Biografi Syekh Mas’ud Kawunganten, Pendiri Pesantren Al-Barokah Salafiyyah Cilacap

 
Biografi Syekh Mas’ud Kawunganten, Pendiri Pesantren Al-Barokah Salafiyyah Cilacap
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Madrasah
3.2  Mendirikan Pesantren
3.3  Mendirikan Lembaga Pendidikan
3.4  Pendakwah
3.4  Peranan di Nahdlatul Ulama

4.    Teman Dekat Gus Dur
5.    Karya-Karya
6.    Chart Silsilah Sanad
7.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Syekh Mas’ud lahir pada tahun 1923, di Purworejo, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra dari pasangan Kyai Muhyidin dengan Nyai Sangadah. Ayah beliau adalah pendatang dari Purworejo, Jawa Tengah yang menetap di Kawunganten sebagai petani sekaligus sebagai Kyai yang mengajarkan agama Islam.

1.2 Keluarga
Setelah menyelesaikan belajarnya di pesantren, beliau pulang ke kampung halamannya, sekitar tahun 1960-an. Satu tahun beliau menetap di Kawunganten, Cilacap, Syekh Mas’ud menikah dengan Nyai Maysyaroh, putri KH. Suhaimi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah, Benda, Sirampog, Brebes, Jawa Tengah. dan dikarunia 5 orang anak.

1.3 Wafat
Hari Sabtu tanggal 5 Maret 1994 M atau bertepatan dengan tanggal 22 Ramadlan 1414 H, Syekh Mas’ud menghembuskan nafas terahir. beliau meninggal dunia pada usia 68 tahun. Syekh Mas’ud dimakamkan di Kompleks Pesantren Al Barokah untuk mempermudah masyarakat berziarah. Hingga saat ini, makamnya banyak diziarahi masyarakat sekitar dan dari luar daerah.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Usia kanak-kanak Syekh Mas’ud hidup bahagia dalam lingkungan keluarga besarnya. beliau menikmati masa kecilnya dengan belajar dan bermain bersama saudara-saudaranya. beliau dan saudara-saudaranya setiap malam habis maghrib belajar agama kepada ayahnya, Kyai Muhyidin.

Pada umur 10 (sepuluh) tahun, Syekh Mas’ud dikirim ayahnya ke Desa Sarwadadi Kawunganten untuk belajar Al-Qur’an kepada Kyai Hanafi, kurang lebih selama dua tahun. Kemudian meneruskan belajar ke Wajasari, Kebumen. Syekh Mas’ud tekun mempelajari dan menghafal Kitab Alfiyah Ibn Malik kepada KH. Ahmad bin Muhammad Husein Wajasari selama empat tahun.

Setelah beliau selesai menghafalkan dan memahami Alfiyah dengan baik. Syekh Mas’ud melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Jampes, Kediri. Di sini Syekh Mas’ud menimba ilmu kepada Syekh Ikhsan bin Dahlan, salah seorang ulama yang karyanya, Siraj At-Thalibin dan  Minhaj Al-‘Abidin dijadikan buku wajib untuk kajian post-graduate di Al-Azhar dan beberapa perguruan tinggi lainnya.

Tujuh tahun mempelajari beberapa kitab kuning di Pondok Pesantren Al-Ikhsan, Jampes. Syekh Mas’ud mulai tertarik untuk mempelajari ilmu fiqih dan Balaghah. Ketekunannya mempelajari Ilmu Balaghah mengantarkan Syekh Mas’ud sebagai Juara Penguasaan Ilmu Balaghah tingkat Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Masih di Kediri, Syekh Mas’ud kemudian meneruskan belajarnya di Pondok Pesantren Darul Hikam, Bendo, Pare. Di pesantren ini, Syekh Mas’ud meneruskan untuk mendalami ilmu fiqih, Ushul Fiqih dan Qawaid Fiqih dengan sungguh-sungguh. Selama kurang lebih 10 tahun, di Pesantren Bendo Pare, Syekh Mas'ud merupakan kakak angkatan sekaligus guru KH. Sahal Mahfud Kajen, Pati (karena KH. Sahal dulu pernah mengaji Takrib kepada Syekh Mas'ud).

