Meneladani Kesederhanaan KH. Ghazali Ahmadi

 
Meneladani Kesederhanaan KH. Ghazali Ahmadi
Sumber Gambar: dok. pribadi Dr. Abdul Moqsith Ghazali

Laduni.ID, Jakarta - Kesederhanaan, merupakan salah satu sifat yang menjadi ciri khas kehidupan para nabi dan rasul, kekasih Allah, dan para wali beserta ulama yang kerap melakoni hidup dengan kesalehan. Bahkan, termasuk menifestasi dari kerendahan hati seseorang. Tak ayal, Islam menaruh perhatian sangat luar biasa terhadap sifat ini. Mengingat sifat tersebut dapat mengantarkan pelakunya terhindar dari kesombongan, keserakahan, merendahkan orang lain dan sifat tercela lainnya.

Tidak heran, para ulama terdahulu kerap kali menjadikan tema kesederhanaan sebagai bagian dari nasihat-nasihatnya dalam berdakwah. Itu artinya, bagi kebanyakan orang menjadi sosok pribadi yang sederhana tidaklah mudah laiknya membalikkan telapak tangan. Sehingga, seseorang yang berkeinginan untuk menghiasi kehidupannya dengan perilaku kesederhanaan, tentu memerlukan banyak latihan dan pengorbanan yang sangat dahsyat. Apalagi, bagi seseorang yang kehidupannya terbiasa bergelimang harta, memiliki jabatan dan lain sebagainya. Begitu pula dengan KH. Ghazali Ahmadi.

Selain sebagai tokoh masyarakat, ulama dan pengasuh Pondok Pesantren Zainul Huda, beliau juga merupakan sosok pribadi yang dikenal sebagai “hamba ilmu”, yakni orang yang tidak pernah merasa puas dalam menuntut ilmu. Alhasil, pada masa mudanya, hidup Kiai Ghazali banyak dihabiskan untuk belajar dari sekolah umum hingga ke pesantren. Pun, yang tak kalah menariknya adalah “kehausannya” akan ilmu pengetahuan melekat dalam diri beliau hingga akhir hayatnya.

Meskipun tidak seperti kebanyakan para kiai liannya yang kerap belajar ke Makkah, yang pada saat itu diyakini sebagai salah satu tempat terbaik menuntut ilmu, khususnya ilmu di bidang keagamaan. Akan tetapi, kepiawaian dan ke-dalaman ilmunya di bidang agama tidak ada seorang pun yang meragukannnya. Bahkan, tatkala masih menjadi santri di Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo, Kiai Ghazali adalah termasuk salah satu santri kinasih Kiai As’ad Syamsul Arifin.

Tak ayal, apabila KH. Ghazali Ahmadi banyak digandrungi oleh para ulama, cendekiawan, akademisi dan masyarakat maupun generasi setelahnya sampai saat ini. Seluk-beluk hidupnya banyak dijadikan inspirasi dan panutan/teladan oleh kebanyakan orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik perilakunya, tutur kata dan bahkan sepak terjangnya dalam menyebarkan agama Islam yang penuh dengan kesabaran dan ketabahan.

Salah satu kepribadian atau perilaku Kiai Ghazali yang patut diteladani, adalah ihwal kesederhanaannya dalam menjalani roda kehidupan. Pada masa Kiai Ghazali, kehidupan masyarakat Kangean, khususnya Desa Arjasa Laok (selatan) dan Desa Duko Laok, notabene masyarakatnya adalah “petani”. Bahkan, bertani menjadi salah satu penopang hidup (mata pencarian) paling utama bagi kedua desa tersebut.

Tidak heran, tatkala “musim hujan” seluruh masyarakat Arjasa Laok dan Duko Laok turun ke sawah untuk bertani, begitu pula dengan Kiai Ghazali. Dari saking urgennya “urusan pertanian”, beliau tak segan-segan terjun langsung ke sawah laiknya kebanyakan seorang petani pada umumnya. Menariknya, kendati beliau seorang Kiai dan tokoh masyarakat tetapi dalam bertani tak seperti kebanyakan kiai pada umumnya yang kerap mempekerjakan orang. Namun, Kiai Ghazali menggarap sawahnya sendiri tanpa bantuan dari masyarakat. Sebab, Kiai Ghazali tidak mau merepotkan orang lain selama ia mampu mengerjakannya sendiri.

