KH. Hasyim Asy'ari "Iri" Pada Guru TPQ

 
KH. Hasyim Asy'ari
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Suatu hari, tiba-tiba KH. Hasyim ngendikan kepada Kiyai Nawawi. “Aku ingin bertemu Kiyai Salam,” kata pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari.

Dengan penuh takdhim, Kiyai Nawawi pun mengantarkan beliau ke salah seorang kiyai kampung yang bernama Kiyai Salam. Kiyai tersebut bernama lengkap KH. Abdussalam, ayahanda dari KH. Abdullah Salam dan kakek dari KH. Sahal Mahfudh.

Sesampai di kediaman Kiyai Salam, didapatilah Kiyai Salam sedang mengajar anak-anak kecil mengaji. Saat itu KH. Hasyim Asy'ari serta-merta menahan langkah, menyembunyikan diri dari pandangan Kiyai Salam, dan menunggu sampai selesai dalam mengajar.

Setelah anak-anak kecil itu menyelesaikan ngajinya, barulah Kiyai Hasyim mengucap salam, yang lantas disambut dengan suka-cita luar biasa oleh Kiyai Salam. Beliau berdua berbincang dengan akrab untuk beberapa saat. Tampak sekali kecintaan dan ketulusan kedua tokoh tersebut. 

Setelah selesai berbincang-bincang, lalu Kyai Hasyim meninggalkan kediaman Kiyai Salam. Dalam perjalanan, Kiyai Hasyim tampak memikirkan sesuatu dan tertunduk sedih. Air mata beliau mulai mengambang.

“Ada apa Kyai?” tanya Kiyai Nawawi merasa heran.

Kiyai Hasyim mengendalikan air matanya, menghela napas dalam-dalam dan berkata, “Aku punya cita-cita sudah sejak sangat lama, tapi sampai sekarang belum mampu melaksanakan. Kiyai Salam malah sudah istiqomah. Aku iri.” 

“Cita-cita apa, Kiyai?” tanya Kiyai Nawawi hati-hati.

“Ta’limush shibyaan (mengajar anak-anak kecil),” jawab Kiyai Hasyim lirih.

Masya Allah! Jadi teringat pengalaman seorang Alumni Santri Tambak Beras saat sowan kepada KH. M. Jamaluddin Ahmad dalam sebuah kesempatan. Hampir mirip kisah di atas.

“Sekarang kegiatan sampean apa?” tanya Kiyai Jamal kepada santri alumni yang sedang sowan kepada beliau.

“Bisnis kiyai, saya buka konter HP,” ungkap sang santri sambil menunduk.

Rumiyin kulo mulang TPQ, tapi naliko sampun buka konter, kulo prei mboten mulang dateng TPQ maleh (Dulu saya ngajar TPQ, tapi semenjak saya buka usaha konter, saya sudah tidak datang mengajar lagi),” lanjutnya.

Saat itu Kiyai Jamal diam sejenak. Dengan agak berat, kemudian beliau mengingatkan bahwa mengajar di TPQ adalah khidmat terbaik dalam hidup.

“Kamu mengajarkan anak TPQ bacaan Basmalah dan Al-Fatihah, maka pahala yang kamu terima akan terus mengalir. Ketika santri TPQ yang kamu didik membaca Basmalah saat hendak makan, belajar dan kegiatan apapun, maka kamu juga akan memperoleh pahalanya. Belum lagi saat santri TPQ itu bisa membaca Al-Fatihah dari shalat yang dikerjakan, berapa pahala yang kamu terima dari mengajarkan surat Al-Fatihah tersebut? Hidup itu jangan hanya memburu gengsi, apalagi kalian adalah santri Tambak Beras," kata beliau sambil menatap beberapa santri yang juga sedang sowan.

***

Menjadi ustadz atau ustadzah di TPQ mungkin dianggap sebagai "profesi" yang tidak menjanjikan. Bahkan kalah mentereng dengan jabatan lain yang bergelimang uang maupun prestise. Dan sering kali kegiatan mengajar ngaji itu dipandang sebelah mata.

Tapi dari kisah-kisah di atas, kita menjadi tahu dan paham sekelas KH. Hasyim Asy'ari saja begitu iri kepada seorang kiyai kampung yang mengajari anak-anak kecil membaca Al-Qur'an, sebagaimana layaknya para guru TPQ. Beliau sesenggukan berlinang air mata lantaran belum bisa seperti Kiyai Salam yang istiqomah mengajarkan Al-Qur'an sebagaimana juga para ustadz dan ustadzah TPQ. Bagaimana dengan kita? []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 10 Juni 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Penulis: Amin Hasan

Editor: Hakim