Biografi KH. Badruddin Honggowongso

 
Biografi KH. Badruddin Honggowongso

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Sekolah
3.2  Peranan di Nahdlatul Ulama
3.3  Masa Penjajahan

4.    Karir-Karir
5.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Muhammad Badruddin atau yang akrab dengan sapaan KH. Badruddin Honggowongso lahir pada tahun 1901, di Kartasura. Beliau merupakan putra dari pasangan Kyai Zakaria (Abdul Syukur) dan Nyai Tari.

Kedua orang tuanya berasal dari keluarga santri. Ayahnya merupakan dari putra dari Kyai Khalifatullah yang mengasuh sebuah pesantren di Daerah Kartasura, yang kemudian dilanjutkan putranya, Kyai Irsyad. Sedangkan ibunya, yang berasal dari Tari Sumber Simo Boyolali, merupakan putri dari Kyai Abdul Jalal IV Kalioso.

Ketika dewasa, nama Badruddin kemudian ditambahkan menjadi Badruddin Honggowongso, yang tidak lain merupakan nama leluhurnya dari jalur ibu, yakni Muhammad Badruddin bin Nyai Abdul Syukur (Tari) binti Kyai Abdul Jalal IV bin Kyai Abdul Jalal III bin Kyai Abdul Jalal II bin Kyai Abdul Jalal I (hidup sezaman PB IV) bin Nitimenggala bin Kyai Honggowongso bin Kyai Gulu (Penghulu) bin Kyai Ageng Ketib Laweyan/Ki Ketib Pati bin Pangeran Mandurorejo (Raden Mas Tumenggung Kartanagara Bupati Grobogan). 

“Jadi kok diberi nama Honggowongso, itu nunggak semi (mengambil nama) leluhurnya 8 tingkat ke atas,” terang Ahmadu yang kini menjadi salah satu pembina di Yayasan Ta’mirul Masjid Tegalsari Surakarta.

1.2 Keluarga
KH. Badruddin Honggowongso menikah dengan Nyai Umiyati binti Muhammad Ibrohim. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai tujuh anak, yaitu:

  1. Kyai Ahmadu Hidjan, yang lahir tahun 1937,
  2. Kyai Ahmad Daroji,
  3. Nyai Nurul Jazimiyah,
  4. Kyai Sahlan,
  5. Nyai Nur Uhbiyati,
  6. Kyai Ahmad Dzulkarom,
  7. Nyai Nur Saidah.

1.3 Wafat
KH. Badruddin Honggowongso wafat pada hari Jum'at tanggal 5 Maret 1987 bertepatan dengan 6 Rajab 1407 H. Jenazah beliau dimakamkan di Kompleks Pemakaman Pamijen Kaliyoso Jogopaten Mbrang Lor (Belakang Masjid Jami’ Kalioso), Desa Kalioso, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Di kompleks pemakaman tersebut juga terdapat makam leluhurnya yakni trah dari Kyai Abdul Jalal Kalioso.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Ketika telah berkeluarga dan menjadi naib di Daerah Tari Simo Boyolali, ayahanda beliau, Kyai Abdul Syukur mendambakan agar putranya yang pertama Kyai Badrudin (juga dipanggil dengan nama Badrun) agar bisa sekolah di Al-Azhar Mesir. Kyai Badrun yang sebelumnya sudah masuk kelas 2 Sekolah Rakyat, kemudian diperintahkan ayahnya untuk masuk pesantren di Kacangan Andong Boyolali di bawah asuhan KH Zuhdi.

Kemudian, dari Pesantren Kacangan, Kyai Badrun pun melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Mambaul Ulum Surakarta dibawah asuhan Kyai Idris. Hal ini dilakukan, karena untuk bisa masuk ke Al-Azhar, setidaknya sudah menamatkan sekolah setingkat Aliyah. Maka, di usia 15 tahun, beliau mengikuti tes di Mambaul Ulum dan karena bekal yang sudah beliau dapat dari Pesantren Kacangan, beliau pun langsung diterima di kelas X (Kelas tertinggi yakni XII).

Sebagai catatan, kala itu, apabila nanti diterima sekolah di Al-Azhar, siswa dari Jawa cukup mempersiapkan biaya pembelian tiket kapal untuk berangkat ke Mesir, sedangkan biaya hidup dan pendidikan di sana, sudah ditanggung dari badan wakaf yang salah satunya merupakan kontribusi dari Raja Surakarta PB X.

Sayangnya, ketika naik kelas XI, Kyai Abdul Syukur meninggal dunia, sehingga untuk biaya pendidikan Kyai Badruddin di Mambaul Ulum pun terasa berat, hingga akhirnya gagal alias tidak dilanjutkan hingga lulus karena keterbatasan dana. Impian untuk pergi belajar ke Mesir pun sirna.

Namun, Kyai Badruddin tidak menyerah. Impian ke Mesir boleh pupus, namun menuntut ilmu jangan sampai putus. beliau pun mengaji ke beberapa guru dan dengan keuletannya beliau mendapatkan ijazah bermacam-macam kitab dari beberapa kyai. Ini tentu menjadi bekal yang penting bagi dirinya.

2. Guru-Guru

  1. Kyai Abdul Syukur (ayah),
  2. KH Zuhdi, Pesantren Kacangan,
  3. Kyai Idris Jamsaren.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Mendirikan Sekolah
Usai mengaji di beberapa kyai, Kyai Badruddin muda kemudian ke Kalioso, tempat kelahiran para leluhurnya. Di sana, beliau mendirikan dan juga mengajar sebuah sekolah yang bertempat di serambi Masjid Kalioso. Masyarakat setempat kala itu, kebanyakan warga tidak mampu, dan dengan adanya lembaga pendidikan yang ada tentu sangatlah membantu mereka.  

Dibantu salah satu pamannya, Kyai Usman, beliau membuat peralatan untuk kegiatan belajar mengajar. Meja dan bangku, beliau buat dari bahan kayu bekas terbelo (keranda). Seiring berjalannya waktu, sekolah tersebut mendapat sambutan hangat dari warga sekitar. Bahkan dari luar desa, seperti Ketitang, Nogosari, Tari, Andong, Kacangan, Salam, Gemolong, Sumberlawang, Tanon, Plupuh, dan lainnya juga banyak yang belajar di sekolah yang beliau dirikan.

Di masa tersebut, karena aturan dari pemerintah Kolonial Belanda, Kyai Badruddin mesti memiliki sertifikat agar diizinkan untuk mengajar. beliau pun pergi ke Solo, tepatnya ke Sekolah Mardi Busono Tegalsari Laweyan Surakarta, dan diuji oleh KH. R. Muh. Adnan. Setelah lulus, beliau melanjutkan pengajaran bersama Kyai Abdullah Usman di sekolah yang beliau dirikan, dan lembaga pendidikan tersebut terus bertahan hingga sekarang, dan bahkan menjadi cikal bakal lahirnya YAUMIKA (Yayasan Umat Islam Kaliyoso).

“Di Kaliyoso, bapak sering diminta masyarakat setempat, untuk menjadi naib nikah. Serta dengan bekal ilmu pengobatan yang dimiliki, tak jarang pula diminta untuk mengobati orang yang sakit,” terang Ahmadu.

Mendirikan MTs NU Salatiga
Pada perjalanan karirnya, Kyai Badrudin kemudian ditempatkan di Salatiga. Di tempat dinas baru itu, beliau membeli rumah di Jalan Taman Pahlawan No 2 Salatiga.

Rumah yang beliau beli dengan cara mencicil tersebut menjadi saksi bisu, bagaimana tumbuh kembangnya MTs-NU Salatiga di masa awal berdiri. Di tahun 1959, beliau bersama sejumlah tokoh antara lain KH. Zubair Salatiga, KH. Ghufron, KH. Kasmuni, dan KH. Zainidin; mendirikan MTs NU Salatiga. Hingga tahun 1964, MTs NU Salatiga belum memiliki gedung sendiri, sehingga pelaksanaan belajar mengajar dilaksanakan di rumah KH. Badrudin Honggowongso.

Sekolah ini pula yang kemudian menjadi tempat mendidik putra-putri Kyai Badruddin. Ada sebuah cerita menarik dari salah satu putri Kyai Badruddin, Nyai Nur Uhbiyati, saat beliau merasa“terpaksa” bersekolah di sekolah Tsawaniyah yang didirikan ayahnya. Padahal, sebagai siswa saat itu dirinya begitu ingin bersekolah di sekolah negeri yang memiliki nama lebih bagus.

“Dulu saya ingin sekolah di sekolah negeri, saya merasa keren kalau bisa bersekolah di tempat favorit. Namun memang dorongan ayah saya begitu kuat agar anak-anaknya bersekolah dengan dasar pendidikan nilai-nilai Islami. Akhirnya, saya harus sekolah di Tsawaniyah yang didirikan ayah,” kenang wanita kelahiran 8 Februari 1952 itu.

Namun, justru apa yang telah diperjuangkan ayahnya tersebut, yakni lembaga pendidikan, yang kemudian menjadi inspirasi Nyai Nur Uhbiyati untuk terus konsisten menggeluti dunia tersebut, hingga sekarang. beliau pun merasa memiliki tanggung jawab besar untuk meneruskan apa yang telah dilakukan kedua orang tuanya tersebut.

