Memaknai Nilai dan Tujuan Ibadah Shalat bagi Muslim

 
Memaknai Nilai dan Tujuan Ibadah Shalat bagi Muslim
Sumber Gambar: dok. pribadi/Emil Radhiansyah

Laduni.ID, Jakarta – Manusia memiliki pandangan yang berbeda, mengenai hadirnya agama sebagai sebuah panduan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sadari (2018, pp. 38-40) memberikan dua pandangan mengenai agama, yaitu mereka yang menganggap bahwa lembaga ekonomilah yang sebenarnya menjadi poros hidup manusia.

Di mana, melalui ekonomi diciptakan bentuk hubungan antar kelas sosial di dalam masyarakat, atau dengan kata lain, kelompok ini tidak mempercayai agama sebagai tiang utama penyangga kehidupan manusia di muka bumi.

Sementara kelompok lain berpandangan bahwa dengan kehadiran agama, manusia memiliki tujuan yang jelas atas pencapaian hidupnya, sehingga dengan penerapan hukum agama dapat tercapai suatu bentuk keteraturan.

Kottak (2006) merujuk definisi mengenai agama sebagai sebuah kepercayaan dari beberapa sarjana di bidang ilmu sosiologi-antropologi – seperti Antony Wallace, Reese dan Emile Durkeheim – yang menulis rangkum, sebagai sebuah bentuk kepercayaan dan ritual terhadap suatu hal yang bersifat supernatural, yang memiliki kuasa dan daya, serta menciptakan ikatan emosional di antara para penganutnya.

Selain itu dalam kegiatan ritual ibadah yang dilakukan terdapat seperangkat doktrin yang mengatur hubungan secara vertikal dengan Sang Pencipta dan horizontal mengenai bentuk serta bagaimana hubungan terhadap manusia yang harus dilakukan.

Melalui prolog di atas, penulis akan mengulas makna Ibadah Shalat yang disampaikan oleh Irfan L. Sarhindi. Penyampaian yang diberikan oleh Irfan menarik untuk di perhatikan karena berkaitan langsung dengan pengalaman pribadinya mengenai keutamaan Shalat. Menurutnya, ibadah Shalat dipandang sebagai aspek meditatif yang merupakan jeda dari aktivitas manusia yang padat, sehingga disela-sela itulah manusia dibawa untuk mengingat kembali hakikat hidupnya.

Lebih lanjut disampaikan bahwa ketenangan yang diharapkan dan solusi atas persoalan yang sedang terjadi, justru didapatkan setelah menunaikan ibadah Shalat. kedua hal tersebut membawa kepada perenungan mendalam oleh Irfan, sehingga sampai kepada kesimpulan bahwa adanya hubungan ibadah Shalat sebagai ritual dan sebagai suatu kerangka nilai.

Hal yang disampaikan oleh Irfan senada dengan yang disampaikan oleh Haedar Nashir (Nashir, p. 5) mengutip Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 257 menyatakan bahwa, keberagamaan adalah suatu hal yang mencerahkan, mengeluarkan umat dan lingkungan dari struktur dan keadaan yang penuh kegelapan (ad-dhulumat) kepada an-nur (cahaya kebenaran dan kebaikan). Selain itu menghadirkan agama dalam kehidupan membawa manusia kepada jawaban yang dibutuhkannya atas permasalahan yang dihadapi pada situasi diri dan keadaan lingkungannya.

اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَوْلِيَاۤؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِۗ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ

Artinya: “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 257)

Ibadah Shalat memiliki pemaknaan yang mendalam, lebih dari sekedar ritual yang dilakukan dengan baik dan benar. Hal ini membawa pemahaman mendalam bahwa sebenarnya ibadah Shalat terdapat nilai, misi dan keluaran (outcome). Nilai utama yang didapatkan dengan mendirikan ibadah Shalat adalah adanya kontrol diri yang terinternalisasi melalui ‘takbiratul ihram’.

Hal ini menurut Irfan, Takbir sebagai tahrim dalam ihram shalat yang melatih kendali diri untuk tidak merusak ibadah shalat itu sendiri. Pengucapan Takbir menyatakan bahwa perbuatan yang akan kita lakukan tidak melewati batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah kepada manusia.

Lebih lanjut, melalui ibadah Shalat manusia dihadapkan pada bentuk introspektif diri yang pada akhirnya mengarahkan kepada sikap rendah hati, kasih sayang, penghormatan, dan rasa syukur di mana keempat nilai ini menurut Irfan, terkandung dalam gerakan Shalat. Dengan mengucapkan takbir dalam takbiratul ihram, seorang muslim dibawa untuk tidak menjadi sombong, serta dengan pengucapan tersebut merupakan suatu bentuk konstruksi kesadaran manusia terhadap Allah Maha Besar, serta pengakuan terhadap-NYA yang Maha Agung, Maha Luhur dan Maha Suci.