Setelah di Bendo, Syekh Mas'ud juga melakukan tabarukan ke berbagai pesantren. Beliau pernah di Pondok Lasem yang diasuh oleh KH. Masduqi selama 1 tahun. Beliu pernah tabarukan ke Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah kepada Kyai Ahmad bin Syuaib dan KH. Zubair selama 2 tahun. Syekh Mas'ud juga pernah di Sayyid Sagaf di Magelang selama 1 tahun, Beliau juga pernah tabarukan ke Tebuireng, Jombang, Jawa Timur kepada KH. Wahid Hasyim

Syekh Mas’ud menghabiskan masa mudanya di pesantren-pesantren yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hampir tiga puluh tahun beliau berada di pesantren untuk menuntut ilmu.

Kemudian, Syekh Mas’ud melanjutkan pendidikannya dengan belajar ke Makkah dan sekaligus untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1964 M. Di sana beliau bertemu dengan Syekh Yasin bin Isa di Makkah. Syekh Yasin merupakan ulama Makkah yang nenek moyangnya berasal dari Padang Sumatra Barat, sosok ulama Indonesia yang namanya terukir dengan tinta emas karena keluasan ilmu yang dimilikinya.

Syekh Yasin mengakui kedalaman ilmu Syekh Mas’ud terutama pemahamannya dalam bidang ilmu fiqih. Syekh Mas’ud menggunakan kesempatan pertemuan itu untuk belajar kepada Syekh Yasin bin Isa Al-Fadani beberapa kitab yang belum sempat beliau pelajari semasa di pesantren dulu. beliau meminta ijazah atas kitab-kitab yang belum dipelajari kepada Syekh Yasin bin Isa. Setelah pertemuan itu, Syekh Mas’ud sering kirim surat kepada Syekh Yasin.

Syekh Mas’ud juga pernah bertemu dengan Syekh Yasin bin Isa Al-Fadani, yaitu ketika Syekh Yasin berkunjung ke Indonesia pada tahun 1990 M. Syekh Mas’ud bahkan sering diajak bermusyawarah  dan berkorespondensi dengan beliau untuk menyelesaikan permasalahan fiqih yang melibatkan ulama-ulama Timur Tengah.

Hingga menjelang akhir hayatnya, Syekh Mas’ud tidak pernah berhenti untuk mempelajari kitab kuning sebagai rujukan ajaran agama Islam. Bahkan ketika beliau sembuh dari sakit strok yang menimpanya selama lima tahun, beliau terus melanjutkan kegiatanya untuk memburu dan mempelajari kitab-kitab yang beliau dapat dan belum sempat dipelajarinya. beliau sering mendapatkan kiriman kitab dari Syekh Yasin bin Isa al-Fadani (Makkah) dan juga dari Lembaga Keagamaan yang ada di Turki.

Hasil perburuan Kitab-Kitab Rujukan (Maraji’) tersebut kemudian dijadikan referensi oleh Syekh Mas’ud, untuk Karya beliau berjudul “Masailusy Syatta”, yang berisi tentang tanya jawab masalah-masalah agama (Waqi’iyyah) yang terjadi dan berkembang di masyarakat.

Kitab tersebut terdiri dari dua jilid, disempurnakan penyusunannya dan diberi penjelasan (Syarah) oleh putera beliau yang bernama Khazim Mas’ud (Gus Hazim). Kitab tersebut kini tersedia di Pondok Pesantren Al Barokah, Kawunganten, dan bisa didapatkan oleh masyarakat umum.

