Menelusuri Perjalanan Hidup Ibn Sina: Dari Anak Cerdas Hingga Ilmuwan Besar

 
Menelusuri Perjalanan Hidup Ibn Sina: Dari Anak Cerdas Hingga Ilmuwan Besar
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Terlahir dalam keluarga Muslim Syi’ah pada masa keemasan Islam Persia, Ibn Sina tumbuh menjadi anak yang cerdas dan gemar membaca beragam buku tentang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan. Minat alaminya pada pengetahuan membentuknya sebagai ilmuwan dan filsuf multi-disiplin yang menggabungkan berbagai bidang ilmu.

Ibn Sina (980-1037 M) terkenal dengan panggilan Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia. Ia juga seorang penulis yang produktif di mana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan.

Bagi banyak orang, ia adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran.

Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun Fi At-Thib atau Canon of Medicine yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Nama lengkapnya adalah Abū ‘Alī Al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (Persia ابوعلى سينا Abu Ali Sina atau dalam tulisan Arab: أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا).

Ibnu Sina lahir tahun 980 Masehi di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (yang kala itu masuk kawasan administratif Persia). Beliau meninggal pada Juni 1037 Masehi di Hamadan, Persia (Iran). Ia pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran.

Pada jaman ia hidup, ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Teks Yunani dari jaman Plato, sesudahnya hingga jaman Aristoteles secara intensif banyak diterjemahkan dan dikembangkan lebih maju oleh para ilmuwan Islam.

Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi. Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi matematika, astronomi, aljabar, trigonometri, dan ilmu pengobatan.

Pada jaman Dinasti Samayid di bagian timur Persia wilayah Khurasan dan Dinasti Buyid di bagian barat Iran memberi suasana yang mendukung bagi perkembangan keilmuan dan budaya. Di jaman Dinasti Samaniyah, Bukhara dan Baghdad menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahuan dunia Islam.

Ilmu-ilmu lain seperti studi tentang Al-Qur’an dan Hadist berkembang dengan suasana perkembangan ilmiah. Ilmu lainya seperti ilmu filsafat, Ilmu Fikih dan Ilmu Kalam sangat berkembang dengan pesat. Pada masa itu Ar-Razi dan Al-Farabi menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu pengobatan dan filsafat.

Pada masa itu pula Ibnu Sina memiliki akses untuk belajar di perpustakaan besar di wilayah Balkh, Khwarezmia, Gorgan, Kota Ray, Kota Isfahan dan Hamedan.

Selain fasilitas perpustakaan besar yang memiliki banyak koleksi buku, pada masa itu hidup pula beberapa ilmuwan muslim seperti Abu Raihan Al-Biruni seorang astronom terkenal, Aruzi Samarqandi, Abu Nashr Mansur seorang matematikawan terkenal, Abu Al-Khayr Khammar seorang fisikawan dan ilmuwan terkenal lainnya.

Dalam konteks ini, Syeikh Ar-Rais Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina (Avicenna), sudah terbiasa dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya menonjol, sehingga salah seorang gurunya menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.

Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran.

Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara, yaitu Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 Hijriyah ketika jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk segera merawat dan mengobatinya.

Berkat hal itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar.

Mengenai perpustakan itu Ibnu Sina mengatakan:

“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.”

Meskipun Ibnu Sina memiliki banyak kesibukan di dunia politik, baik sebagai penasihat di istana Raja Mansur dari Dinasti Samanid maupun sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami, kemudian ia juga terlibat dalam konflik politik yang berkecamuk pada masa itu, hal tersebut tidak mengurangi dedikasinya dalam aktivitas keilmuannya. Ibnu Sina tetap menguasai dan mengeksplorasi berbagai cabang ilmu seperti hikmah, logika, dan matematika.

Bahkan, meskipun menghadapi berbagai tantangan seperti perjalanan panjang ke berbagai tempat di dunia, serta penahanannya dalam penjara Tajul Mulk oleh penguasa Hamedan, Ibn Sina tetap produktif dalam menciptakan karya ilmiah.