Aktualisasi hal ini dalam kehidupan sehari-hari adalah tidak memandang rendah kepada siapapun. Hal ini senada dengan yang disampaikan dalam al-fiqh al-Manhaji ‘ala Maadzhabi Imam al-Syafi’i, bahwa dengan Shalat, kita merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta yang senantiasa memberikan pertolongan dan menyadarkan bahwa manusia adalah hamba yang sepenuhnya miliki Allah (Sahroji, 2017).

Nilai kasih sayang juga terkandung dalam ibadah Shalat, yang terkandung melalui penghayatan basmalah dan surah al-Fatihah. Irfan menggambarkan sifat Rahman Rahim sebagai sifat Allah yang perlu diteladani.

Nilai lain yang terkandung dalam ibadah Shalat adalah adanya sikap disiplin, integritas dan loyalitas. Dalam Qur’an Surah al-Nisa ayat 103 disampaikan sebagai berikut, “Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana bisa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (Marzuki, 2020).

Melalui Ibadah Shalat, diri manusia dilatih untuk melaksanakannya tepat waktu, yang menurut Irfan hal ini membawa jiwa kepada ketaatan. Sementara, nilai integritas didapatkan dari syarat mustaqbilal qiblat dan niat lillahi ta’ala di mana Irfan melihat keduanya merujuk kepada satu tujuan akhir, yaitu kepada Allah.

Dengan mengingat tujuan dalam shalat yaitu mengenai kehadiran Allah dalam kehidupan manusia (Hakim, 2018), sehingga dapat ditambahkan dalam nilai integritas, yaitu mencegah manusia untuk melakukan tindakan mungkar dan keji.

Selain memiliki nilai-nilai intrinsik yang melekat pada gerakan-gerakan Ibadah Shalat, Irfan menambahkan adanya misi yang terkandung di dalamnya. Terdapat lima misi dalam ibadah Shalat, yaitu adanya nilai untuk berlaku adil, munculnya kepatuhan total, terciptanya situasi damai serta aman dan adanya ukhuwah.

Kelima misi tersebut didasarkan pada gerakan I’tidal, sujud, pelaksanaan Shalat berjamaah, salam, serta sifat masjid sebagai lingkungan yang aman. Gerakan I’tidal dimaknai oleh Irfan secara harfiah sebagai sebuah upaya perilaku adil yang berlaku secara tegak lurus.

Secara lugas Irfan berpendapat, bahwa ada hal yang ingin di sampaikan oleh Allah melalui I’tidal yang sama dengan qiyam, berarti tegak dan lurus, sehingga perbuatan adil adalah tindakan yang tidak memihak dan sesuai dengan tempatnya, dan pada akhirnya memiliki nilai output untuk tidak berlaku curang.

Sementara misi kepatuhan total terdapat pada gerakan sujud yang bermakna penghambaan dan ketaatan. Tiga misi lain yang disampaikan yaitu rasa aman, ukhuwah dan damai, menurut penulis memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.

Irfan juga memberikan deskripsi bahwa lingkungan masjid adalah tempat yang aman, karena masjid merupakan tempat berkumpulnya muslim untuk menjalankan ibadah dan pada akhirnya menginternalisasi perbuatan pada ibadah yang dilakukan.

Masjid juga identik dengan pelaksanaan ibadah Shalat berjamaah yang berarti dalam penghayatannya, menurut Irfan, mengupayakan persatuan lintas-level dan menghilangkan perbedaan status sosial karena tujuannya adalah menghadap kepada Allah atas dasar keimanan. Dengan demikian penulis mengacu pada pendapat Irfan mengenai adanya misi damai dalam ibadah Shalat yang dilahirkan pada lingkungan ini.

Pada akhirnya outcome dari ibadah Shalat yang didirikan, yaitu adanya kemenangan dan Muthmainnah. Kemenangan yang dimaksud dalam ibadah Shalat dimaknai oleh Irfan sebagai sebuah pencapaian diri sendiri, karena khusyuk dalam menjalankan proses ibadah serta zikir yang dapat berupa terkabulnya keinginan oleh Allah.

Secara menyeluruh, penulis menangkap makna Shalat yang disampaikan oleh Irfan, bahwa tidak ada hal yang sia-sia dalam menjalankan ibadah Shalat yang telah ditentukan oleh Allah SWT kepada manusia, utamanya kepada umat muslim sebagai pemeluk Islam.

Oleh: Emil Radhiansyah, Dosen Universitas Paramadina


Editor: Daniel Simatupang