KH. Maimoen Zubair: Menghadapi Perubahan Zaman dengan Mengaji

 
KH. Maimoen Zubair: Menghadapi Perubahan Zaman dengan Mengaji
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Ngawi – Ketika hendak ditawari gelar Doktor Honoris Causa (DR), Mbah Moen dengan penuh santun menyahutnya, “Biarlah ada Kiai yang seperti saya, yang pekerjaannya hanya mengaji.” Tawaran tidak hanya sekali, akan tetapi dua kali, namun jawaban Mbah Moen tetap sama, ia menolak gelar tersebut. Bagi Mbah Moen, gelar tidaklah begitu penting. Yang penting adalah menolong agama Allah. Barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya.

Mbah Moen Sarang, begitu sapaan akrabnya. Ia sangat disegani di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat jelata, hingga pejabat tinggi negara (Presiden dan Wakilnya), bahkan sampai dunia internasional namanya begitu harum. Banyak ulama dari manca negara, seperti Haramain (Makkah dan Madinah), Suria, Australia, Turky, Abudabi, Yaman, Mesir, dan sebagian dari negara Eropa yang antusias berkunjung di kediamannya. Mereka kagum dengan sosok Mbah Moen yang dikenal dengan kealiman dan keluhuran akhlaknya dalam bergaul dengan sesamanya.

Mondok ala Ulama Kuno

Mbah Moen dilahirkan di Sarang pada Jum’at Kliwon, 10 Muharam 1347 H/23 Oktober 1928 M. Ia anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Ibu Nyai Mahmudah. Saudara-saudaranya yaitu, Makmur, Mardiyah, Hasyim, dan Zahro. Semua anak pasangan Kiai Zubair dan Nyai Mahmudah meninggal dunia kecuali Mbah Moen.

Hidup di lingkungan pesantren mengharuskan Mbah Moen untuk mengaji. Meskipun ayahnya, Kiai Zubair bukanlah pengasuh pesantren, namun ia aktif mengajar di pesantren milik mertuanya, Kiai Ahmad ibn Syuaib. Kepada sang ayah, Mbah Moen mengaji berbagai disiplin ilmu agama seperti al-Jurûmiyah, al-Imrîthi, al-Fiyah, Fathal Qarîb, Fathal Wahhab, Fathal Mu’în, Jauharatu al-Tauhîd, Rahabiyah, dan Sullam al-Munawrâq. Untuk masalah al-Qur’an-nya, Mbah Moen belajar kepada ibunya, Nyai Mahmudah. Selain kepada kedua orang tuanya, Mbah Moen belajar kepada ulama-ulama Sarang seperti Kiai Syuaib ibn Abdurrozak, Kiai Ahmad ibn Syuaib, dan Kiai Imam Khalil.

Dalam mendidik Mbah Moen, Kiai Zubair tidak hanya mengajarkan ilmu agama, akan tetapi, ilmu umum pun juga diajarkan. Terlebih ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan nasioanlisme dan patriotisme. Sebab, di waktu itu, Indonesia sedang dalam kondisi dijajah Belanda, Jepang , dan dilanjutkan dengan kembalinya Belanda yang membonceng NICA (Netherland Indies Civil Administration). Ketika umur Mbah Moen 4 tahun, Kiai Zubair mengajarkan menulis huruf latin, huruf hanocoroko, dan cara berbahasa Melayu. Saat umurnya 15 tahun, Kiai Zubair menyuruh Mbah Moen mempelajari koran, majalah, buku-buku penyemangat, seperti majalah “Penyebar Semangat”, buku Imam Supriadi, dan buku-buku terbitan Budi Pustaka Jakarta.

