Moderasi Beragama, Jalan Besar Kemajuan Bangsa

 
Moderasi Beragama, Jalan Besar Kemajuan Bangsa
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Ingin sekali, menjalin persahabatan dan persaudaraan dengan berbagai kalangan, suku dan agama yang berbeda-beda, yang sudah lama hidup di bumi negeri ini. Mereka adalah anak-anak bangsa ini yang hak-haknya harus dihormati dan dihargai. Konstitusi negara pun sudah jelas mengayomi seluruh bangsa.

Persaudaraan kita dilandasi karena kita lahir, hidup dan mati di tanah tumpah darah Indonesia. Tidak ada sekat yang membuat jarak, karena kebangsaan kita sejak dulu dicontohkan oleh para orang tua kita. Dalam aspek sosiologis ini tampakan persaudaraan antar pemeluk agama, jauh lebih indah dan prinsipil dalam upaya menguatkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Moderasi beragama, perlu ditengahkan sebagai "jalan besar" yang akan dilalui oleh kita. Takdir kita sebagai bangsa yang heterogen, plural tentu menjadi dasar kenapa wajib ada saling hormat-menghormati, saling menghargai, saling membantu. Pada soal keyakinan, keimanan suatu agama, mutlak sebagai dimensi khususiatnya masing-masing orang. Bahkan harusnya sudah selesai memperdebatkan soal-soal ini (aqidah). Kini arah kita perlu menguatkan tali kebangsaan dengan moderasi beragama.

Menurut Prof. Quraish Shihab, moderasi beragama dalam konteks Islam sebenarnya sulit didefinisikan. Hal itu karena istilah moderasi baru muncul setelah maraknya aksi radikalisme dan ekstremisme.

Pengertian moderasi beragama yang paling mendekati dalam istilah Al-Qur’an yakni “wasathiyah”. Wasath berarti pertengahan dari segala sesuatu. Kata ini juga berarti adil, baik, terbaik, paling utama. Hal ini diterangkan dalam Al-Qruan:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Dalam hal ini, kita pun perlu mengambil saripati pemikiran Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) terkait moderasi beragama, sebagai jawaban dari kegelisahan melihat fenomena fundamentalisme agama yang digerakan oleh pengasong Wahabisme. Bagi Gus Dur pembaruan dakwah moderasi Islam dengan menegaskan Islam harus menerima pluralitas situasi lokal, serta mengakomodasikannya sangatlah penting.

Gus Dur, menyuarakan gagasan tentang Islam sebagai komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik Indonesia serta pribumisasi Islam. Dimensi pertama gagasan Gus Dur tersebut adalah seruan kepada rekan-rekannya sesama muslim, untuk tidak menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif terhadap konstruk negara-bangsa Indonesia yang ada saat ini.

Dalam pandangannya, sebagai satu komponen penting dari struktur sosial Indonesia, Islam tidak boleh menempatkan dirinya dalam posisi yang bersaing vis-a vis. Ini kita pahami sikap inklusif jauh lebih perlu dicontohkan, sebagai upaya menolak destruksi kehidupan berbangsa dan bernegara atas nama agama.

Adalah KH. Musthofa Bisri, seorang Kiai dan panutan kita semua telah memberikan pandangannya atas keharusan sikap kita kepada semua anak bangsa. KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus menyoroti model dakwah yang berkembang di Indonesia. Saat ini, menurut Gus Mus, banyak orang mengaku berdakwah, mengajak kepada Islam, tapi dia sendiri menjauh dari akhlak Islam. Bukannya memberi contoh moral yang mulia, malah mengajarkan untuk membenci sesama, lalu mengobarkan permusuhan kepada siapa saja di luar kelompoknya. Puncaknya menebar teror di mana-mana.

Selain menyalahi cara Rasulullah, menurut Gus Mus, cara itu juga mengingkari perintah Gusti Allah. Ia mengajarkan agar mengasihi sesama dan menghormati tetangga. Harus pula membangun persatuan dan mengutamakan kerukunan antar umat beragama.

Tiga tokoh ulama yang saya kutip pemikirannya ini, cukup untuk jadi acuan dalam sikap kita hidup dalam moderasi beragama. Jauh lebih masalahat, menguntungkan posisi Indonesia di mata dunia, menjadi catatan baik di masa yang akan datang bahwa negeri ini selalu damai dan bersatu dalam lingkup masyarakat Madani yang saling tolong menolong.

Saling hormat menghormati, saling melengkapi, dan saling dukung apapun keyakinan agamanya, apapun suku dan adat istiadatnya. Sekali Bhineka Tunggal Ika, sekali itu kita langgengkan hingga hari kiamat tiba.

Walantaka, 29 Desember 2021
Oleh: Gus Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten


Editor: Daniel Simatupang