakan sumber penghargaan dan keagungan bagi dia yang mengetahuinya. Jawaban kami adalah bahwa mungkin saja untuk mengatakan bahwa nama teragung Allah berada di luar nama-nama yang disebutkan Abu Hurayrah ra., dan bahwa nama-nama yang disebutkan ini sangat unggul dalam hubungannya dengan nama-nama yang diketahui orang; bukan dalam hubungan dengan nama-nama yang diketahui para wali dan nabi. Juga dapat dikatakan bahwa nama-nama itu mencakup nama teragung Allah; namun itu tersembunyi di antara nama-nama itu, dan bahwa orang tidak mengetahuinya ketika pertama kali memeriksanya, karena dalam sebuah hadis dikatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: nama teragung Allah ada dalam dua ayat ini: Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan kecuali Dia, Yang Rahman, Yang Rahim (QS 2:163), dan permulaan surah Ali Imran: ‘Alif, Lam, Mim, Allah! tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Hidup, Yang Azali (QS 3:1-2)’.! Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. mendengar seseorang sedang berdoa: ‘Demi Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat bersaksi mengenai Engkau bahwa Engkau adalah Allah dan tidak ada Tuhan kecuali Engkau-Yang Azali, yang tidak diperanakkan dan juga tidak beranak, dan tidak ada yang menandingi-Nya.’ Lalu beliau bersabda: ‘Demi Dia yang jiwaku berada di tanganNya, dia telah menyeru Allah Ta’ala dengan nama teragungNya-yang dengan nama ini Dia menjawab bila Dia diseru dengan nama ini, dan memberikan bila Dia diminta dengan nama ini.’!

Mungkin ada yang bertanya: apa alasannya untuk menetapkan bilangan ini, dan kenapa bilangannya tidak seratus saja bila bilangan itu begitu dekat dengan bilangan seratus? Jawaban kami akan menunjukkan dua kemungkinan. Pertama, dapat dikatakan bahwa makna-makna utama itu bukan terdiri dari bilangan ini, karena bilangan inilah yang dimaksud, tetapi hanya karena makna-makna utama itu kebetulan mencapai jumlah ini. Ini seperti tujuh sifat yang dikemukakan oleh sunnah: hidup, tahu, kuasa, berkehendak, mendengar, melihat, dan berbicara; semua ini tidak ditetapkan karena jumlahnya tujuh, namun karena hanya berkat semua inilah tercapailah ketuhanan. Kedua, dan inilah yang lebih jelas, alasan mengapa jumlahnya sebanyak itu adalah untuk menetapkan apa yang disebutkan Rasulullah Saw. ketika bersabda: ‘Seratus kurang satu, dan Allah adalah ganjil (yakni esa) dan Dia mencintai apa yang ganjil’. Namun apa yang ditunjukkan ini adalah bahwa nama-nama ini yang jumlahnya sembilan puluh sembilan itu merupakan persoalan pilihan bebas; meskipun bukan karena sifat-sifat utama itu terbatas pada nama-nama yang jumlahnya sembilan puluh sembilan itu, karena hal itu berhubungan dengan zat Allah dan bukanlah persoalan kehendak. Jadi, tidak seorang pun akan mengatakan bahwa sifat-sifat Allah Swt. ada tujuh karena ‘Dia adalah ganjil dan menyukai apa yang ganjil’; namun hal itu berkaitan dengan zat-Nya dan ketuhanan-Nya, dan tidak ada batasan mengenai jumlahnya. Karena zat Allah ada bukan karena siapa pun menghendakinya, karena orang bisa saja menghendaki apa yang ganjil seraya mengesampingkan sesuatu yang lain; dan ini dekat dengan penguatan kemungkinan yang telah kami sebutkan, yaitu bahwa nama-nama yang digunakan Allah SWT untuk menamakan Diri-Nya ada sembilan puluh sembilan, dan bahwa Dia tidak menggenapkannya menjadi seratus, hanya karena Dia menyukai apa yang ganjil. Kami akan memperlihatkan apa yang memperkuat kemungkinan ini.

Mungkin timbul pertanyaan: apakah Rasulullah SAW menyebutkan sembilan puluh sembilan nama ini, dan sengaja menyebutkan nama-nama itu untuk keperluan penyusunan, atau apakah beliau menyerahkan penyusunannya kepada siapa pun yang mengumpulkannya sedikit demi sedikit dari kitab (Al-Quran) dan Sunnah dan riwayat-riwayat yang berisi petunjuk mengenai nama-nama itu? Kami katakan: pendapat yang paling benar, yang juga termasyhur, adalah bahwa daftar ini terdiri dari apa yang disebutkan Rasulullah SAW, dan beliau menyusunnya dengan sengaja untuk menghimpunnya dan mengajarkannya, menurut riwayat Abu Hurayrah ra., karena maksud yang jelas dari riwayat ini adalah untuk membangkitkan keinginan untuk membaca nama-nama itu. Dan membaca nama-nama ini akan sulit bagi umat kalau Rasulullah SAW tidak secara tersurat menghimpunnya. Selain itu, ini memberikan bukti tentang kesahihan riwayat Abu Hurayrah ra. Umat telah menerima versinya yang termasyhur, dan ulasan kami didasarkan pada versi termasyhur ini.