Pada tahun 1945, Kiai Zubair menyuruh Mbah Moen untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo asuhan Kiai Abdul Karim atau yang dikenal dengan Mbah Manab Lirboyo. Mbah Manab ini dikenal dengan kepakarannya dalam masalah Gramatika Arab. Kepadanya, Mbah Moen mematangkan kajian Nahwu-Sharafnya seperti al-Jurûmiyah, al-Imrithi, dan al-Fiyah. Selain belajar kepada Mbah Manab, selama di Pesantren Lirboyo, Mbah Moen juga belajar kepada Kiai Mahrus Aly, Kiai Marzuki, dan Kiai Ma’ruf Kedunglo.

Saat mengaji kepada Mbah Manab, Mbah Moen dikenal dengan kealimannya. Dengan cepat sekali ia mampu menyerap semua ilmu yang ditransfer Mbah Manab kepadanya. Dari kecerdasannya ini, maka tidak mengherankan jika ia menjadi salah satu santri andalan Mbah Manab dari tiga santrinya, yaitu Mbah Moen, Kiai Abdul Wahab Sulam, dan Gus Ali Bakar.

Selama nyantri di Pesantren Lirboyo, Mbah Moen tidak hanya mengaji. Namun, ia juga ikut berperang dalam memperjuangkan keutuhan NKRI yang sudah berdaulat semenjak 17 Agustus 1945. Bersama dengan Kiai Mahrus Ali dan para kiai lainnya yang dikomando dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, Mbah Moen ikut berjuang melawan penjajah yang ingin kembali merebut kemerdekaan Indonesia dengan misi Agresi Militer Belanda I (21 Juli - 5 Agustus 1947) dan Agresi Militer Belanda II (19–20 Desember 1948.

Setelah kondisi Indonesia aman, pada 1949, Mbah Moen meminta izin kepada Mbah Manab untuk meneruskan belajarnya menuju Haramain. Dengan antusiasnya, Mbah Manab merestui keinginan Mbah Moen tersebut. Maka, berangkatlah ia menuju Haramain bersama dengan Kiai Abdurrahim ibn Ahmad dengan biaya dari kakeknya, Kiai Ahmad ibn Syuaib.

Selama di Haramain, Mbah Moen belajar di Masjidil Haram dan Madrasah Dar al-Ulum yang merupakan madarasah rintisan Ulama Jawiyyin (ulama Nusantara di Haramain). Di antara gurunya selama belajar di Haramain adalah, Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi, Syaikh Abdul Qodir ibn Abdul Muthalib al-Mindili, Syaikh Abdullah bin Nuh al-Malaysiai, Syaikh Hasan Al-Masyath, Syaikh Yasin al-Fadani, dan Syaikh Zakaria Bela. Kepada ulama-ulama Haramain ini, Mbah Moen mempelajari berbagai disiplin ilmu agama dengan penuh ketekunan sehingga menjadi ta’ammuq (mendalam).

Karena tertarik dengan kealimannya, ada salah satu ulama Haramain yang ingin menjadikan Mbah Moen sebagai menantunya. Namun, tawaran tersebut tidak diiyakan olehnya. Mbah Moen lebih suka kembali ke Indonesia dan mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya.

Pada tahun 1950, Mbah Moen kembali ke tanah airnya. Kembalinya ke Indonesia ini tidak menyurutkan niatnya untuk terus mengajari. Ia mengaji lagi ke berbagai ulama Nusantara seperti Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz (Lasem, Rembang), Kiai Bisri Mustofa (Leteh, Rembang), Kiai Abdul Wahab bin Hasbullah (Tambak Beras, Jombang), Kiai Abdul Wahib bin K Abdul Wahab (mantan Menteri Agama), Kiai Ma’sum Ahmad (Lasem, Rembang), Kiai Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), Habib Abdullah bin Abdul Qodir (Malang), Habib Ali bin Ahmad Al-Athas, Kiai Thohir (pengasuh yayasan At-Thohiriyyah Jakarta), Kiai Ali bin Ma’sum (Jogjakarta), Kiai Abdul Hamid (Pasuruan), Kiai Muslih bin Abdur Rahman (Mranggen, Demak), Kiai Abbas (Buntet), Kiai Khudori (Tegalrejo), Kiai Asnawi (Kudus), Kiai Ihsan Jampes (Kediri), Kiai Abu Fadhol (Senori, Tuban), dan Kiai Abu Khoir (Jatirogo, Tuban).