Ini menunjukkan bahwa ketertarikannya pada pengetahuan dan dedikasinya terhadap ilmu pengetahuan tidak terganggu oleh keterlibatannya dalam urusan politik atau kendala-kendala pribadi yang dihadapinya.

Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang diberi nama kitab Al-Syifa’.

Namun ketika harus bepergian, ia menulis buku-buku kecil yang disebut dengan Risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya dengan metode yang indah.

Diantara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, yaitu kitab Al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran kemudian dikenal sepanjang masa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq (logika), matematika, ilmu alam dan ilahiyyat.

Mantiq Al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq Islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab Al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.

Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaidah-kaidah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 Masehi.

Keluarga dan Pendidikan Ibnu Sina

Ibn Sina tumbuh di dalam keluarga kaya dan terpandang karena ayahnya menjadi wali di Afsyanat sebelum kemudian hijrah ke Bukhara. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga penganut Islam Syi’ah yang intelektual. Ayah dan saudara-saudaranya dikenal sebagai Muslim Syi’ah. Ia juga hidup di dalam sebuah lingkungan bilingual (dua bahasa). Bahasa ibu-nya adalah bahasa Persia sedang bahasa pendidikannya adalah bahasa Arab.

Di Bukhara, Ibn Sina mulai menerima pendidikan. Oleh ayahnya, ia diberikan pelajaran privat dengan memanggil seorang tutor (pengajar khusus yang dibayar oleh keluarga-keluarga bangsawan) ke rumahnya. Tampaknya pendidikan yang disediakan untuk Ibnu Sina oleh ayahnya berskala sangat luas, mencakup kajian keagamaan Islam dan mata kajian sekuler dari Arab, Yunani, dan tradisi India.

Beliau memulai pendidikannya dengan belajar menghafal Al-Qur’an dan sastra dan bahasa Arab, termasuk dasar-dasar keagamaan lainnya seperti fiqih. Beliau mempelajari fiqh kepada Abu Muhammad Isma’îl ibn Al-Husainî Al-Zâhid. Diperkirakan, Ibnu Sina telah merampungkan pelajaran bahasa, sastra dan dasar-dasar keagamaan sebelum usia sepuluh tahun.

Selanjutnya, ia mempelajari ilmu-ilmu ‘aqliyat kepada teman ayahnya yang Ahli filsafat yaitu ‘Ali Abu Abd-Allâh Al-Natilî. Melalui Al-Natilî, awalnya Ibn Sina berkenalan dengan logika, geometri, dan astronomi, serta filsafat Yunani.

Dalam beberapa tahun berikutnya ia telah mempelajari logika Aristoteles melalui Organon, geometri-nya Euclid dengan mengkaji Elements, dan juga astronomi tidak terkecuali kosmologi Ptolomy dari Almagest, dan segera bisa melampaui pengetahuan gurunya di dalam ilmu-ilmu tersebut.

Sejak usia 14 atau 15 tahun Ibnu Sina meneruskan pendidikannya secara otodidak. Ia membaca teks dan uraian di dalam ilmu-ilmu alam, metafisika, dan ilmu kedokteran. Ia mempelajari kedokteran sampai mahir sehingga suatu ketika pada usia 16 tahun ia telah mampu mengajar dan mempraktikkannya.

Dalam satu setengah tahun kemudian, sampai usia enam belas tahun, ia melengkapi pengetahuannya dengan mereview dan menguasai seluruh cabang filsafat: logika, matematika, ilmu-ilmu alam (fisika), dan metafisika.

Pada usia 16 tahun ini, Ibn Sina telah secara aktif terlibat di dalam seminar-seminar resmi dan seminar-seminar kedokteran, di mana para dokter (tabib) pada masanya datang kepadanya dan memintanya memberi penjelasan.

