Syajaratul Ma’arif Bagian 1c: Berakhlak dengan Sifat-sifat Dzat

 
Syajaratul Ma’arif Bagian 1c: Berakhlak dengan Sifat-sifat Dzat

LADUNI.ID, Jakarta - Tulisan ini adalah penjelasan tentang kitab Syajaratul Ma’arif karangan Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam, yang berkaitan dengan tema “Berakhlak dengan Sifat-Sifat Sang Maha Rahman Sesuai dengan Kemampuan”. Secara khusus, dalam bagian ini dibahas mengenai Berakhlak dengan Sifat-sifat Dzat, Berakhlak dengan Ilmu, Berakhlak dengan Iradat, Berakhlak dengan Sifat Sama’, dan Berakhlak dengan Sifat Bashar, serta Berakhlak dengan Sifat Kalam. Selamat membaca.

***

Berakhlak dengan Sifat-sifat Dzat
Ada dua macam:

Pertama: Qudrat dan hayat. Tidak mungkin untuk berakhlak dengan keduanya. Karena keduanya tidak bisa dicari namun wajib dijaga keberadaannya dan menjaga semua fungsi tubuh dan organ-organnya agar kita bisa menggunakannya untuk taat pada Tuhan sekalian alam dan jangan sampai kita menyia-nyiakannya kecuali jika kita gunakan untuk jihad dan semacamnya. Kita menjaga mata karena fungsinya untuk melihat dan semua indera sesuai dengan fungsinya masing-masing, tangan untuk bisa bekerja, lidah untuk bicara, akal karena faedah-faedahnya dan kaki untuk berjalan.

Sedangkan mengenai menghilangkan penyakit dari anggota tubuh dengan pengobatan dan obat maka ada dua pendapat:

Tidak diperbolehkan merusak akal dengan sesuatu yang memabukkan kecuali karena dipaksa atau karena alasan darurat dan tidak boleh menghijabinya dengan sesuatu yang haram, dan sangat dianjurkan untuk menjaganya dari kelalaian dengan melakukan yang sunnah. Ini bisa dilakukan dengan menepikan semua sebab-sebab kelalaian, seperti kesibukan yang tidak jelas dan tidak menguntungkan.

Adapun dalil tentang hayat (hidup) adalah firman Allah, “Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.” (Ghafir: 65)

Juga firman-Nya, “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Al-Baqarah: 255)

Sedangkan buah dari mengetahui sifat ini adalah tawakkal dan menyerahkan diri pada-Nya, sesuai dengan firman-Nya, “Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati.” (Al-Furqan: 58)

Sedangkan dalil dari Qudrah adalah firman-Nya, “Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 284)

Dan firmanNya, “Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,” (Al-Kahfi: 45)

Adapun buah dari mengetahui sifat ini adalah munculnya pengagungan, rasa sungkan, harapan untuk mendapatkan nikmat, khawatir akan ancaman Allah, karena kekuasaan Allah meliputi semua yang bermanfaat dan membahayakan, yang jelek dan menggembirakan.

Kedua: Semua sifat Dzat. Hendaknya kita berakhlak dengannya sebatas kemampuan kita, dan dalam hal ini ada lima hal dan akan kami sebutkan secara rinci dalam pasal-pasal berikut.

Maka marilah kita mulai dengan “ilmu” sebab berakhlak dengannya jauh lebih utama dari selainnya.

Berakhlak dengan Ilmu
Adapun ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala, dalilnya tersebut dalam firman-Nya, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282)

Dan firman-Nya, “Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)

Adapun buah ilmu adalah adanya rasa takut terhadap Tuhanmu dan lahirnya rasa malumu terhadap-Nya, dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaaanmu.

Sementara berakhlak dengannya yaitu engkau mengetahui dzat-Nya dan sifat-sifat-Nya, serta mengetahui hukum-hukum-Nya, hari-hari Allah, halal haram-Nya dan hendaknya engkau mengetahui semua hal yang membuatmu dekat kepada Allah tentang hal yang diwajibkan kepadamu serta yang dianjurkan atas kamu.