Membangun Peradaban Islam dari Pesantren

Usai menjalani rihlah panjang dalam studi ilmiah di berbagai pesantren, Mbah Moen berkeinginan mengabdikan dirinya untuk mengajar di pesantren milik kakeknya (Kiai Ahmad ibn Syuaib), Pesantren Ma’had al-Ilmy Asy-Syar’iyyah (MUS).  Ia juga ikut berkiprah dalam mengihidupkan Madrasah Nahdlatul Wathan yang dahulunya organisatorisnya masih kurang tertata baik, kemudian dirombaknya dengan nama baru Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah (MGS).

Dalam membangun madarasah tersebut, Mbah Moen dibantu Kiai Ali Masyfu’, Kiai Zubair Dahlan, Kiai Abdullah bin Abdurrahman, Kiai Musa bin Nur Hadi, Kiai Abdul Wahhab bin Husein, Kiai Haramain Ma’shum, dan dari ulama Sarang dan sekitarnya. Semenjak dideklarasikannya Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah, Mbah Moen diangkat menjadi Mudir ‘Am hingga sekarang.

Melihat kealiman Mbah Moen yang dianggap sudah mumpuni, Kiai Ahmad bin Syuaib menyuruhnya untuk membuat mushola yang terletak di depan rumahnya sebagai media dakwah untuk menyebarkan ilmunya kepada masyarakat Sarang. Lambat laun, mushala ini berubah menjadi pesantren dengan jumlah ribuan santri yang datang dari penjuru Nusantara.

Dalam diri Mbah Moen tidak terbesit sedikitpun untuk membuat pesantren. Masyarakat sendiri yang berkeinginan memondokan anaknya kepada Mbah Moen. Bagi Mbah Moen yang terpenting adalah menolong agama Allah dengan cara mengaji, mengajar para santri dengan materi kitab-kitab turast peninggalan ulama.

Karena antusiasnya santri yang ingin ber-istifadah dengan ilmunya Mbah Moen, mereka menyekat mushala Mbah Moen menjadi dua. Yang satu untuk untuk tempat shalat dan mengaji, dan yang satunya lagi sebagai kamar santri yang mereka namai dengan Pohama (Pondok Haji Maimoen). Nama ini di kemudian hari diganti Mbah Moen menjadi PP. Al-Anwar. Nama Al-Anwar diambil dari nama ayahnya sebelum berangkat haji yang diubah menjadi Zubair.

Mulanya santri Mbah Moen hanya empat orang, yaitu Kiai Hamid Baidlowi (Lasem, Rembang), Kiai Ashari (Yek Pongge), Kiai Hasib, dan Kiai Imam Yahya Mahrus Aly (Pengasuh Pesantren Lirboyo). Karena istiqamahnya Mbah Moen dalam mengajar, jumlah santri Al-Anwar cepat sekali bertambah hingga ribuan. Bangunan yang asalnya berupa sekatan mushala, kini bergantikan gedung-gedung pesantren yang begitu megahnya. Al-Anwar yang asalnya cuma satu, kini bertambah menjadi Al-Anwar 2 dan Al-Anwar 3. Pesantren Al-Anwar I hanya mengajarkan kitab-kitab turast, sedangkan Al-Anwar 2 dan 3, selain mengajarkan kitab turast, diajarkan pula ilmu umum dan modern.

Karena laju ilmu pengetahuan cepat berkembang pesat dan zaman yang selalu berubah, Mbah Moen mengharapkan sebagian santrinya bisa menguasi ilmu agama dan umum secara seimbang dan selaras. Untuk menjembatani cita-citanya ini, dibangunlah Madrasah Ibtidaiyyah, Tsanawiyah, Aliyah, hingga Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar (STAIA).