Ibnu Sina mengalami kesulitan dalam memahami metafisika Aristoteles sebelum membaca uraian Al-Farabi yang menjelaskan topik tersebut. Meskipun telah membaca metafisika Aristoteles sebanyak empat puluh kali tanpa memahaminya, Ibnu Sina akhirnya mengerti maksudnya setelah membaca tulisan Al-Farabi. Setelah memahami buku tersebut, Ibnu Sina tidak hanya siap memahami metafisika Aristoteles, tetapi juga memberikan kontribusi yang mendalam dan berbeda dalam mendefinisikannya.

Ketika usia Ibn Sina mencapai 21 tahun, ayahnya meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya dan di tengah kondisi kehancuran Daulah Samaniyah, Ibn Sina meninggalkan Bukhara menuju kota Kurkanj di Khawarizm. Di sana, ia disambut oleh wazir Abu Al-Husein Al-Sahlî di istananya yang menyenangi filsafat serta orang yang mencurahkan pemikirannya untuk filsafat.

Ibn Sina kemudian diperkenalkan kepada Amir ‘Ali bin Ma´mûn, penguasa Kurkanj di bawah khalifah Ma´mûn bin Ma´mûn, yang memperkenankannya tinggal di istananya.

Di istana Amir Ali inilah, Ibn Sina tinggal selama sepuluh tahun sampai 1012 M/402 H. Di Kurkanj ini pula, Ibn Sina menunjukkan keterlibatannya pada kelompok ilmiah bersama dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Al-Birûnî (362-448 Hijriah), Abû Sahl Al-Masîhî (wafat 401 Hijriah), Ahli fisika Abî Al-Khair Ibn Al-Hasan Ibn Al-Khammâr, dan ahli matematika Abi Nasr Ibn Al-’Arrâq. yang juga sama-sama berada di istana.

Pada masa tersebut, bintang Sultan Mahmûd Ghaznâwî di Ghazna sedang bersinar cemerlang. Sultan Mahmûd menginginkan sinar kemenangannya semakin meluas. Ia ingin agar istananya menjadi yang paling agung.

Karena alasan itu ia kemudian menarik para ulama, filsuf, penyair, dan ahli hikmah ke istananya dengan segala cara. Ketika ia mendengar kelompok Kurkanj, Sultan Mahmûd berkirim surat pada sultan Ma´mûn, yang dibawa utusannya dan berisi permintaan agar mengirimkan seluruh tokoh tersebut ke istananya.

Sesampainya utusan Sultan Mahmûd sampai di Khawarizm, Amir menunjukkan surat kepada para ulama yang namanya tercantum di dalam surat tersebut. Sementara tiga orang (Al-Birûni, Al-’Arrâq, dan Khammâr) menyatakan ketertarikannya dan akhirnya berangkat ke Ghazna, Ibnu Sina dan Al-Masîhî dengan bantuan Ma´mûn memilih melarikan diri ke selatan.

Al-Masîhî tewas di dalam perjalanan di dalam sebuah badai di gurun pasir. Sementara Ibnu Sina dengan susah payah bisa tiba di Baward, lalu menuju Thus dan Naishapur. Akhirnya, ia sampai ke Jurjan yang ketika itu dikuasai oleh Syams Al-Ma’âli Qabûs bin Wasymâkir yang menyambutnya dengan baik. Kejadian ini berlangsung masih di tahun 402 Hijriah (1012 Masehi).

Sejak itu Ibn Sina tinggal di Jurjan dan di sana – dalam usia tiga puluh dua tahun – ia bertemu dengan Abd Al-Wâhid Abu ‘Ubaid Al-Juzjâni yang kemudian menjadi murid, mendampingi perjalanan selanjutnya dan sekaligus menuliskan napak tilas kehidupannya.

Di sana ia juga bertemu dengan Abû Muhammad Al-Syirâzi yang menyediakan satu rumah bagi Ibnu Sina, di samping rumahnya sendiri, yang digunakan sebagai pusat pengajaran. Di mana kemudian ia menulis karangan untuk Al-Syirâzi berjudul Kitâb Al-Irsyâd Al-Kulliyat dan Al-Mabda’ wa Al-Ma’âd. Di Jurjan juga, pada tahun 402 Hijriah (1012 Masehi), Ibnu Sina memulai penulisan naskah besar kedokteran karangannya, Al-Qânûn fi Al-Thibb (Canon of Medicine).

Ketika Sultan Qabus terbunuh dan keadaan politik di Jurjan bergolak, Ibn Sina – dengan diiringi oleh Al-Juzjâni – berturut-turut pindah ke Ray, Quzwain, kemudian ke Hamadan (semua kota tersebut masuk kawasan Iran).

Di Rayy, kota terkaya di Persia (kini Iran) utara masa itu, Ibn Sina mengobati pangeran yang terserang melankolia dan depresi, Majd Al-Dawlat (387-420 Hijriah) di istana kerajaan. Majd Al-Dawlat adalah penguasa Buwaihi yang sangat lemah di dalam memerintah. Di dalam menjalankan roda pemerintahan ia “diatur” oleh ibunya, Ratu Dawâjir.

Ketika Sultan Mahmûd Ghaznâwi mengirimkan surat tantangan, Ratu Dawâjir masih dapat membalasnya melalui sebuah surat balasan. Tetapi ketika ibunya meninggal di tahun 1028 Masehi, Majd Al-Dawlat tidak lagi mampu mengontrol tentaranya dan bahkan mengundang Mahmûd Ghaznâwi, yang kemudian justru menjadikannya tawanan. Dalam kondisi demikian, Ibn Sina tidak menunggu lama lebih lagi, kemudian ia melarikan diri ke Quzwain.

Dari Quzwain inilah kemudian Ibnu Sina pindah ke Hamadan. Di Hamadan, ia dipanggil untuk mengobati penyakit kolik yang diderita Amir Syams Al-Dawlat (387-412 Hijriah), kepala pemerintahan dari dinasti Buwaihi saudaranya Majd Al-Dawlat.

Di sana ia tinggal 40 hari untuk mengobati Amir sampai sang Amir sembuh dari sakitnya. Ia tiba di sana di akhir tahun 405 Hijriah (1015 Masehi). Karena kesembuhannya, Ibnu Sina sangat dihormati sang Amir. Sampai-sampai Ibnu Sina diberi kehormatan menjadi “menteri pertama” dan salah satu sahabatnya. Jabatan menteri tersebut dipegang oleh Ibnu Sina tidak kurang dari lima tahun.

Sikap Adil Ibnu Sina

Tampaknya Ibnu Sina bersikap sangat tegas di dalam menyikapi tentara dan pegawai yang korup. Angkatan bersenjata kemudian melakukan demonstrasi ke rumahnya, memfitnah lalu menahan dan menangkapnya. Ia ditangkap dan diminta kepada Amir agar dijatuhi hukuman mati.

Amir menolak tuntutan mereka, tetapi untuk memuaskan tuntutan mereka, Amir akhirnya memperlakukan hukuman buang. Ibnu Sina terpaksa bersembunyi di rumah Abî Sa’îd bin Dakhduk selama 40 hari. Tak lama setelah itu, Amir Syams Al-Dawlat sakit kembali, dan Ibnu Sina kembali diminta mengobati. Amir kemudian mengembalikan Ibnu Sina menjadi menterinya lagi.

Di saat Syam Al-Dawlah meningal dunia dan Samâ’ Al-Dawlat (memerintah 412-414 Hijriah) menggantikan ayahnya serta memilih Tâj Al-Mulk menjadi Wazir, Ibn Sina menulis surat permintaan suaka politik kepada Alâ’ Al-Dawlat, Amir kota Isfahan yang terkenal indah.

Kejadian tersebut diketahui oleh Tâj Al-Mulk, yang menyebabkannya ditangkap dan ditahan di benteng Fardajan di wilayah Jarrah sekitar 55 mil di luar kota Hamadan. Ketika itu, harapan untuk keluar dari penjara tampaknya dipandangnya sangat tipis, sampai ia menulis syair:

“Aku masuk dengan pasti sebagaimana telah engkau saksikan, sementara ketidak-pastian menyertai dalam hal kapan keluar.”

Namun, di benteng tersebut, ia justru berhasil menyelesaikan penulisan kitab Al-Hidâyat, dan kisah allegoriknya Hayy Ibn Yaqzân.

Ketika kemudian terjadi peperangan antara Samâ’ Al-Dawlat Amir Hamadan dengan Alâ’ Al-Dawlat sang Amir Isfahan, Ibnu Sina kemudian dilepas oleh Alâ’ Al-Dawlat setelah ia terpenjara selama empat bulan lamanya.

Sekeluarnya Ibnu Sina dari penjara. Ia kemudian minta perlindungan ke Isfahan. Di sana, ia disambut dengan hangat. Ibnu Sina tinggal di Isfahan selama tiga belas tahun. Di Isfahan, Ibnu Sina hidup terhormat. Ia hadir di majlis Amir pada setiap malam Jum’at, bertukar pikiran dengan para ulama di hadapan Amir, bahkan menemani Amir ke medan-medan peperangan.

Dalam suatu peperangan menemani Alâ’ al-Dawlat ini, Ibnu Sina terserang penyakit kolik sampai ususnya luka. Penyakit yang menyerangnya tersebut tampaknya parah. Dalam satu hari, Ibnu Sina mengalami nyeri perut sampai delapan kali, sehingga ketika penyakitnya bertambah parah, ia terpaksa kembali ke Isfahan untuk menyembuhkan dirinya.

Tak lama kemudian, ia sudah kembali lagi menemani Alâ’ al-Dawlat. Hanya saja ia tidak memelihara diri dan bahkan banyak membahayakan dirinya sampai penyakitnya kambuh kembali dan ia jatuh tersungkur, walaupun akhirnya berhasil sembuh.

Di dalam perjalanannya menemani Amir ke Hamadan, penyakitnya kambuh di jalan. Ia akhirnya menganggap pengobatan tak akan mampu lagi menyembuhkan penyakitnya. Ia kemudian menghentikan pengobatan dan berpasrah pada takdir. Ia berkata:

“Sesuatu yang mengatur badanku kini tidak lagi dapat mengaturku. Sekarang tak ada gunanya lagi pengobatan.”

Ibnu Sina kemudian mandi, bertaubat, menyedekahkan miliknya, dan memerdekakan budak-budaknya. Ia kemudian meninggal tahun 428 Hijriah (1037 Masehi) dan dimakamkan di Hamadan.

Kesimpulan

Apabila kita cermati, maka perjalanan hidup Ibnu Sina dari segi produktivitas keilmuannya, dapat dibagi menjadi dua fase: Fase pembentukan (Al-Tahsîl) dan fase produktif (Al-Intâj Al-’Ilmî). Fase pertama, yaitu fase belajarnya dimulai usia lima tahun sampai sepuluh tahun belajar dasar-dasar Al-Qur’an, ilmu-ilmu agama, serta ilmu perbintangan, serta masa-masa belajar sesudahnya. Pada masa ini, Ibnu Sina mengalami masa yang lebih didominasi oleh masa belajarnya yang lebih banyak melakukan penyerapan, di mana aktivitas Ibn Sina lebih banyak reseptif dan retentif.

Sedangkan fase kedua, yaitu fase produktif yang dimulai pada usia dua puluh satu tahun, Ibn Sina mulai melakukan aktivitas produktif. Setelah masa tersebut, ia secara aktif menghasilkan karya-karya secara produktif dan sintetis. Menyumbangkan teori dan khazanah yang gemilang bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 19 Juli 2021 . Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Sumber:

1. Dirangkum dari ragam sumber dari pihak Iran dan Barat

---------

Penulis: Daniel Simatupang

Editor: Muhammad Iqbal Rabbani