Syajaratul Ma’arif Bagian 5: Perintah-Perintah yang Bersifat Bathin (4)

 
Syajaratul Ma’arif Bagian 5: Perintah-Perintah yang Bersifat Bathin (4)

LADUNI.ID, Jakarta - Tulisan ini adalah kelanjutan isi dari kitab Syajaratul Ma’arif: Tangga Menuju Ihsan karya Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Pada tulisan kali ini, membahas tentang kelanjutan bab 5 tentang “Perintah-Perintah yang Bersifat Bathin”. Perintah bathin apa saja itu? Berikut ini dijelaskan dalam beberapa tema. Selamat membaca.

***

Cinta Kepada Iman dan Benci Kedurhakaan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلٰكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ اِلَيْكُمُ الْاِيْمَانَ وَزَيَّنَهٗ فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ ۗ

Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.” (Al-Hujurat: 7).

“Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu.” (Asy-Syw’araa’: 168).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengangkat seseorang sebagai penguasa kemudian dia melihatnya melakukan kemakstatan kepada Allah maka hendaknya dia membenci perbuatan maksiat kepada Allah itu.” (HR. Muslim 1855 dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Kecintaan kepada iman adalah sarana untuk bisa melakukannya, dan kebencian pada kedurhakaan merupakan sarana yang akan membuatnya menghindarinya.

Merindu Allah dan Risalah-risalahNya

Allah Subhanahu wa Ta’al berfirman, “Berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkan lah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” (Al-‘Araf: 143).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang beriman berkata: “Mengapa tiada diturunkan suatu surat?” (QS. Muhammad: 20).

Kerinduan kepada Allah dan pada risalah-risalahNya adalah dampak dari kecintaan pada-Nya. Musa memohon kepada Allah agar dia bisa melihatnya karena rasa rindunya dan kehausan jiwanya untuk melihat keindahan-Nya. Orang-orang beriman meminta turunnya surat karena kerinduan untuk mendengarkan firman Sang Maha Agung dan Makakuasa.

Cinta Rasulullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman seorang di antara kamu hingga aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya dan manusia secara keseluruhan,” (HR. Al-Bukhari 15 dan Muslim 44, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Cinta itu menjadi mulia karena sesuatu yang dicinta. Cinta Rasulullah jauh lebih mulia dari cinta pada hamba-hamba Allah yang lain dan dia merupakan sarana pengantar untuk mencintai yang dicinta. Semakin kuat ketergantungan pada Sang Habib maka akan semakin kuat pula cinta orang-orang yang mencinta padanya dan orang-orang yang terikat cinta dengannya. Semakin kuat penisbatan maka akan semakin kuat pula mahabbah. Oleh sebab itulah, kita mencintai orang-orang Muhajirin dan Anshar, orang-orang saleh dan bijak bestari. Kita cinta Ali dan Hasan dan selainnya dari orang-orang yang mendapat perlindungan Allah. Dan urutan cinta mereka adalah urutan kedudukan mereka di sisi Allah, dalam kedekatan dan cinta-Nya.

Cinta Syahid di Jalan Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku benar-benar ingin berperang di jalan Allah kemudian aku terbunuh, kemudian aku berperang lagi dan terbunuh.” (HR. Muslim 1876 dan Al-Bukhari 2797, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Terbunuh di jalan Allah merupakan sebab yang paling utama untuk menggapai ridha Allah, sebab kemuliaan pengorbanan itu sangat tergantung pada apa yang dikorbankan. Dan nyawa adalah seutama-utama pengorbanan. Maka barangsiapa yang mengorbankan ruhnya sesungguhnya telah mengurbankan sesuatu yang paling berharga pada dirinya. Andaikan pada seorang pencinta ada pada dirinya seluruh ruh di dunia, pastilah dia akan menyerahkannya kepada Allah, dan akan dia korbankan demi untuk taqarrub kepada Allah.

Mencintai Kesucian

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (At-Taubah: 107).

Jika orang-orang yang bersuci dari najis dan hadats mencintai Tuhannya, maka bagaimana bayanganmu tentang orang-orang yang mensucikan diri dari dosa dan kotoran batin.

Mencintai Orang-orang Muhajirin dan Anshar

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka,” (Al-Hasyr: 9).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara tanda-tanda keimanan adalah mencintai orang-orang Anshar”, (HR. Al-Bukhari 17 dan Muslim 74 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Mencintai Ali dan Hasan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Tidaklah mencintaimu kecuali seorang yang beriman.” (HR. Muslim dari Ali).

Rasulullah bersabda mengenai Hasan, “Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia dan cintailah semua orang yang mencintainya.” (HR. Al-Bukhari 5884 dan Muslim 2421 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Mencintai Wali-wali Allah dan Orang-orang Mukmin

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Maryam: 67).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin itu dalam saling cinta dan kasih sayang mereka laksana raga jika salah satunya sakit maka semuanya akan tidak nyenyak tidur dan akan meriang.” (HR. Muslim: 2586 dan Al-Bukhari 6011 radhiyallahu ‘anhu).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seorang lelaki yang mencintai sebuah kaum dan dia tidak bertemu dengan mereka.

Maka Rasulullah bersabda, “Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dia cintai.” (HR. Al-Bukhari 6168, Muslim 2640 dari Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu).(*)

***

_____________________________

Sumber: Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Syajaratul Ma’arif: Tangga Menuju Ihsan, penj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.