Allah SWT berfirman, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)

"Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur'an itu diturunkan dengan ilmu Allah.” (Hud: 14)

Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maa ‘idah: 98)

Agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalak: 12)

Dan ketahuilah bahwa bahwa sesungguhnya Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.” (Al-Bagqarah: 260)

Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 235)

Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.” (AlHadid: 17)

Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanah Allah) dengan terang.” (Al-Maa‘ ‘idah: 92)

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122).

Rasulullah #2 bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka dia akan diberikan pemahaman terhadap agamanya.” (HR. Al-Bukhari, 71, dan Muslim 1037 dari hadits Abu Hurairah)

Berakhlak dengan Iradat
Sedangkan iradat (kehendak) Allah maka dalil-Nya adalah firmanNya,

Dan Allah hendak menerima taubatmu.” (At-Taubah: 27)

Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) daripada Allah.” (Al-Maa‘idah: 41)

Adapun buah dari pengetahuan tentang kemenyeluruhan kehendak-Nya dan bahwa hanya Dia yang memiliki pengaruh tunggal adalah munculnya rasa takut dan khawatir yang akan membuatnya menjauhi semua ketergelinciran, akan memperbaiki amal dan memperpendek angan.

Adapun tentang berakhlak dengannya maka kehendak kita ada dua macam:

1. Dharuri, berupa kehendak melakukan perbuatan yang bersifat kasbiyah (yang bisa diusahakan).

2. Kasbi (yang bisa diusahakan), yaitu engkau berakhlak dengan semua kehendakmu yang perintahkan oleh syariat atau dianjurkan olehnya. Seperti kemauanmu untuk taat secara keseluruhan, atau beribadah secara keseluruhan, ikhlas dalam beribadah, kemauan untuk taqarrub kepada-Nya, baik karena takut atas siksaan Allah ataupun karena mengharapkan pahala-Nya, atau karena perasaan malu pada-Nya, atau karena cinta pada-Nya atau karena enggan berlambat-lambat untuk taat pada-Nya atau karena sebelumnya telah menentang-Nya.

Berakhlak dengan sifat Sama’ (Pendengaran) Allah
Dalilnya adalah firman Allah, “Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maa‘idah: 76), Juga firman-Nya, “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisaa’: 134).

Adapun pengetahuan tentang sama’ Allah, maka buahnya adalah rasa takut yang muncul darimu, rasa malu, rasa enggan terhadap apa yang tidak Allah sukai darimu berupa ucapan-ucapan yang terlarang atau dibenci. Dan, menjauhi semua perkataan yang tidak mendatangkan manfaat dan tidak menepis bahaya kini atau di masa datang.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengatakan perkataan yang baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari 6476, Muslim 48 dari hadits Abu Syuraih).

Sedangkan berakhlak dengan sama’ ini, maka pendengaran kita ada dua:

Pertama: Sama’ ittifaqi (pendengaran yang Allah telah berikan kepada kita).

Kedua: Kasbi, yakni mendengar semua hal yang diwajibkan agar didengarkan olehmu, atau dianjurkan bagimu. Seperti mendengarkan Kitab-Nya, atau Sunnah Rasul-Nya, khutbah-khutbah yang disyariatkan, dan hal-hal lain yang bisa didengar yang mengantarkan ke sana atau mendekatkanmu pada-Nya.

Allah berfirman,“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Al-A’raf: 204)

Allah juga berfirman, “Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).” (Thaha: 13)

Juga, “Dan dengarlah serta taatlah.” (At-Taghabun: 16)

Berakhlak dengan sifat Bashar (Melihat)
Adapun penglihatan Allah, maka dalilnya adalah firman Allah,“Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Hajj: 61).

Dan firman-Nya, “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisaa‘: 134)

Adapun buah dari mengetahui sifat ini adalah timbulnya rasa takutmu pada-Nya, rasa malumu pada-Nya dan engganmu pada-Nya jika Dia melihat apa yang kamu lakukan dari apa yang Dia larang atau tidak melakukan apa yang diperintahkan padamu.