2.2 Guru-Guru
1. Kyai Muhyidin (ayah),
2. Kyai Hanafi Kawungaten,
3. KH. Ahmad bin Muhammad Husein Wajasari,
4. Syekh Ikhsan bin DahlanPondok Pesantren Al-Ikhsan Jampes,
5. KH. Masduqi Lasem,
6. KH. Ahmad bin Syuaib,
7. KH. Zubair DahlanPondok Pesantren Al-Anwar Sarang,
8. Sayyid Sagaf Magelang,
9. KH. Wahid HasyimPesantren Tebuireng Jombang,
10. Syaikh Yasin Al-Fadani.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Mendirikan Madrasah
Pada tahun 1966 M, Syekh Mas’ud mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB), setingkat sekolah dasar untuk memberikan kemudahan kepada anak-anak yang haus akan ilmu umum dan memudahkan mereka dalam memperoleh ilmu karena tidak lagi harus jauh-jauh sekolah ke kota yang jaraknya puluhan kilometer. Madrasah Wajib Belajar yang digagas Syekh Mas’ud menorehkan “dunia pendidikan” di Kecamatan Kawunganten. Madrasah Wajib Belajar bernaung dibawah Lembaga Pendidikan Ma’arif.

Pada tahun 1968 M, MWB berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU). Tahun 1970 bergabung dengan Yayasan Al-Kaff, dan berganti nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda. MI Nurul Huda pernah berganti nama menjadi Sekolah Dasar Islam kemudian berubah lagi menjadi Madrasah Ibtidaiyah Sultan Agung, sampai sekarang (2013)

3.2 Mendirikan Pesantren
Syekh Mas’ud juga mendirikan Pondok Pesantren untuk menampung masyarakat yang ingin belajar agama Islam secara mendalam pada tahun 1967 di atas tanah milik keluarganya yang masih kosong. Pesantren tersebut beliau beri nama Pondok Pesantren Al-Barokah Salafiyyah.

Santrinya terus bertambah, tidak hanya berasal dari Kabupaten Cilacap saja, akan tetapi ada yang datang dari luar daerah. Rata-rata dari mereka belajar di Pondok Pesantren Al-Barokah karena ingin mempelajari ilmu fiqih, suatu disiplin ilmu yang dikuasai dengan baik oleh Syekh Mas’ud.

3.3 Mendirikan Lembaga Pendidikan
Syekh Mas’ud kemudian mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) pada tahun 1969 M. PGA yang didirikan oleh Yayasan Nurul Huda kurang mendapat respon dari masyarakat. Jumlah murid tidak terlalu banyak, karena masyarakat kurang antusias untuk menjadi guru agama. Pada tahun 1975, PGA dirubah menjadi Madrasah Tsanawiyyah.

Perubahan PGA menjadi MTs juga kurang mendapat respon positif. Masyarakat lebih untuk memilih sekolah yang berbasis umum, seperti SD, SMP atau SMA. Akhirnya pada tahun 1977, MTs dirubah lagi menjadi Sekolah Menengah Pertama Sultan Agung (SMP Sultan Agung).

Setelah berganti nama, jumlah murid yang belajar di SMP Sultan Agung mulai mengalami peningkatan, sampai sekarang (2013). Syekh Mas’ud juga berperan dalam proses berdirinya Sekolah Menengah Atas Jendral Ahmad Yani, satu-satunya sekolah tingkat menengah atas yang ada di Kecamatan Kawunganten saat itu, dan tetap berdiri kokoh sampai sekarang (2013).

3.4 Pendakwah
Selain pendidikan formal, Syekh Mas’ud juga memiliki Jamaah Pengajian sebagai media dakwah bagi masyarakat. setiap kali mengisi pengajian Syekh Mas’ud tidak terlalu banyak memberikan ceramah keagamaan, akan tetapi lebih banyak meluangkan waktu pengajian tersebut untuk tanya jawab untuk materi Aqidah, Hukum atau fiqih, Akhlak, Tafsir, dengan metode ceramah, tanya jawab dan praktek menyampaikan ajaran Islam juga memberikan contoh atau praktek langsung.

3.5 Peranan di Nahdlatul Ulama
Setelah menetap beberapa tahun di Kecamatan Kawunganten, Syekh Mas’ud mulai berperan di Organisasi Nahdlatul Ulama (NU), terutama karena kemampuannya dalam bidang hukum Islam, yaitu Bahtsul masail. Syekh Mas’ud menjadi tumpuan bagi peserta Bahtsul Masail lainnya.

Di samping karena keahliannya dalam bidang penentuan sebuah hukum, ia sudah terbiasa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang biasanya diajukan oleh peserta pengajian yang diasuhnya, yang kebanyakan dari pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan ketetentuan hukum Islam.

