Kiai Tambakberas dan Kedermawanannya

 
Kiai Tambakberas dan Kedermawanannya
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Pesantren Tambakberas adalah pesantren dengan sejarah panjang di kota Jombang. Berdiri sejak tahun 1825, Pesantren Tambakberas hingga saat ini telah mencapai delapan generasi kepengasuhan. Terhitung sejak Kiai Abdussalam membuka hutan sebagai safety house bagi laskar Diponegoro.

Gen perjuangan telah mendarah daging pada para keturunan Kiai Abdussalam. Pada era tahun 1900-an hingga sekarang, Pesantren Tambakberas diasuh oleh sejumlah keturunan Kiai Hasbullah Sa'id. Kiai Hasbullah sendiri adalah cucu dari Kiai Abdussalam.

Kiai Hasbullah yang terkenal sebagai petani kaya, mendermakan hartanya juga pekarangannya, untuk keberlangsungan masjid dan Pesantren Tambakberas. Sifat dermawan inilah yang kemudian hari, tampak jelas pada dzurriyah/keturunan kiai Hasbullah.

Kiai Wahab Chasbullah, putra pertama Kiai Hasbullah, menghabiskan harta, waktu, tenaga, pikiran juga perasaan, demi memotori dan menggerakkan jam'iyyah Nahdlatul Ulama'. Seluruh kota seantero Pulau Jawa beliau datangi, dalam misi Jam'iyyatun Naasihin, yang diamanati menyeru mengajak para kiai lainnya, juga para santri dan masyarakat, untuk rela memasuki Jam'iyyah NU.

Bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya medan yang dilalui oleh Kiai Wahab. Bagaimana pula kendala finansial yang dihadapi saat itu. Di mana infrastriktur jalan belum sebaik sekarang.

Kiai Wahab tercatat mendakwahkan NU hingga ke Jembrana Bali, Pancor NTB, Makassar hingga Palembang. Demi melestarikan ajaran Islam ahlus sunnah wal jama'ah. Pertanyaaannya, dengan biaya dari mana kiai Wahab melangsungkan perjalanan seperti itu? Bertahun-tahun begitu.

Kiai Wahab memang telah merdeka secara finansial. Ditunjang ayahanda yang kaya, juga Haji Musa Surabaya, mertuanya yang juga Kaya. Kiai Wahab juga pengusaha biro perjalanan haji. Menjadikannya salah satu dari segelintir pribumi yang memiliki mobil dan motor besar di akhir penjajahan Belanda. Pendirian NU pun disepakati di kediamannya di kertopaten Surabaya. saat 40 Kiai dari jawa dan madura berkumpul di sana.

Kiai Wahab tidak takut jatuh miskin, tidak khawatir kehabisan harta, demi tegaknya Islam Ahlus sunnah wal jama'ah. Akomodasi juga ongkos transportasi, ditanggung dari harta pribadi Kiai Wahab. Tanpa mengiba meminta-minta. Pada awal perjuangan, bagaimana mungkin orang ikut berjuang, bila sang inisiator tidak memulai. Inilah sakho', inilah kedermawanan. Tipe orang yang yuqridlulLaahu qordlon hasana.

Kiai Hamid, adik mbah Wahab, setiap akhir pekan selalu melaksanakan kewajiban membayari tukang bangunan. Jangan sampai upah belum dibayar, padahal keringat ibarat sudah mengering. Mengutamakan kepentingan pembangunan pesantren, daripada kepentingan pribadi. Gen Keturunan kiai Hasbullah, tampak senada seirama. Mengambil uang dari kocek pribadi, sedalam-dalamnya hingga hampir tak tersisa, sekadar untuk makan keluarganya. Raut kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, manakala mampu memfasilitasi santri yang mau mengaji. Santri bagaikan anak sendiri yang bisa menemani sholat jama'ah lima waktu dan mendaras Al Quran dan pengajian kitab kuning. Inilah kedermawanan, habiskan harta di jalan dakwah, memenuhi seruan ayat "wa jaahiduu bi amwaalikum waanfusikum".

Kiai Abdurrohim, Putra ke empat Pasangan Kiai Hasbullah dan Nyai Lathifah, tanpa ragu menghabiskan harta yang dimiliki, hingga hampir tak tersisa, demi pengobatan Nyai Bariroh, sang putri tercinta. Apalah gunanya harta, kalau tidak digunakan untuk mendidik generasi penerus sujud di muka bumi.

Telah jamak diketahui, banyak santri yang mesantren di awal Indonesia merdeka, sebelum kemapanan ekonomi negara di tahun 1990. Mereka mesantren hanya berbekal tekad dan sedikit bekal dari rumah. Santri dari golongan ekonomi lemah ini, seringkali kehabisan uang saku sebelum kiriman datang dari orang tuanya. Di saat itulah, Kiai Fattah, cucu kiai Hasbullah, mengambil peran menolong hajat hidup santri.

Banyak santri sowan mengadukan himpitan ekonomi kepada Kiai Fattah. Kiai Fattah pun memberi uang untuk para santri menyambung hidup. Jaminan jam tangan santri menumpuk di kediaman Kiai Fattah, tanpa Kiai Fattah menagih agar para santri segera mengembalikan. Inilah kedermawanan menolong hajat hidup orang, walau kita juga membutuhkan.

