Pesan Sayyidina Ali dan Standar Minimalis dalam Beragama

 
Pesan Sayyidina Ali dan Standar Minimalis dalam Beragama
Sumber Gambar: Ilustrasi/Dian Aprilianingrum - Suara Banyumas

Laduni.ID, Jakarta – Setelah gegap gempita perayaan maulid, apa dampaknya? Biaya habis banyak, apa follow up-nya? Toh, jamaah masjid juga nggak berkembang. Pola beragama masyarakat juga begitu-begitu saja. Mubazir.

Demikian komentar yang pernah saya baca. Kritik kalau biaya yang membengkak ada benarnya, tapi soal pertanyaan dampak, saya berusaha menyanggah sebisanya.

Pada dasarnya, manusia itu homo festivus, makhluk festival. Suka merayakan ini itu, biasanya terkait masa lampau yang diseret ke masa kini, tak perlu saya sebutkan jenisnya. Di Indonesia, perayaan bermacam-macam bentuknya, dari perayaan budaya, sosial, hingga agama. Dari kemasan sederhana hingga megah, dari personal hingga massif. Perayaan Maulidurrasul adalah salah satunya.

Dengan caranya, masyarakat secara komunal membentuk basis perkumpulan. Pada satu titik, mereka merayakannya. Motifnya dari melepas penat, membuang stres, silaturahmi, dan tentu saja merayakan cinta kepada Baginda Rasulullah. Prosesi di dalamnya menjadi titik kulminasi kerinduan pada yang dirindu.

Berkaitan dampak, tentu saja ada, baik yang tersirat maupun kasat mata. Dampak jangka pendek hingga efek jangka panjang.

Saya menduga, tingkat okupansi santri yang terus membludak di berbagai pesantren dalam kurun dua dasawarsa terakhir ini adalah salah satu dampaknya. Tak perlu saya ceritakan bagaimana pola kegiatan Maulidurrasul yang secara masif terus diadakan dan dirayakan. Dan, bisa diduga, hadirin yang membanjiri acara-acara seperti ini adalah mereka yang pernah dan sedang mondok, atau tertarik dan sedang memondokkan anaknya di pesantren.

Kalau kita berpikir idealis, kita akan cenderung melakukan gugatan atas realitas yang ada. Semua diangankan sesuai dengan idealisme yang ada. Harus begini-begitu sesuai dengan keinginan kita. Kalau berpikir begini, saya hanya bisa mbatin, dan ini selalu saya pakai, "Ora kabeh uwong koyo kowe!", atau tidak semua orang sepertimu. Semua punya pilihan dan jalan pikiran masing-masing, yang berbeda dengan idealisme kita.

Melihat orang datang mengaji saja sudah senang, tidak perlu ditanya, “Paham nggak?” Melihat mereka hadir meluangkan waktu untuk duduk dan mendengar petuah dari masa lampau saja sudah alhamdulilah tanpa harus bertanya, “Apa dampak ngaji ini pada dirimu?” Menyaksikan antusiasme remaja datang, duduk lesehan tak sampai satu jam ikut mendengarkan ngaji kitab saja sudah membahagiakan.

Saya menyebutnya standar minimal beragama. Datang duduk di acara keagamaan, minimal telah menghindarkan mereka dan pembicaranya dari kegiatan maksiat atau aktivitas nirfaedah.

Dalam Maqalah ke-6 di Nashaihul Ibad, Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah menyampaikan petuah, "Barang siapa yang mencari ilmu maka surgalah sesungguhnya yang dia cari. Dan barang siapa yang mencari maksiat maka sesungguhnya nerakalah yang dia cari."

Syekh Nawawi al-Bantani menambahkan uraian, artinya, barang siapa yang menyibukkan diri dengan mencari ilmu yang bermanfaat, yang mana tidak boleh tidak bagi orang yang aqil baligh untuk mengetahuinya, maka pada hakekatnya dia mencari surga dan mencari kerelaan Allah SWT. Dan barang siapa yang menginginkan maksiat, maka pada hakekatnya nerakalah yang dia cari, dan murka Allah Ta’ala.

Jadi, melihat masyarakat, segelintir maupun membludak, hadir di acara ngaji atau perayaan keagamaan, itu sudah cukup menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Minimal, kata Gus Baha' dalam salah satu ceramahnya, pada saat itu mereka terhindar dari melakukan kemaksiatan.

Jadi, jangan ngoyo, ora kabeh uwong koyo kowe. Idealis itu bagus, pragmatis itu kurang baik. Solusinya gabungan antara idealisme dengan pragmatism, namanya realistis.

Oleh: Gus Rijal Mumazziq Z


Editor: Daniel Simatupang