Syekh Mas’ud kemudian diangkat menjadi  Rais Suriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Cabang Kabupaten Cilacap. Sejak berkiprah di NU, Syekh Mas’ud pengaruhnya bertambah luas sampai ke PBNU.

4. Teman Dekat Gus Dur
Syekh Mas’ud dikenal dekat dengan Gus Dur, terutama setelah beliau membawa karya Syekh Ihsan kepada KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk diterbitkan.

“Kyai Mas’ud bukan sembarang kyai. Beliau diakui amat dalam pengetahuannya di bidang hukum agama. beliau menguasai peralatan untuk mengambil keputusan hukum fiqih, berupa teori hukum (usul fiqih) dan pedoman hukum (qawa’id fiqih). Kedua ‘alat’ itu memang harus dikuasai sempurna, kalau ingin menghasilkan keputusan-keputusan hukum agama yang ‘berkualitas tinggi’, hingga layak disebut “Syekh”.

“Di tahun lima puluhan, yang di panggil syekh adalah Kyai Masduki dari Lasem, karena penguasaannya atas buku teks (kitab) utama di bidang teori hukum, yaitu kitab Jam’ul Jawami. Tahun-tahun delapan puluhan ini rupanya sudah ada pengganti Syekh Masduki Lasem, yang sudah sekian tahun wafat. Dan beliau itulah Kiai Mas’ud dari Kawunganten, Cilacap.

Orangnya sederhana. Dalam pergaulan sangat bersikap rendah hati kepada orang lain, bahkan kepada yang lebih muda umurnya sekalipun. Suaranya tidak pernah dikeraskan. Penampilannya adalah penampilan kyai ‘kampung’ yang tidak ada ‘kegagahan’nya sedikit pun.

Tetapi, di balik penampilan ‘biasa-biasa saja’ itu tersembunyi sesuatu yang tidak disangka-sangka, kekerasan hati untuk melakukan pengejaran "yang mungkin tidak akan pernah berhenti" mengejar buku-buku teks agama secara tradisional digunakan di pesantren, atau seharusnya diajarkan di dalamnya”(KH. Abdurrahman Wahid / Gus Dur, 1982).

5. Karya-Karya
Pemikiran dari Syekh Mas’ud tertuang dalam beberapa tulisannya yang beliau tulis semasa menjadi pengasuh pesantren dan pengajian rutin hari Minggu. Tulisan-tulisan itu biasanya beliau buat setelah mengadakan pengajian rutin atau setelah mengahadiri acara Bahtsul Masail.

Pertanyaan-pertanyaan dari jamaah pengajian yang telah beliau jawab kemudian ditulisnya dalam sebuah buku. Hal tersebut beliau lakukan agar apa yang telah disampaikannya jangan sampai hilang dan juga karena kegemarannya untuk menulis catatan-catatan kecil atas pertanyaan dari jamaah.

Tulisan-tulisannya sebagian besar berisi jawaban atas permasalahan hukum Islam, walaupun tidak jarang dari tulisannya terdapat tulisan yang membahas masalah lain, seperti tafsir, tauhid, akhlak dan sebagainya.

Tanya jawab tersebut di atas adalah sebagian dari jawaban-jawaban Syekh Mas’ud ketika sedang mengisi pengajian rutin hari Minggu atau pendapatnya dalam kegiatan Bahtsul Masail. Jawaban-jawaban yang ditulisnya di dalam buku catatan itu merupakan sedikit penajabaran atas pemikiran Syekh Mas’ud yang oleh kalangan ulama dan masyarakat Kabupaten Cilacap dijadikan tumpuan dalam permasalahan agama Islam.

6. Chart Silsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru Syekh Mas’ud Kawunganten dapat dilihat DI SINIdan chart silsilah sanad murid beliau dapat dilihat DI SINI.

7. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs: Biografi Syekh Ma’sud Desa Kawunganten Lor Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap, (Skripsi Aziz Nur, Mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2010)


Artikel ini sebelumnya diedit pada tanggal 05 September 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 5 Maret 2024.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya