Bedanya Santri Dulu dan Sekarang

 
Bedanya Santri Dulu dan Sekarang
Sumber Gambar: Ilustrasi Santri Mengaji (Foto: Dok. Pemkot Tangerang)

Laduni.ID, Jakarta- Santri dulu sangat sederhana dalam mencari ilmu. Hanya cukup ngaji langgaran (Surau, red). Tidak seperti sekarang, ada yang sekolah, jam belajar dan musyawarah. Hanya saja, santri dulu kemauan mendapat barakahnya sangat besar. Saya masih nututi (giat) ketika Kiai Cholil (KH. Cholil Nawawie, red.) mengimami di masjid, ketika beliau mau masuk ke masjid, santri rebutan untuk membalik sandal beliau. Dulu, terhadap guru sangat takdim, sampai-sampai dalam masalah nyapu, santri dulu selalu rebutan. Bahkan ada yang sampai menyembunyikan sapunya. Takut ada yang mendahului.

Seandainya santri sekarang seperti santri dulu, ditambah ada gerak batin dan sekolah, maka akan lebih hebat dari santri dulu. Santri sekarang itu kurang tirakat, tidak terlalu merasakan barakah. Dulu, syubhat saja tidak mau, apalagi haram. Kalau sekarang, jangankan syubhat, haram saja dimakan. Walaupun ngajinya hanya Sullam Safînah di pondok, tapi ketika pulang bisa ngajar Fathul-Wahhâb. Salah satu caranya dengan takdim pada ilmu. Santri dulu itu sangat mengagungkan ilmu. Kalau muthalaah harus wudlu dulu, walau hanya untuk pegang kitab. Mereka tidak mau ngaji tanpa punya wudlu.

Dulu, ketika Sidogiri mau membuka madrasah, masih terjadi perdebatan. Kiai Abdul Adzim sangat tidak setuju dengan madrasah. Yang ditakuti beliau adalah, nanti kalau menulis lafadz basmalah di papan tulis, lalu dihapus, bagaimana remah-remah kapur tulis yang berjatuhan itu? Takut kena injak. Khawatir remah-remah kapur itu bekas menulis lafadz basmalah.

Beliau, bahkan sampai keliling ke madrasah, sambil membawa kardus. Kalau ada kertas bertulis Arab, dipunguti, ditaruh ke kotak lalu dibakar. Sekarang banyak kertas yang bertuliskan lafadz Allah, malah tidak diindahkan. Diinjak-injak. Makanya dulu Kiai Abdul Adzim sangat berat membuka madrasah. Coba niru santri dulu kalau ingin dapat ilmu barakah. Santri sekarang ini kurang takdim pada ilmu. Misalnya, tidak memegang kitab kalau tidak punya wudlu, sekalipun itu bukan al-Quran, padahal itu salah satu yang membuat ilmu barakah. Menaruh kitab di tempat yang tinggi, itu juga termasuk mengangungkan ilmu. Jangan menaruh kitab sejajar dengan kaki. Kalau membawa kitab itu, kira-kira harus berada di atas pusar. Yang ada, kadang di atas kitab malah ditaruhi songkok. Kalau begitu bagaimana mau mendapat ilmu barakah. Santri dulu tidak berani menaruh sesuatu di atas kitab. Kurang takdim pada kitab, ilmu, guru, itu yang menyebabkan ilmu tidak barakah.

Bagaimana cerita Syaikhona Cholil Bangkalan dulu ketika mengaji ke Sidogiri. Beliau tidak berani diam di Sidogiri, takut cangkolang (kurang sopan, red.) pada guru. Ngajinya ke Sidogiri, tapi diam di Winongan. Padahal dari sini ke Winongan itu sekitar 17 kilometer. Itu ditempuh dengan berjalan kaki. Berangkat baca Yasin, sampai di Sidogiri hatam Yasin 41 kali. Pulangnya demikian juga, baca Yasin sampai 41 kali. Bagaimana tidak mendapat ilmu manfaat dan barakah kalau demikian. Sekarang, muthalaah kadang kitabnya diileri dan dibuat bantal. Sulit dapat ilmu barakah kalau begitu.

Takdimlah pada kitab. Tidak berani duduk di atas bangku. Karena menjadi tempat kitab, walaupun tidak ada kitabnya. Tapi kalau waktu sekolah, kan, jadi tempat kitab. Itu juga termasuk takdim ke ilmu. Kalau takdim ke ilmu, InsyaAllah ilmunya barakah. Bagaimana caranya agar santri sekarang itu takdim pada ilmu. Termasuk kalau mau belajar dan pegang kitab, harus punya wudlu. Al-muhâfadhah alal-qadîmush-shâlih, wal-akhdzu bil-jadîdil-ashlah. Tetap mempertahankan cara lama yang baik dan menambah cara baru yang lebih baik.

Oleh :  KH.A. Fuad Noerhasan. Pengasuh PP Sidogiri. Sumber tulisan: IG @omahsantri.id
Editor : Ali Ramadhan