“Latar belakang keluarga terutama ayah sangat menekanka nanak-anaknya mengabdikan diri di dunia pendidikan. Ayah saya memang berpindah-pindah tempat tinggal, karena ayah saya pegawai negeri di Departemen Agama. Namun, beliau juga sekaligus mendirikan sekolah di tempatnya bertugas yaitu di Salatiga dan di Semarang,” ujar Guru Besar UIN Walisongo Semarang ini.

3,2 Peranan di Nahdlatul Ulama
Atas saran KH. Abdurrohman, Pak Dhe yang juga salah satu kyai terpandang di Semarang, Kyai Badruddin kemudian pindah dari Kaliyoso ke Semarang, tepatnya di daerah Gedung Bobrok (Semarang Lama). Di sana beliau mendirikan dan mengajar di beberapa madrasah dan ikut aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai catatan, NU cabang Semarang, sudah berdiri semenjak tahun 1928. Para tokohnya antara lain KH. Ridwan Mujahid, KH. Sya’ban, H. Sholeh dan lain sebagainya.

Di Semarang, Kyai Badruddin sempat ditawari untuk bekerja menjadi pembantu penghulu, akan tetapi ditolaknya. Di masa itu, kaum Nahdliyin memang bersikap non-kooperatif atau tidak mau bekerja sama kepada penjajah, termasuk di antaranya menolak untuk menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1939, nama KH. Badruddin Honggowongso tercatat dalam kepanitiaan Muktamar ke-14 NU di Magelang. Dirinya Bersama KH. Muchtar, Kyai Muslich, KH. Saifuddin Zuhri dan tokoh-tokoh lainnya, menjadi motor penggerak suksesnya penyelenggaraan muktamar yang dihelat di Hotel Semarang Pecinan Magelang.

3.3 Masa Penjajahan
Di masa perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, Kyai Badruddin juga turut andil dengan bergabung bersama Barisan Sabilillah dan mendapat tugas tambahan sebagai naib. Pada masa Agresi Belanda II (1948), Kyai Badrudin bersama keluarga mesti mengungsi ke Prambanan, yakni di rumah mertua.

Usai Belanda bersama Sekutu pergi dari Indonesia, dan Indonesia berhasil mempertahankan kedaulatannya, para tentara dari unsur Barisan Hizbullah dan Sabilillah ada yang meneruskan untuk masuk menjadi tentara (kini TNI), namun sebagian besar dari mereka justru memilih menjadi warga sipil, kembali ke pesantren ataupun memilih untuk bekerja sesuai dengan profesi masing-masing.

Kyai Badrudin sendiri memilih untuk tetap menjadi naib di Semarang, sebelum akhirnya diangkat menjadi pegawai negeri di kantor Kementrian Agama Provinsi Jawa Tengah yang berpusat di Semarang pada tahun 1949. Di sana, beliau menjadi salah satu jajaran staf yang dikepalai KH. Saifudin Zuhri.

4. Karir
Seperti yang telah dipaparkan di atas, sedari muda, Kyai Badruddin Honggowongso telah ikut berjuang dalam organisasi NU. Dirinya juga pernah mengemban amanah sebagai di jajaran Syuriah PWNU Jawa Tengah. Ketika NU menjadi partai politik Kyai Badruddin ikut terpilih menjadi anggota DPRD Kota Salatiga dari hasil Pemilu 1955, dan pada Pemilu tahun 1971, beliau terpilih menjadi anggota DPRD Jawa Tengah dari Partai NU.

Di usia senja, setelah pensiun dari pegawai Kemenag, KH. Badruddin melanjutkan kiprahnya di dunia pendidikan, yakni menjadi salah satu dosen di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta. Yang cukup mencengangkan, beliau melakukan aktivitasnya di usia yang sudah cukup uzur tersebut, dengan cara nglajo (perjalanan pulang pergi ditempuh dalam waktu sehari) dengan naik bus dari Salatiga ke Solo, atau sebaliknya.

“Bapak nglajo dari Salatiga naik bis, turun di Tegalsari. Dulu (rute) bis nya lewat Masjid Tegalsari (Kampus UNU dulu terletak di kompleks Masjid Tegalsari, yang kini jadi bangunan SD Ta’mirul Islam, sebelum dipindah ke sebelah timur di daerah Penumping), kemudian turun di sana. Begitu juga ketika hendak pulang ke Salatiga, tinggal menunggu bis di depan Masjid Tegalsari,” terang Ahmadu.

5. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs: NU Online

Artikel ini sebelumnya dibuat pada tanggal 22 Februari 2021 dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 28 Februari 2024

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya