Menikahi Perempuan Ahli Kitab Menurut Gus Mus

 
Menikahi Perempuan Ahli Kitab Menurut Gus Mus

LADUNI.ID, Jakarta - Dalam buku yang ditulis oleh KH Mustofa Bisri atau Gus Mus berjudul Fikih Keseharian Gus Mus (2005), dijelaskan bahwa terdapat seorang yang menanyakan tentang bagaimana hukum menikah dengan perempuan ahli kitab. Berikut penjelasannya dan selamat membaca.

***

Tanya:

Dengan ini saya akan menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan surah Al-Maidah ayat 5, tentang dibolehkannya lelaki muslim menikahi perempuan Ahli-kitab. Yang menjadi pertanyaan, jika AlQuran memuat dan mengizinkan terjadinya perkawinan tersebut, berarti saat itu mestinya kan telah terjadi adanya perkawinan seperti itu, kan ada asbab an-nuzuulnya. Dengan kata lain surah AlMaidah ayat 5 itu merupakan jawaban atas peristiwa saat itu. Lha yang menjadi tanda tanya adalah di mana dan dengan cara apa pernikahan tersebut?

Dalam Himpunan Fatwa oleh Husein Bahreisj, terbitan ‘Al-Ikhlas” Surabaya, diterangkan bahwa seorang laki-laki muslim boleh menikahi perempuan Ahli-kitab dan diterangkan pula bahwa khalifah Usman bin Affan juga beristri Nailah binti Qarafishah (Insya Allah yang benar: Furafishah, AMB) yang ahli kitab (hal. 300). Yang saya belum jelas, apakah zaman sekarang juga dibolehkan perkawinan semacam itu? Dan kalau tidak boleh apa alasannya? Dan jika tidak boleh, lalu bagaimana yang sudah telanjur? Bila kemudian anak dan istrinya masuk Islam, apakah pernikahannya perlu diulang?

Demikianlah, saya mohon jawaban yang selengkap-lengkapnya. Sebelum dan sesudahnya dihaturkan banyak terima kasih.

Jawab:

Memang umumnya ayat-ayat Al-Quran turun sebagai jawaban atas pertanyaan atau peristiwa yang terjadi. Namun tidak selalu ayat itu turun persis demikian. Adakalanya ayat turun sebagai jawaban atas suatu pertanyaan atau peristiwa dan dalam kerangka itu, sekaligus menerangkan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan masalah yang ditanyakan tersebut. Misalnya ayat 5 surah Al-Maidah yang Anda tanyakan. Ayat itu, atau ayat sebelumnya, turun untuk menjawab pertanyaan tentang makanan yang dihalalkan. Lalu sekaligus menerangkan wanita yang halal untuk dinikahi.

Adapun pernikahan dengan perempuan Ahlu-kitab ya biasa to. kan yang kita bicarakan dan dibicarakan ayat 5 Al-Maidah adalah tentang orang muslim kawin dengan wanita Ahli-kitab (nasrani atau Yahudi). Ya dengan cara Islam. Demikian pula ketika Sayyidina Usman bin ‘Affan kawin dengan Nailah binti Furafishah.

Mengenai hukum perkawinan lelaki muslim dengan perempuan Ahli-katab ya tetap. Menurut Jumhur Ulama, berdasarkan ayat yang Anda tanyakan ini, boleh seorang lelaki muslim kawin dengan perempuan Alhili-kitab. Imam ‘Athaa’ mengatakan makruh. Pendapat lain yang dinisbatkan kepada sahabat Abdullah Ibnu Umar r.a. dan sementara Tabiin, menyatakan tidak boleh. Argumentasi yang mereka kemukakan adalah bahwa wanita Ahli-kitab yang sudah tidak asli dan tidak mempercayai risalah Muhammad Saw., termasuk wanita musyrik. Keimanannya kepada Allah tidak mengeluarkannya dari pengertian kemusyrikan.

Allah berfirman:

وَمَا يُؤْمِنُ اَكْثَرُهُمْ بِاللّٰهِ اِلَّا وَهُمْ مُّشْرِكُوْنَ (١٠٦)

Wamaa yu/minu aktsaruhum biallaahi illaa wahum musyrikuuna

Artinya: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS 12. Yusuf: 106).

Sedangkan kawin dengan wanita musyrik jelas dilarang, Sebagaimana firman Allah:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ

Walaa tankihuu almusyrikaati hattaa yu’minna.

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum nereka beriman”. (QS 2. Al-Baqarah: 221)

Mereka juga mendasarkan pendapat mereka atas ayat-ayat yang menyarankan untuk tidak berdekat-dekat dengan orang, Orang kafir. Seperti tercantum dalam Al-Quran:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِّنْ دُوْنِكُمْ لَا يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالًاۗ وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْۚ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاۤءُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۖ وَمَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ اَكْبَرُ ۗ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْاٰيٰتِ اِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ (١١٨)

Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu laa tattakhidzuu bithaanatan min duunikum laa ya/luunakum khabaalan wadduu maa 'anittum qad badati albaghdaau min afwaahihim wamaa tukhfii shuduuruhum akbaru qad bayyannaa lakumu al-aayaati in kuntum ta'qiluuna.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. “ (QS 3. Ali Imran: 118).

۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ (٥١)

Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu laa tattakhidzuu alyahuuda waalnnashaaraa awliyaa-a ba'dhuhum awliyaau ba'dhin waman yatawallahum minkum fa-innahu minhum inna allaaha laa yahdii alqawma alzhzhaalimiina.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS 5. Al-Maidah: 51)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا عَدُوِّيْ وَعَدُوَّكُمْ اَوْلِيَاۤءَ تُلْقُوْنَ اِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوْا بِمَا جَاۤءَكُمْ مِّنَ الْحَقِّۚ يُخْرِجُوْنَ الرَّسُوْلَ وَاِيَّاكُمْ اَنْ تُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ رَبِّكُمْۗ اِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِيْ سَبِيْلِيْ وَابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِيْ تُسِرُّوْنَ اِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَاَنَا۠ اَعْلَمُ بِمَآ اَخْفَيْتُمْ وَمَآ اَعْلَنْتُمْۗ وَمَنْ يَّفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاۤءَ السَّبِيْلِ (١)

Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu laa tattakhidzuu 'aduwwii wa'aduwwakum awliyaa-a tulquuna ilayhim bialmawaddati waqad kafaruu bimaa jaa-akum mina alhaqqi yukhrijuuna alrrasuula wa-iyyaakum an tu/minuu biallaahi rabbikum in kuntum kharajtum jihaadan fii sabiilii waibtighaa-a mardaatii tusirruuna ilayhim bialmawaddati wa-anaa a'lamu bimaa akhfaytum wamaa a'lantum waman yaf'alhu minkum faqad dhalla sawaa-a alssabiili.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS 60. Al-Mumtahanah: 1).

Syekh Mahmud Syaltut dalam kitab Al-Fataawaanya mengomentari pendapat jumhur ulama yang memperbolehkan lelaki muslim kawin dengan perempuan Altli-kitab, menyatakan bahwa pendapat itu dasar pokoknya adalah prinsip agama yang fitri, yaitu bahwa dalam keluarga, pihak lelaki merupakan pembimbing dan pengendali. Lelaki muslim dalam keluarga benar-benar bertindak sebagai pemimmpin dan pembina keluarga, anak-istrinya, sesuai ajaran dan akhlak Islami. Dengan demikian, perkawinannya dengan perempuan Ahli-kitab merupakan rahmat. Istrinya yang Ahlikitab akan tahu keluhuran-keluhuran ajaran dan akhlak Islam melalui praktek pergaulan yang langsung.

Namun sebaliknya, apabila si lelaki ternyata tidak demikian; misalnya merupakan lelaki yang tidak memiliki tanggung jawab dan memegangi prinsip Islami, atau apalagi malah termasuk tipe suami yang lebih suka menyerahkan segala urusan rumah tangga dan keluarga kepada istri, maka perkawinannya dengan wanita Ahli-kitab justru akan bertentangan dengan hikmah diperkenankannya perkawinan itu sendiri. (Baca Al-Fataawaa, hal. 270-279)

Nah, agak jelas sekarang? Jadi apa masih perlu saya menjawab pertanyaan ikutan Anda mengenai bagaimana mereka yang sudah terlanjur kawin dengan perempuan Alhli-kitab?

Tinggal apakah pernikahannya sendiri diperkenankan atau tidak? Apabila akad nikahnya secara Islam ya tidak ada masalah tho?! (Bacalah Ensiklopedi Ijmak, hal. 8, 485).

Wallaahu A’lam.

­

 


Sumber: KH Mustofa Bisri. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista, 2005.