Abajadun: Konstruksi Kiai Sepuh Tambakberas Terkait Upaya NU untuk Melawan Kezaliman

 
Abajadun: Konstruksi Kiai Sepuh Tambakberas Terkait Upaya NU untuk Melawan Kezaliman
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Ainur Rofiq Al Amin

Laduni.ID, Jakarta – Abajadun adalah satu cabang kosmologi Islam yang merumuskan huruf hijaiyah dalam angka. Menurut rumus abajadun, setiap huruf memiliki makna magis dan mengisyaratkan rahasia kosmik-spiritual melalui angka dan hitungannya. Rumus abajadun dalam konteks kiai sepuh Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang terdapat kilas sejarah menarik.

Pertama, menara Masjid Jami’ Pondok Bahrul Ulum yang dibangun oleh Mbah Kiai Hamid Chasbullah terdapat penggalan huruf Hijaiyah (ح ر ت م) di atas pintu masuk menara. Huruf itu bila dihitung dengan rumus abajadun menghasilkan jumlah angka 648. Perkiraannya, angka 6 adalah bulan Juni dan angka 48 adalah tahun 1948.

Perkiraan ini diperkuat dengan adanya angka tahun Hijriyah di menara bagian teras yang tertulis tahun 1367. Tahun 1367 kalau dikonversi ke tahun Masehi adalah 1948.

Dengan demikian bisa dipahami bahwa menara itu selesai dibangun pada bulan Juni 1948. Terdapat sejarah dan formulasi lain yang "mistis" dari huruf Hijaiyah di atas yang bisa dibaca di buku "Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah".

Kedua, kalau rumus abajadun di atas digunakan sebagai penanda selesainya pembangunan menara oleh Mbah Kiai Hamid Chasbullah, maka ada formulasi lain dari Mbah Kiai Wahab Chasbullah.

Dalam disertasi karya Dr. Miftahul Arif yang sudah dibukukan (2021) berjudul "Fikih Kebangsaan KH A Wahab Chasbullah", dijelaskan visi besar Mbah Kiai Wahab untuk menjadikan NU sebagai pelopor perdamaian dunia yang menjunjung nilai rahmatan lil alamin sekaligus untuk melawan kezaliman global. Bayangkan, sekitar tahun 1932 Mbah Kiai Wahab sudah punya gagasan demikian.

Mbah Kiai Wahab menulis,

لَا سَبِيْلَ لَنَا إِلَى الْعِزِّ وَ إِلَى دَفْعِ ظُلْمِ الظَّالِمِيْنَ الْمُعْتَدِيْنَ إِلَّا بِتَوَحُّدِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُرَّةِ الْأَرْضِ جَمِيْعًا شَرْقًا وَ غَرْبًا جَنُوْبًا وَ شِمَالًا أَيْرُوْبِيًّا وَ أَسِيْوِيًّا. وَ لَا يُتَصَوَّرُ التَّوَحُّدُ وَ التَّعَاضُدُ إِلَّا بِالتَّعَارُفِ أَوَّلًا وَ لَا تَعَارُفَ بَيْنَ الْجَمِيْعِ أَوْ بَيْنَ رُسُلِهِمْ إِلَّا بِإِنْشَاءِ الشُّوْرَى الْقُرَوِيَّةِ كُلَّ شَهْرٍ مَرَّةً ثُمَّ الشُّوْرَى الْبُلْدَانِيَّةِ كُلَّ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مَرَّةً ثُمَّ الشُّوْرَى الْجَزَائِرِيَّةِ كُلَّ سَنَةٍ مَرَّةً ثُمَّ الشُّوْرَى الْعَالَمِيَّةِ كُلَّ ثَلَاثِ سَنَوَاتٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ وَ يُعَبَّرُ عَنِ الشُّوْرَى بِالْمُؤْتَمَرِ.

“Tidak ada jalan bagi kita untuk meraih kemuliaan dan mencegah kezaliman orang-orang zalim yang melampaui batas kecuali dengan bersatunya umat Islam di seluruh muka bumi, mulai dari ujung timur, barat, selatan, utara, Eropa, hingga Asia. Persatuan dan gotong royong tak dapat terjadi kecuali dengan saling mengenal mula-mulanya. Upaya saling mengenal antar semua pihak atau antar delegasi tak akan terwujud kecuali dengan merintis usaha dialog tingkat desa sebulan sekali, dialog tingkat wilayah (kabupaten/provinsi) setiap enam bulan sekali, kemudian tingkat nasional setiap setahun sekali, dilanjut dialog tingkat internasional setiap tiga tahun sekali hingga dua kali. Dialog itu dikenal dengan istilah muktamar.”

Lebih menarik lagi, visi global perdamaian dunia ini tetap berakar dari local wisdom para tetua dan pinisepuh, yakni menggunakan rumus abajadun. Berikut pernyataan Mbah Kiai Wahab,

لِمَا أَنَّا رَأَيْنَا حِسَابَ الْحَاسِبِ بِأَنَّ عَدَدَ هَذِهِ السَّنَةِ (1350) عَلَى مُقْتَضَى قَوْلِهِ تَعَالَى (وَ مَا) 47 (أَرْسَلْنَاكَ) 362 (إِلَّا) 32 (رَحْمَةً) 648 (لِلْعَالَمِيْنَ) 261 فَعَلَى هَذَا الْحِسَابِ لَا يَكُوْنُ تَنْظِيْمُ الشُّوْرَى الْعَالَمِيَّةِ الْمَبْدُوْءَةِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ  لِإِرَادَةِ الْعُلُوِّ وَ الْفَسَادِ بَلِ الْمَطْلُوْبُ صَيْرُوْرَةُ الْخَلْقِ فِي هَذَا الْعَالَمِ أَجْمَعِهِمْ مُتَبَادِلِيْنَ مُتَسَاوِيْنَ بِغَيْرِ إِضْرَارِ جِنْسٍ جِنْسًا أَخَرَ وَ إِذْلَالِ بَعْضٍ  بَعْضًا وَ تَخْذِيْلِ الْأَقْوِيَاءِ الضُّعَفَاءَ وَ بِغَيْرِ احْتِيَاجِ نَوْعٍ شَيْئًا عِنْدَ نَوْعٍ أَخَرَ مَعَ الْإِهَانَةِ وَ التَّخْذِيْلِ

“…Karena saya memperhatikan hitungan ahli hitung bahwa jumlah bilangan tahun ini (1350 H) selaras dengan firman Allah ta'ala: (wa ma) 47 (arsalnaka) 362 (illay 32 (rahmatan) 648 (li al-'alamina) 261 (hasil akhirnya adalah 1350). Atas dasar penghitungan ini, maka upaya membangun dialog berskala internasional yang akan dimulai di tahun ini tidaklah berorientasi kesombongan dan kerusakan. Tetapi bervisi menjadikan makhluk di semesta ini saling melengkapi, egaliter, tidak saling menyakiti, tidak pula saling merendahkan satu sama lain, yang kuat tidak menginjak yang lemah, dan tanpa mengesankan membutuhkan yang satu dan mengabaikan yang lain dengan disertai unsur menghina dan merendahkan.”

Tentu para penghobi pemberi stempel bid'ah dan syirik tidak perlu mencak-mencak dengan adanya penggunaan rumus abajadun. Saya sejak dulu punya cara pandang bahwa sebenarnya huruf rajah ataupun rumus abajadun atau sejenisnya tidak lain adalah hasil lelakon dan olahan pendahulu berdasar "isyarat-isyarat" yang mereka terima. Setelah itu hasilnya ditulis dan diajarkan.

Bagi saya, huruf atau angka rajah dan rumus abajadun "mirip" rumus ilmu eksak. Bedanya kalau rumus eksak hampir bisa dipelajari dan didayagunakan semua orang walau tetap ada yang tidak mampu memahami dan memanfaatkannya. Sedang huruf dan angka rajah tidak semua bisa memahami dan mendayagunakannya.

Bisa salahkah ilmu di atas? Semua ilmu "duniawi" potensial salah, tapi jangan tergesa untuk menstempel bid'ah dan syirik.

Kepada kakak adik yang mulia (Mbah Kiai Wahab Chasbullah dan Mbah Kiai Hamid Chasbullah) lahuma Al Fatihah.

Keterangan foto: Foto menara masjid Tambakberas dengan huruf dan angkanya/FB Ainur Rofiq Al Amin

Oleh: Dr. Ainur Rofiq Al Amin


Editor: Daniel Simatupang