Kesadaran Identitas, Budaya dan Agama

 
Kesadaran Identitas, Budaya dan Agama
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Bangsa Nusantara adalah bangsa yang sudah mendiami negeri ini sejak ribuan tahun silam, mereka yang lahir, hidup dan mati di tanah air Nusantara. Silih berganti zaman ke zaman, dari masa ke masa, Nusantara adalah bentangan tanah yang indah, kandungan alam yang kaya, warna-warni budaya, bermacam-macam keyakinan dan adat istiadat. Ribuan pulau, ratusan bahasa, aneka ragam kuliner, berjenis-jenis flora dan fauna, bersuku-suku dari ujung Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulo Rote. Inilah Indonesia kita.

Proses panjang bangsa ini dalam bingkai peradabannya, menghantarkan bangsa Nusantara sebagai bangsa yang majmuk, bhinneka. Bahkan proses sejarah yang panjang, bangsa kita adalah bangsa yang paling toleran, terbuka dan beradab.

Saat kita gigih memperjuangkan moderasi beragama sebagai cara dan sikap beragama kita untuk tujuan perdamaian antar umat beragama, terwujudnya kerukunan antar umat, menghindari saling benturan, bentrok,  atau yang lebih parah konflik agama. Ada sekelompok orang yang berupaya merusaknya. Dendam politik seolah jadi dasar untuk menolak apapun yang jadi kebijakan pemerintah, dan agama yang paling dipentingkan jadi target objek untuk diperas. Agama seperti magnet besar memancing emosi umat, karena dijadikan alat kepentingan.

Beberapa peristiwa belakangan ini menggugah untuk disikapi. Kesadaran untuk ikut ambil bagian dalam upaya memberi solusi, menjawab persoalan-persoalan, menumbuhkan sikap kuat atas keajegan toleransi yang sudah tertanam dan terbangun oleh leluhur kita, ini pula kita maksud sebagai identitas bersama yang terus kita perjuangkan tanpa batas.

Reza Wattimena, mengatakan Identitas adalah label sosial yang ditempelkan kepada kita, karena kita menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Ada beragam bentuk identitas yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari ras, agama, suku, negara, aliran pemikiran sampai dengan gender. Kita menerima identitas kita dari tempat dan kelompok, di mana kita lahir. Identitas itu berubah, sejalan dengan meluasnya hubungan kita dengan kelompok-kelompok lainnya.

Ketegangan biasanya terjadi, karena orang merasa identitasnya dihina oleh orang lain. Orang menyamakan dirinya dengan identitas kelompoknya. Ketika kelompoknya dihina, maka ia akan juga merasa terhina. Inilah yang disebut sebagai kemelekatan pada identitas, yang menjadi akar dari banyak konflik di dunia ini.

Namun, identitas tidak hanya terkait dengan kelompok, tetapi dengan setiap label yang kita lekatkan pada diri kita masing-masing. Sejak kita lahir, kita sudah diberi nama. Kita pun menyamakan diri kita dengan nama tersebut. Kita melekatkan diri kita pada nama yang diberikan oleh orang tua kita. Ketika nama itu dihina, kita pun akan merasa terhina.

Cendekiawan muslim dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Amin Abdullah mengatakan, kehidupan beragama dan berbudaya mengalami proses disrupsi dan mengarah pada perpecahaan. Jika tidak diselesaikan, dalam 20-30 tahun kedepan agama dan budaya akan terpisah dan saling bermusuhan.

Ada dua faktor penyebab menurut Amin Abdullah. Proses reformasi melahirkan otonomi. Daerah-daerah otonom itu kemudian melahirkan aturan-aturan yang eksklusif, seperti Perda Syariah. Faktor kedua menurutnya adalah hilangnya unsur lokal dalam beragama, karena paham transnasionalisme yang dibawa oleh sebagian pemimpin agama. Padahal negara-negara asal paham itu, kini berada dalam konflik berkepanjangan.

Singkatnya, selama kita ini masih Bangsa Indonesia yang hidup dan mati di negeri ini (Negara Kesatuan Republik Indonesia) selama itu pula identitas kolektif kita adalah kebhinekaan. Sesungguhnya kebhinekaan adalah takdir bangsa ini yang tidak bisa ditolak dan itu selama-lamanya.

Serang, 10 Januari 2022
Oleh: Gus Hamdan Suhaemi, Wakil ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten


Editor: Daniel Simatupang