Hukum Menimbun Barang

 
Hukum Menimbun Barang
Sumber Gambar: ANTARA - Galih Pradipta

Laduni.ID, Jakarta – Selama dua tahun terakhir, tepatnya saat pandemi menyerang Indonesia, banyak sekali pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan momen seperti itu untuk meraup keuntungan demi diri sendiri. Salah satu yang dilakukan mereka adalah dengan melakukan penimbunan barang.

Satu tahun lalu, masyarakat digemparkan dengan adanya oknum yang sengaja menimbun masker, sehingga menyebabkan jumlah masker yang tersebar lebih sedikit ketimbang permintaan yang menyebabkan kenaikan harga pasar. Hal itu sesuai dengan hukum pasar, ketika suatu barang yang beredar di pasar lebih sedikit ketimbang permintaan maka otomatis akan terjadi kenaikan harga. Berbeda ketika barang tersebut sesuai permintaan konsumen.

Sebagaimana dilansir dari NU Online Jatim, para ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa siapapun yang menimbun (ihtikar) barang (baik bahan pokok, masker, dan obat-obatan) maka hukumnya adalah dilarang (haram).

Adapun rincian dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

Ulama Hanafiyah

Ibnu ‘Abidin dalam karyanya Raddul Muhtar

Az-Zailia’iy dalam karyanya Tabyinul Haqaiq

Ulama Malikiyah

Kitab al-Muntaqa ‘alal Muwattha

Al-Gharnathiy dalam karyanya Al-Qawanin al-Fiqhiyah

Ulama Syafi’iyah

Al-Khathib al-Syirbiniy dalam karyanya Mughnil Muhtaj

As-Syiraziy dalam karyanya Al-Muhaddzab

Kitab al-Majmu’ an-Nawawiy

Zainuddin al-Malibbariy dalam Fathul Mu’in

kitab I’anatut Thalibin karya Muhammad Syatha ad-Dimyathiy

Ulama Hanabilah

Ibnu Qudamah dalam karyanya Al-Mughni

Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh para ulama adalah sebagai berikut:

Hadits yang diriwayatkan melalui Umar r.a:

الجالب مرزوق والمحتكر ملعون

Artinya: “Orang yang mendatangkan (makanan) akan dilimpahkan rezekinya, sementara penimbun akan dilaknat.”

Hadits yang diriwayatkan melalui Mu’ammar al-‘Adwiy:

لا يحتكر الا خاطئ

Artinya: “Tidak akan menimbun barang, kecuali orang yang berbuat salah.”

Hadits yang diriwayatkan melalui Ibn Umar:

من احتكر طعاماً أربعين ليلة، فقد برئ من الله ، وبرئ الله منه

Artinya: “Siapa menimbun makanan selama 40 malam, maka ia tidak menghiraukan Allah, dan Allah tidak menghiraukannya.”

Hadits yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah:

مَنْ احْتَكَرَ حُكْرَةً يُرِيدُ أَنْ يُغْلِيَ بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ خَاطِئٌ

Artinya: “Siapa menimbun barang dengan tujuan agar bisa lebih mahal jika dijual kepada umat Islam, maka dia telah berbuat salah.”

Hadits Riwayat Ibnu Majah, dan sanadnya hasan menurut Al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah:

من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالجذام والإفلاس” رواه ابن ماجة وإسناده حسن

Artinya: “Siapa yang suka menimbun makanan orang-orang Islam, maka Allah akan mengutuknya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan. (HR Ibnu Majah, sanad hadit ini hasan).”

Para ulama sepakat bahwa alasan diharamkannya menimbun barang karena adanya kesengsaraan, yang pada praktiknya selalu menyengsarakan orang lain, selalu ada pihak yang dirugikan. Hal tersebut tentunya tidak sejalan dengan tujuan syariat islam yang mendatangkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi semua pihak, serta membuang kemudharatan.

Namun, masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai barang-barang yang haram ditimbun. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang haram ditimbun bukan hanya barang/makanan pokok sehari-hari, melainkan barang yang sangat sulit untuk didapatkan sehingga menyebabkan kesengsaraan bagi sebagian orang.

Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa haramnya menimbun tidak hanya pada bahan pokok saja melainkan semua barang. Dan dalam kitab Fathul Mu’in yang dinukil dari al-Ghazali diistilahkan dengan ‘mâ yu’în ‘alaih’ yaitu setiap komoditi/barang yang dibutuhkan.