Ahmad Al-Bayhaqi menganggap lemah riwayat Abu Hurayrah, dengan menyebutkan bahwa terdapat orang-orang yang lemah di antara para perawinya. Dan Abu ‘Isa At-Tirmidzi mencatat seperti itu dalam Musnad-nya.! Di luar apa yang telah disebutkan para penghimpun hadis mengenai riwayat Abu Hurayrah itu, tiga hal menunjukkan kelemahan riwayat ini. Pertama, terdapat kekacauan (idhthirab) dalam riwayat dari Abu Hurayrah itu, karena kami memiliki dua riwayat darinya, dan terdapat perbedaan-perbedaan yang nyata di antara riwayat-riwayat ini yang melibatkan penggantian dan perubahan. Kedua, riwayatnya tidak menyebutkan Al-Hannan (Yang Mengasihi), Al-Mannan (Yang Banyak Memberi Karunia dan Berbuat Kebaikan), Ramadhan, dan sekelompok nama yang disebutkan dalam hadis-hadis itu. Ketiga, perlu dicatat bahwa bilangan ini disebutkan dalam hadis sahih, dalam sabda Rasulullah Saw.: bahwa ‘Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, dan barangsiapa membaca nama-nama itu maka dia akan masuk surga’. Sejauh menyangkut disebutkannya nama-nama tertentu, itu tidak termaktub dalam hadis sahih itu namun dalam sebuah riwayat dari seorang sahabat yang mengandung kelemahan dalam isnad (rantai periwayatannya). Semua ini jelas menunjukkan bahwa nama-nama tidak melebihi jumlah ini. Tetapi dengan tidak disebutkannya sebagian dari nama-nama ini dalam versi Abu Hurayrah, maka kita menjadi cenderung jauh dari interpretasi itu. Jika kita anggap lemah versi itu, versi yang memberikan jumlah nama, maka seluruh kesulitan akan tersingkirkan.

Maka kami katakan: hanya ada sembilan puluh sembilan nama yang digunakan Allah SWT untuk menamakan Diri-Nya, dan jumlah nama itu tidak sampai seratus, karena ‘Dia adalah ganjil dan menyukai apa yang ganjil’. Selanjutnya, Al-Hannan dan Al-Mannan serta nama-nama yang seperti itu termasuk di dalam jumlah nama itu. Namun mengetahui semua nama tidaklah mungkin kecuali dengan menelaah kitab Al-Quran dan sunnah, karena banyak di antara nama-nama itu terkukuhkan dalam kitab Allah Swt., dan banyak di antaranya pula terdapat dalam riwayat-riwayat hadis juga. Saya juga tidak tahu ada seorang ulama yang berkeinginan mempelajarinya dan menghimpunnya, kecuali seseorang dari Maroko yang hapal sejumiah besar hadis, yang bernama ‘Ali ibn Hazm berkata: ‘Saya telah menegaskan hampir delapan puluh nama terkandung dalam Al-Quran dan riwayat-riwayat yang sahih, dan sisanya perlu dicari dalam nwayat-riwayat hadis dengan cara melakukan ijtihad (penilaian mandiri).’! Saya percaya bahwa hadis yang menetapkan jumlah nama tidak sampai kepadanya atau jika sampai, tampaknya dia menganggap isnad-nya lemah, karena dia berpaling dari hadis itu dan berpegang pada riwayat-riwayat yang tersebut dalam himpunan-himpunan hadis sahih dan menurunkan ini dari himpunan-himpunan itu. Berdasarkan ini, siapa pun yang menyebutkan nama-nama-yaitu menghimpun dan melestarikannya maka dia akan terbebani kerja keras dalam upaya-upayanya, dan karenanya patutlah masuk surga. Kalau tidak, mudah untuk mengucapkan nama-nama yang akhirnya disebutkan nwayat itu. Hadis sahih mencatat dalam beberapa susunan kata: ‘siapa pun yang menghapalnya, maka dia masuk surga’. Dan untuk menghapalnya diperlukan upaya yang keras!

Inilah kemungkinan-kemungkinan yang terlihat olehku mengenai hadis ini. Kami tidak merinci sebagian besar aspek dari hadis ini, karena inilah persoalan-persoalan ijtihad yang tak mungkin diketahui tanpa mengira-ngira, dan dengan demikian ini sangat jauh dari penilaian yang benar-benar masuk akal. Namun Allah jualah yang paling tahu.


Sumber: Al-Ghazali. Al-Maqshad Al-Asna fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna, penj. Ilyas Hasan. Bandung: Penerbit Mizan, 2002.