KH. Hasan Abdillah Ahmad: Pentingnya Perkuat Syariat Dahulu, Baru Thariqah

 
KH. Hasan Abdillah Ahmad: Pentingnya Perkuat Syariat Dahulu, Baru Thariqah
Sumber Gambar: Pesantren.ID

Laduni.ID, Jakarta – Nama almaghfurlah KH. Hasan Abdillah bin Achmad Qusyairi (1929-2012) tidak asing lagi bagi masyarakat muslim Banyuwangi, terlebih di kecamatan Glenmore. Salah satu Ulama dan waliyullah di zamannya memang dikenal sebagai pribadi yang begitu saleh, istiqamah, dan kepeduliannya membina masyarakat dengan dakwah keislaman.

Kontribusinya selama hidup seperti menjadi pelopor haul di Banyuwangi, mendirikan pesantren, pernah menjadi anggota Majelis Pimpinan Haji (MPH) termuda (23 tahun), bersikap ramah kepada siapa pun dan hal-hal kebaikan lainnya, menjadikan beliau begitu dinantikan wejangannya oleh para muhibbinnya.

Tidak jarang pula pada diri beliau terjadi kejadian-kejadian aneh yang secara akal tidak dapat dinalar, namun memang benar terjadi, demikian yang disebut dengan kisah-kisah istimewa yang ada dalam diri waliyullah pada umumnya.

Dalam suasana santai di kediaman Kiai Washil Hifdzi (salah satu putra almaghfurlah KH. Hasan Abdillah), penulis sempat diceritakan riwayat hidup Kiai Hasan tentang betapa pentingnya memperkuat syariat terlebih dahulu, baru boleh melangkah pada jalan thariqah.

Pernah suatu ketika dikisahkan bahwa almarhum H. Abdul Ghafur hendak meminta izin kepada Kiai Hasan untuk ikut thariqah. Lalu Kiai Hasan menanyakan mau ikut thariqah apa kepada H. Abdul Ghafur dan ia pun menyebutkannya. Lalu lanjut tanya Kiai Hasan:

Rotib mbok woco? (Rotibul haddad kamu baca?),”

Inggih (Iya Kiai),”

“Haul hadir?”

Inggih Yai (Iya Kiai),”

Lho iku wes thoriqoh, laopo kate melok thoriqoh macem-macem (Lho itu sudah thoriqoh, ngapain ikut thoriqah yang aneh-aneh),” tutur Kiai Abdillah. 

Jadi Kiai Hasan Abdillah lebih mengedepankan syariat terlebih dahulu sebagai pondasi atau dasar dalam kehidupan beragama (Islam). Bahkan Kiai Hasan pernah berpesan jangan gampang langsung ikut thariqah jikalau syariatnya belum kuat.

Wong awam-awam saiki melok thoriqah, saiki salah penjabaran (Orang-orang awam sekarang pada mengikuti thariqah, pada akhirnya sekarang salah penjabaran/pemahaman),” ujar Kiai Hasan.

Inilah mengapa begitu pentingnya syariat terlebih dahulu yang diamalkan sebagai pondasi awal menuju tahapan ibadah lainnya semacam thariqah hingga tahap selanjutnya. Jika orang awam tiba-tiba langsung belajar thariqah, dikhawatirkan salah penjabaran jika seorang Mursyid/pembimbingnya tidak bisa menjelaskan tentang amalan-amalan kepada santri. Seperti contoh wiridan yang dianggap wajib dan diwajibkan, padahal terkadang dalam suatu keadaan ada hal yang lebih penting untuk diutamakan daripada itu.

Salah satu contohnya waktu itu KH. M. Cholil Bisri (kakak KH. Musthofa Bisri/Gus Mus) yang waktu itu masih menjabat di DPR pusat sempat dawuh ketika di acara haul Kiai Abdul Hamid, Pasuruan.

Abah kulo niku nate pas mantun maghrib wiridan terus wonten tamu, nah Abah kerono wiridan, kulo mboten wani ganggu, mantun niku sampek isya’ kaget abah medal, ‘Loh kok enek tamu?’ didukani kulo kale Abah (KH. Bisri Musthofa),” ujar Kiai Cholil.

(Abah saya itu waktu itu ba’da maghrib wiridan lalu ada tamu datang, nah karena Abah wiridan, saya tidak berani mengganggu beliau, setelah selesai sholat Isya’ Abah kaget ketika ada tamu, dan berkata “Loh kok ada tamu?” lalu saya dimarahi Abah)

Kon kok gak ngomong lek enek tamu?” tanya Kiai Bisri Mustofa. (Kamu kok tidak bilang kalau ada tamu?)

Njenengan tasek wiridan bah,” jawab Kiai Cholil. (Abah soalnya sedang wiridan)

“Loh, wiridan iku sunnah, ngehormat tamu iku wajib,” jelas Kiai Bisri. (Loh, wiridan itu sunnah, menghormati tamu itu wajib)

Inilah mengapa Kiai Hasan Abdillah begitu menekankan pemahaman syariat terlebih dahulu yang begitu penting untuk orang awam, supaya tidak salah pemahaman dan penafsiran tentang pemahaman thariqah, bahkan pengaplikasiannya dalam kehidupan yang kurang tepat.

Terkadang di era sekarang banyak yang beranggapan bahwa wiridan begitu diwajibkan seakan-akan tidak boleh ditinggalkan, padahal ada sesuatu yang lebih penting didahulukan semisal ketika kedatangan tamu seperti halnya cerita di atas.

Kedua, terkadang seorang murid thariqah kepada si Mursyid/pembimbing terlalu berlebihan. Seperti halnya terlalu mengangung-agungkan Mursyid, tapi di sisi lain kalau bukan Mursyidnya tidak begitu dihormati, dan hal ini kerap kali terjadi.

Aku waktu iku pas wafate Kiai Romli sil, aku takziyah rono, yo gak ono sing ngereken nang aku, aku yo gak njaluk dihormati, tapi begitu ketemu Kiai Musta’im baru santri-santrine podo ngehormat,” tutur Kiai Hasan Abdillah kepada putra bungsunya (Kiai Washil). (Wawancara, Kiai Washil Hifdzi Haq (10 Juni 2021)

(Waktu itu ketika wafatnya Kiai Romli sil, Abah takziyah kesana, ya tidak ada yang peduli dengan Abah, Abah ya tidak meminta untuk dihormati, tetapi ketika bertemu Kiai Musta’im baru lah santri-santrinya pada menghormatinya (sungkem dan sejenisnya))”

Padahal seharusnya sikap menghormati tidak hanya kepada seorang Mursyidnya saja, akan tetapi kepada semua Ulama atau Kiai pun harus menaruh hormat kepadanya.

Dari apa yang disampaikan Kiai Hasan kepada H. Abdul Ghafur sebagaimana dalam cerita sebelumnya, yang disebutkan bahwa membaca Ratibul Haddad dan menghadiri Haul juga bisa dikatakan menjalankan thariqah, itu merupakan amalan yang juga diterapkan oleh para Habaib, yaitu thariqah Alawiyyah. Karena Habib Abdullah al-Haddad dianggap sebagai punjernya thariqah Alawiyyah/Alawiyyin. Begitulah menurut pandangan KH. Hasan Abdillah.

Oleh: Ali Mursyid Azisi


Editor: Daniel Simatupang