Adapun berakhlak dengannya, maka penglihatan kita ada dua macam:

Pertama: Dharuri, yakni penglihatan yang Allah telah berikan kepada kita.

Kedua: Kasbi, adalah berakhlak dengan pandangan yang Allah wajibkan kepadamu, atau Allah anjurkan. Seperti berjaga-jaga di jalan Allah, mentadaburi ciptaan Allah yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya, dan kesempurnaan hikmah-Nya, kemenyeluruhan ilmu-Nya, dan kepastian kehendak-Nya. Karena sesungguhnya engkau bisa mengambil bukti dengan penciptaan akan kekuasaan Allah, dan dengan kekuasaan-Nya akan kehendak-Nya, dan dengan kehendak-Nya akan ilmu-Nya dan dengan ilmu-Nya atas hidup-Nya.

Allah berfirman, "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." (Yunus: 101)

Firman, Allah, “Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya.” (Al-An‘am: 99)

Allah juga berfirman, “Dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” (Al-Baqarah: 259).

Sebagaimana Allah telah memerintahkanmu untuk melihat pada semesta dengan pandangan yang sebenarnya (hakiki), maka hadirkanlah sifat ihsan dalam beribadah pada-Nya, “Hendaknya engkau menyembahNya seakan-akan engkau melihat Dia dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah # ).

Berakhlak dengan sifat Kalam (Perkataan) Allah
Adapun kalam Allah, maka dalilnya adalah firman-Nya, “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (At-Taubah: 6)

Allah juga berfirman,"Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut." (An-Nahl: 51)

Adapun buah dari pengetahuan tentang sifat kalam ini adalah mengetahui tentang dzat Allah, sifat-sifat-Nya, perintah-Nya, laranganNya, apa yang dibolehkan dan apa yang dicegahnya, senantiasa peka dengan peringatan-peringatan-Nya dan takut akan ancaman-ancamanNya, senantiasa taqarrub dengan semua yang diwajibkan atasnya dan senantiasa melakukan yang dianjurkannya.

Adapun yang dimaksud dengan berakhlak dengannya adalah berbicara dengan semua apa yang Allah tunjukkan kepadamu, dan Allah arahkan yang akan mendekatkan dirimu kepada-Nya. Berupa dzikir, syukur, membaca Kitab-Nya, memahami seruan-Nya mengajarkan apa Allah perintahkan untuk diajarkan, dan memahamkan semua yang Dia perintahkan untuk dipahamkan. Menyuruh pada yang maruf dan melarang semua yang mungkar.

Adapun perkataan itu ada tiga macam: Kata yang membuat Tuhanmu ridha, kata yang membuat Tuhanmu murka dan kata yang berada di antara keduanya.

Maka, kewajibanmu adalah mengatakan ucapan-ucapan yang menja-dikan Tuhanmu ridha, dan jauhilah senantiasa olehmu perkataanperkataan yang membuat Tuhanmu murka. Rasulullah telah meringkas semua itu dalam sabdanya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengatakan perkataan yang baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari 6018, Muslim 47 dari hadits Abu Hurairah r.a.).

Sedangkan dalil berakhlak dengan sifat kalam ini adalah firman Allah,

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ (١٠٤)

Waltakun minkum ummatun yad'uuna ilaa alkhayri waya/muruuna bialma'ruufi wayanhawna 'ani almunkari waulaa-ika humu almuflihuuna

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar[1]; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104).

Allah juga berfirman, “Katakanlah (hai orang-orang mukmin); «Kami beriman kepada Allah.” (Al-Baqarah: 136)

Demikian pula, dengan ayat-ayat atau hadits yang memerintahkan kita untuk berkata.


[1] Maruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

 


Sumber: Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Syajaratul Ma’arif Tangga Menuju Ihsan, penj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.