Dalam nguri-nguri budaya pesantren salaf kuno, Mbah Moen selalu menekankan kepada santri-santrinya agar selalu mengaji, dan mengedapankan kitab-kitab turast. Ia sering berpesan, “Yang penting mengaji, jangan berfikir jadi apa. InsyaAllah Allah akan menempatkan kalian dengan sebaik-baiknya tempat.”

Dengan strategi Mbah Moen yang berupa pengembangan pesantren secara bilingual, pesantren salaf dan modern, ia berharap kelak akan lahir dari Al-Anwar para ulama, cendiakiawan, pengusaha, pejabat, dan masyarakat sipil yang menjunjung tinggi nilai-nilai pesantren sebagai acuan dalam membangun peradaban Islam Indonesia.

Selain khidmah mengajar di pesantren, Mbah Moen juga aktif dalam dunia pemerintahan dan ormas Islam. Ia pernah menjadi anggota DPRD (1967-1975), MPR (1978-1991), Ketua Majelis Syariah PPP (sampai sekarang), Mustasyar PBNU (sampai sekarang), dan lain-lain.

Kiai Inovatif, Kreatif, dan Produktif

Dalam sebuah ceramahnya, Mbah Moen pernah dawuh, ’Alal âqili ayyakûna ‘ârifan bizamânihî, bagi orang yang dianugerahi akal sehat, hendaknya bijak dalam mensikapi zamannya. Mbah Moen selalu mengajak santrinya agar tanggap dengan perubahan zaman. Tidak beku dalam berfikir. Ia sering memaknai ayat-ayat suci al-Qur’an sesuai dengan konteks zamannya. Untuk memompa semangat santri-santrinya agar inovatif dan kreatif dalam mensikapi perkembangan zaman.

Mbah Moen mengarang kitab yang berjudul, al-Ulamâ al-Mujaddidûn (Ulama Modernis), pembaharuan yang diharapkan Mbah Moen dalam kitab tersebut tidak seperti tajdid dari kelompok yang baru memahami segelintir ilmu Islam sudah mengaku mujtahid dan mereka mengesampinkan madzhab empat. Akan tetapi, Mbah Moen mengajak untuk menggunakan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh madzhab empat yang kemudian disesuaikan dengan perkembangan zamannya.

Mbah Moen sering bertafakkur terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an yang kemudian dicocokkan dengan kejadian alam yang dihadapinya. Seperti halnya, ketika terjadi stunami di Aceh, selang beberapa hari, Mbah Moen mengunjungi tempat kejadian perkara. Tidak lama kemudian, ia mengarang kitab yang berjudul Tastunami fi Biladina Indonesia Ahuwa ‘Adzabun am Mushibatun. Dalam kitab ini, Mbah Moen mengkaitkan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan kejadian alam berupa tsunami Aceh.

Selain karya di atas, Mbah Moen juga mempunyai karya tulis yang berjudul, Risâlah Mauqûfina haula al-Shaumi wal Ifthâr, Maslakut al-Tanassuk al-Makki fi al-ittishalati bi al-Sayyid Muhammad bin Alawi, Takmilatu al-Maslaku al-Tanassuk al-Makki, Tarâjim Masyâyikhi al-Ma’âhid al-Diniyyah bi Sarang al-Qudamâ’, Taqriraratu al-Jauharu al-Tauhîd, Taqriraratu al-Bad’u al-Amâli, al-Fuyûdu al-Rabbaniyyah, Sirah Hamzah Syatha (sejarah cucu Syaikh Abu Bakar Syatha, pengarang kitab I’ânatu al-Thâlibin), dan lain-lain.

Keterangan foto: KH. Maimoen Zubair, ponpes Al-Anwar Sarang Rembang (Tengah), KHR. As'ad Syamsul Arifin, ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Asembagus Situbondo (Kanan), KH. Hasan Abdul Wafi, ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo (Kiri) sedang berbincang-bincang sambil minum es teh.

Amirul Ulum (Santri Mbah Moen & Khadim Ulama Nusantara Center)


Editor: Daniel Simatupang