Budaya dan Identitas: Penelusuran Asal-usul Gelar 'Kyai Haji' di Tanah Air

 
Budaya dan Identitas: Penelusuran Asal-usul Gelar 'Kyai Haji' di Tanah Air
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID Jakarta – Kyai dapat diartikan sebagai seseorang atau benda yang sangat dihormati dan disakralkan. Kyai bagi pemahaman Jawa adalah sebutan untuk "yang dituakan ataupun dihormati" baik berupa orang, ataupun barang. Selain Kyai, bisa juga digunakan sebutan Nyai untuk yang perempuan. Kiai bisa digunakan untuk menyebut ulama atau tokoh.

Baca Juga: Dawuh Kiai Haji Salahuddin Wahid (1)

Sedangkan di Indonesia, gelar "Haji" menjadi simbol status sosial seseorang yang telah menunaikan ibadah haji. Meskipun pada masa penjajahan Belanda, pemerintah sempat mencoba melarang pemakaian gelar tersebut, namun para haji dengan mudah tetap menggunakan gelar tersebut. Ini mungkin disebabkan oleh status ekonomi mereka yang mampu melakukan ibadah haji serta pengetahuan agama yang memadai.

Terdapat sebuah pendapat yang mengklaim bahwa, gelar "Haji" di Indonesia adalah warisan dari kolonialisme, karena pemerintah kolonial Belanda menggunakannya sebagai "biang kerok" pada para jamaah haji Indonesia. Para jamaah haji Indonesia biasanya "berulah" usai pulang dari Makkah, dan mengakibatkan pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordonansi Haji pada tahun 1916, yang memerintahkan setiap orang Indonesia yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar "Haji" atau "Hajjah" di depan nama mereka.

Menurut penelitian yang dikutip oleh Karel A. Steenbrink dari buku "History of Java" karya Raffles, terdapat dua aspek negatif yang sering terkait dengan peran para haji pada abad-19. Pertama, masyarakat cenderung memberikan citra yang sangat istimewa dan suci pada mereka, sehingga seringkali dianggap memiliki kekuatan gaib oleh orang-orang sekitar.

Kedua, hal ini juga memiliki implikasi politik, di mana persepsi tersebut seringkali memberi mereka pengaruh politik yang signifikan, bahkan memungkinkan peran mereka sebagai pemimpin dalam upaya pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Eropa.

Baca juga: Dawuh Kiai Haji Salahuddin Wahid (2)
Dalam budaya Islam Nusantara di Asia Tenggara, gelar "Haji" adalah sebuah gelar homonim yang memiliki dua etimologi yang berbeda. Secara umum, gelar ini digunakan untuk mengidentifikasi seseorang yang telah menunaikan ibadah haji.

Sebuah naskah kuno dari Banten-Cirebon mengungkapkan informasi menarik mengenai asal-usul gelar "Haji" ini. Menurut naskah sejarah Wali Songo yang dikutip dari riwayat Sultan Maulana Hasanuddin Banten, ditemukan seorang individu bernama Kiyahi Haji Nusia, atau dalam beberapa naskah disebut Nursia.

Naskah ini menyebutkan, "awasta Kiyahi Haji Nusia lan Kiyahi Syamsu." Hal ini menunjukkan bahwa pada masa Wali Songo, sebutan "Kyai Haji" sudah dikenal dan merujuk kepada seorang guru yang telah menunaikan ibadah haji ke Makkah. Di naskah tersebut juga disebutkan sebutan "Kyai Syekh".

Namun, menariknya, tokoh seperti Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dan putranya, Maulana Hasanuddin, yang juga diketahui telah menunaikan ibadah haji ke Makkah, tidak diberi gelar "Kyai Haji" dalam naskah.

Informasi yang ditemukan dari naskah ini memberikan bukti bahwa penggunaan gelar "haji" bagi seseorang yang telah menunaikan rukun Islam kelima tidaklah berasal dari pengaruh Kompeni Belanda, tetapi merupakan bagian dari warisan budaya Islam Nusantara yang sudah ada sejak masa Wali Songo pada pertengahan abad ke-16 M. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 9 Juni 2021 . Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Sumber:

1. Istikomah. PELAKSANAAN IBADAH HAJI ABAD KE 19 DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERLAWANAN RAKYAT KEPADA KOLONIALISME BELANDA. IAIN Syekh Nurjati Cirebon
---------
Penulis: Nasirudin Latif

Editor: Muhammad Iqbal Rabbani