Usaha Kiai Muh dalam Merangkul Kaum Abangan

 
Usaha Kiai Muh dalam Merangkul Kaum Abangan
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Pasca tragedi berdarah tahun 196 antara PKI dan kaum santri, banyak masyarakat menolak adanyan kaum abangan di wilayah mereka. Berbagai macam ungkapan kebencian muncul terhadap kaum abangan tersebut, sehingga menimbulkan polemic besar dan menjadi PR kompleks yang harus segera diselesaikan.

Salah satu ulama yang mempunyai peran besar dalam menyatukan kaum abangan dengan kaum santri, khususnya di tanah Jawa ialah Kiai Muh, adik dari KH Abdurrahman Chudlori (Mbah Dur), dan anak dari KH Chudlori, pendiri Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang.

Kiai Muh menjadi pelopor pengintegrasian antara kesenian abangan dengan budaya pesantren kaum santri. Sebagai bagian dari strategi dakwahnya, Kiai Muh hendak merangkul kembali eks PKI yang saat itu mendapat diskriminasi sosial di lingkungannya. Salah satu strateginya ialah memasukkan kesenian abangan dalam agenda pesantren tahunan, tepatnya saat perpisahan santri yang telah lulus dari pesantren.

Walau banyak pihak yang menentang stratgei Kiai Muh saat itu, beliau tetap teguh dan menjalankan dakwahnya tersebut dengan tenang. Saat masyarakat protes kepada kerabat Kiai Muh, Kiai Thoyib, mereka mendapat jawaban yang tak terduga. Kiai Thoyib berkata,

Sebuah tahi lalat di wajah seseorang akan mempercantik wajah itu, namun jika tahi lalat itu lebih dari satu, wajahnya akan kelihatan buruk. Jadi pertunjukan kesenian ini menjadi lebih baik jika diadakan sekali setahun, di satu tempat saja.”

Sedangkan Kiai Muh membeberkan strategi dakwahnya secara gamblang, sehingga masyarakat yang memprotes tindakan Kiai Muh mengetahui maksud dari kiai yang dihormati itu.

Banyak orang masih heran kenapa saya mengundang begitu banyak rombongan jathilan untuk khataman. Ya, saya harus menerima, saya adalah seorang ‘kiai jathilan’. Tapi, tolong, perhatikan kitab ini (Kang Muh menunjukkan sebuah kitab berbahasa arab yang sepertinya adalah al-Hikam karya Ibnu Athoillah). Maksiat yang dengan cepat membawa orang kepada ketaatan jauh lebih baik daripada ketaatan yang disertai dan menggiring pada takabur.

Bagi makhluk hidup, takabur adalah sifat buruk, akan tetapi berkenaan dengan ketidakterbatasan Tuhan, itu adalah sifat-Nya. Karena itu, jangan pernah berharap hanya kita yang melaksanakan sholat lima waktulah yang ditakdirkan masuk surga. Mereka, yang sekarang bermain jathilan, mungkin juga ditakdirkan masuk surga, dan mungkin kita dilemparkan ke neraka karena dipenuhi sifat takabur.

Saya ingin menyampaikan ini kepada kalian. Lebih baik mereka untuk menghabiskan uang pada jathilan ini daripada berjudi. Lebih dari itu, jika mereka mau bermain di lapangan pesantren siapa tahu hati mereka menjadi lebih dekat dengan pesantren.

Apakah kalian tahu para hadirin dan hadirat, berapa banyak pemain jathilan yang saya undang beberapa tahun lalu sekarang menjadi santri? Oleh karena itu, janganlah pernah mencela orang lain, akan tetapi berdoalah kepada Allah. Semoga saudara-saudara kita menjadi seorang muslim yang baik suatu hari.”

Penjelasan Kiai Muh tentu saja sangat mudah diterima oleh masyarakat, sebab beliau menjelaskan apa yang diketahuinya dengan Bahasa yang sederhana, sehingga orang lain dapat dengan mudah menangkap apa yang sedang beliau bicarakan.

Hal itu sama seperti saat Kiai Muh diundang oleh desa-desa yang pernah menjadi basis PKI untuk berceramah. Beliau menggunakan Bahasa yang mudah diterima oleh semua kalangan dan semua lapisan masyarakat.

Hadirin dan hadirat yang berbahagia. Saya berani mengatakan, tempe lebih baik daripada daging yang mahal tapi sudah busuk (hadirin tertawa). Baik, hadirin sekalian (untuk menghentikan tawa yang masih bergemuruh).

Karena itu, marilah kita menjadi orang baik seperti makanan yang baik, sehingga kita memperoleh tempat yang baik pula. Janganlah sekali-kali kita menjadi orang yang batinnya seperti daging busuk. Ketimbang jadi daging busuk, lebih baik kita menjadi tempe saja. Tak penting harganya murah, selama dia bersih dan tidak busuk. Orang-orang yang jiwanya bersih mungkin hidup dalam kemiskinan karena mereka tidak ingin mencuri, merampok, menipu, korupsi.

Itulah mengapa mereka sering berkata ‘Apa yang akan dimakan besok?’ Sebaliknya, orang yang meletakkan kehidupan lahir di atas segala-galanya bisa jadi hidup dalam kekayaan yang melimpah.

Namun, karena tujuannya hanya ingin menumpuk kekayaan dengan mengabaikan hukum Allah, mereka dengan melupakan tanggung jawabnya kepada Allah dan kehidupan akhirat. Kepala mereka dipenuhi pertanyaan ‘Siapa yang akan saya makan besok? (hadiri tertawa).

Hadirin yang berbahagia! Jika pertanyaan anda sehari-hari adalah ‘Apa yang akan saya makan besok?’ dan bukan ‘Siapa yang akan saya makan besok?’ maka jangan khawatir, tapi berbanggalah. Karena berarti iman masih tertanam kuat di dalam batin anda.

Jangan pernah lupa, keberhasilan jiwalah yang akan meninggikan posisi anda di mata Allah. Yang penting dan utama di mata Allah bukanlah kekayaan atau kebagusan tubuh anda. Apa yang penting bagi Allah adalah batin anda, bukan lahir anda. Isi, bukan wadah.”

Kiai Muh tampil sebagai sosok yang berbeda, celana panjang (kadang-kadang menggunakan jeans) dan kemeja, menjadi pembeda antara beliau dengan ulama-ulama lainnya. Padahal, Kiai Muh adalah sosok yang disebut sebagai khawariqul ’aadah (hal-hal yang berada di luar kebiasaan), yang biasanya jadi tanda kewalian seseorang.

Pernah suatu ketika, saat sang ayah, KH Chudlori memerintahkan Kiai Muh kecil untuk belajar membaca kitab. Dengan percaya diri, Kiai Muh menanyakan kepada sang ayah kitab apa yang ingin dibacakan. Akhirnya dibacalah sebuah kitab yang tidak pernah Kiai Muh lihat atau baca sebelumnya. Namun, Kiai Muh dapat membacakan serta menjelaskan isi kitab tersebut. Sejak saat itu, KH Chudlori tidak pernah menyuruh Kiai Muh untuk belajar membaca kita, sebab beliau tahu sang anak memiliki ilmu Laduni.

Sisi pembeda lainnya ialah seperti yang disampaikan oleh Mbah Partogeni, mantan anggota PKI yang ikut membangun langgar (musholla) dengan menggunakan uang pribadinya, mengatakan bahwa Kiai Muh sama seperti Walisongo.

Disarikan dari tulisan Pak Arif Wibowo


Editor: Daniel Simatupang