Bagaimana para santri mengambil ayam yang diternak Kiai Yahya Hamid, bagaimana para santri memanjat pohon kelapa milik Kiai Sholeh Hamid, banyak yang menceritakan hal ini. Disertai bagaimana pula kiai mengikhlaskan hal tersebut. Kiai memahami, betapa sulit kondisi zaman itu. Santri mau mondok saja sudah merupakan anugrah tersendiri. Para santri berkelakar, ilmu yang tak ternilai saja diikhlaskan, kalau sekedar ayam, bebek, kelapa, pastilah juga diikhlaskan. Bukan berarti para santri itu suka mencuri, tidak elok menimbang masa lalu dengan timbangan masa kini.

Kiai Djamaluddin Ahmad, menantu Kiai Fattah, berjuang meneruskan pengasuhan anak Yatim, yang telah berlangsung sejak era Kiai Hasbullah, Kiai Hasyim Idris dan Kiai Fattah Hasyim. Banyak santri yatim yang dididik hingga lulus pendidikan pesantren dan madrasah. Begitu perhatian Kiai Djamal terhadap keberlangsungan anak Yatim ini. Bukan sekedar makan minumnya, namun juga pendidikan serta akhlaknya. Penjual es degan (es kelapa) sukses di kota Jombang, yang kecilnya ikut di panti, menceritakan sendiri bagaimana limpahan kasih Kiai Djamal, terhadap yatama ini.

Banyak cerita dari para Alumni, betapa Kiai Nashrullah AR dan Kiai Amanullah AR, sering diminta tanda tangan oleh para santri menjelang ujian. Disebabkan permohonan dispensasi karena belum mampu melunasi SPP madrasah yang nominalnya sebenarnya tidak besar. Maklum, santri kala itu kebanyakan anak petani yang baru memegang uang hanya di kala panen. Kiai Nashrullah juga ringan mengeluarkan harta sebesar kemampuan, membantu santri dan Alumni yang kesulitan finansial.

Santri yang pulang tidak melanjutkan mondok, dijemput ke rumahnya seraya menjamin, “Akulah sekarang yang akan menanggungmu hingga lulus. Jangan boyong sebelum menyelesaikan pendidikanmu,” begitu Kiai Nasrul berpesan.

Kiai Nasrullah pernah berpesan pada seorang santri, “Bacaan wirid yang engkau baca, akan makin berkhasiat, ketika dibarengi dengan ‘nyoh’.” Nyoh artinya suka memberi, luman dermawan, dan itu dipraktekkan sendiri oleh Kiai Nashrullah.

Santri yang kesulitan mengurus ijasah, dibantu sekuat tenaga tanpa pamrih. Santri yang melanjutkan kuliah di Yogyakarta, diantar hingga dicarikan tempat yang layak, (atau jika santriwati) ditempatkan bersama putri Kiai Nashrullah sendiri.

Kiai Ahmad Hasan, menantu Kiai Nashrullah bercerita, awal menjadi PNS dan ditempatkan di Bondowoso, Kiai Sholeh dan Kiai Nashrullah mengantarkan langsung hingga ke tujuan, menggambarkan betapa besar perhatian Kiai terhadap santri.

Kiai memang bukan saja mengajar ilmu, bukan hanya mendidik adab, namun kiai juga bertindak sebagai murobbir ruuh wal jasad, menjadi pengasuh. Ilmu diberikan, adab dibiasakan, jodoh dan pekerjaan turut dipikirkan dan dicarikan. Keselamatan santri di akhirat, itulah yang selalu terngiang di lubuk hati, di relung terdalam, sanubari para kiai.       

Memanglah Kiai adalah ulama' pewaris para Nabi, warotsatul anbiya'. Amat besar kegelisahan para kiai, tidak ingin menyaksikan kesulitan hidup para santri. Amat besar harapan kiai, untuk kesuksesan, kebahagiaan dan keselamatan para santri. Persis sebagaimana para nabi terhadap umatnya, yang aziizun alayhi maa 'anittum, hariishun alaykum bil mu'miniina ro'uufur rohiim.

Para Kiai Tambakberas telah mengajarkan dengan tindakan nyata, kedermawanan bukan sekedar seruan belaka, hadis Rasulullah tergambar dalam laku mereka.

Man yassaro ala mu'sirin, yassqrolLaahu lahu fid dunya wal akhiroh.

“Barangsiapa menolong kesusahan seseorang, maka Allah akan mudahkan hidupnya di dunia dan akhirat.”

Wallaahu fii aunil abdi, maa kaanal abdu fii auni akhiihi

“Allah senantiasa menolong hambanya, selagi hambanya sudi menolong sesama.”

As Sakhiyyu qoribun minallah, qoriibun minan naas, qoriibun minal jannah, ba'iidun minan naar

“Orang dermawan, filantropis, dekat dengan Allah, dekat dengan sesama manusia, dekat dengan surga, hauh dari neraka.”

Indahnya akhlak Nabi tercermin dalam keseharian para Kiai.

Oleh: A. Taqiyuddin Mawardi


Editor: Daniel Simatupang