Yang tidak kalah menariknya dari sifat kesederhanaannya adalah ketika Kiai Ghazali masih menjadi santri di Pondok Pesantren Sukorejo. Suatu ketika, beliau bercerita sendiri ihwal pengalamannya di pesantren. Pada waktu menjadi santri, Kiai Ghazali pernah makan nasi tanpa ikan dan bahkan beliau pernah makan sisa-sisa nasi yang tidak dimakan oleh temannya. Sebab, pada masa itu mode transportasi “kapal” dari Pulau Kangean-Jawa tidak seperti sekarang yang setiap hari selalu ada. Bahkan, satu bulan satu kali, itupun kalau ada. Sehingga, tatkala Kiai Ghazali di kirimi bekal oleh orang tuanya, sedikit demi sedikit beliau makan.

Karena, menurut Kiai Ghazali seseorang yang menuntut ilmu harus berani hidup sengsara dan melarat (hidup sederhana). Itu artinya, dalam menuntut ilmu tentu saja membutuhkan pengorbanan disertai keteguhan hati yang cukup dahsyat supaya memperoleh manfaat beserta buah dari ilmu tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ta’lim Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji.

Lebih dari itu, Kiai Ghazali tidak pernah berjarak (menjauh) dengan masyarakat setempat. Terbukti, pada saat masyarakat mengadakan “kerja bakti”, tanpa berpikir panjang Kiai Ghazali selalu terlibat secara langsung di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, tidak jarang beliau membawakan bekal untuk mereka yang mengikuti kerja bakti.

Dengan sikapnya yang demikian, tidak heran apabila Kiai Ghazali banyak dicintai oleh masyarakatnya. Sifatnya yang tidak egois dan sederhana menjadikan beliau senantiasa dikelilingi dan dicintai seluruh masyarakat tidak sekadar Arjasa Laok dan Duko Laok, tetapi seluruh masyarakat Kangean. Tampaknya, sifat ini melekat dalam diri Kiai Ghazali sejak kecil hingga tumbuh menjadi tokoh masyarakat, ulama dan pengasuh pesantren.

Oleh karena itu, sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat tentu saja Kiai Ghazali Ahmadi memahami betul akan posisinya sebagai “pewaris nabi”. Sehingga, beliau kerap kali memberikan keteladanan yang baik kepada seluruh masyarakat salah satunya adalah dengan sifat kesederhanan, kedisiplinan, tidak egois dan ketulusannya dalam mengabdi serta melayani umat. Pun juga, beliau merasakan betul akan penderitaan masyarakat, maka beliau berusaha menjaga dan mengayomi mereka hingga akhir hayatnya. Itulah alasannya mengapa beliau bersikap demikian, kendati termasuk seseorang yang mampu secara materi tetapi kehidupan sehari-harinya selalu diwarnai dengan sifat kesederhanaan namun tetap bersahaja.

Demikianlah, seluk beluk kehidupan KH. Ghazali Ahmadi penuh dengan kisah inspiratif dan patut dijadikan teladan bagi kita semua dalam melakoni kehidupan sehari-hari, khususnya ihwal sifat kesederhanaannya. Namun, seseorang yang memiliki jasa besar terhadap agama dan masyarakat itu, kini telah berpulang ke sisi Allah dengan tenang pada hari Jumat, tepatnya tanggal 16 Juli 2021. Semoga amal ibadah dan perjuangnnya dalam mengayomi umat dan menyebarkan agama Islam di Pulau Kangean diganti oleh Allah dengan memperoleh tempat terbaik di sisi-Nya.

Senin, 06 September 2021

Oleh: Saidun Fiddaraini


Editor: Daniel Simatupang