Gus Nadir: Kita Cenderung Memilih Sesuatu yang Memang Kita Ingin Percayai

 
Gus Nadir: Kita Cenderung Memilih Sesuatu yang Memang Kita Ingin Percayai
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Di dalam cafe yang terlihat hampir penuh, seorang bapak mendekati meja di mana duduk seorang perempuan muda. Kursi sebelahnya kosong, maka dengan sopan bapak tersebut bertanya:

“Maaf, kursi ini kosong? Boleh saya duduk di sini?”

Tiba-tiba perempuan muda itu berteriak keras sehingga semua pengunjung mendengarnya dan segera melihat ke arah mereka berdua.

“Apa?! Bapak mencoba menawar saya? Dasar lelaki tua gak tahu diri! Kamu pikir saya perempuan murahan?!”

Merah padamlah muka si bapak itu. Di bawah tatapan pengunjung cafe, bapak itu kemudian berdiri di pojok menanti kursi kosong. Setelah beberapa saat, perempuan muda itu bangkit dan mendekati bapak tua itu,

“Maaf Pak, saya sedang belajar akting, Saya tidak bermaksud membuat Bapak malu.”

Tiba-tiba Bapak itu berteriak kencang yang terdengar oleh semua pengunjung cafe, “Apa? Cuma seratus ribu per jam? Murah sekali harga Anda! Dasar perempuan murahan? Saya gak mau!”

Tanpa tabayyun, pengunjung yang mendengar teriakan dua orang itu tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan bisa jadi, semua berasumsi sama, dan langsung menilai buruk keduanya.

Bayangkan jika kejadian semirip itu terjadi di dunia medsos, dan seperti itu nyatanya sudah terjadi.  Meski sudah menggunakan smartphone, tapi kita hakikatnya tidak lebih dari kerumunan di medsos, yang bersikap reaktif tanpa sempat melakukan verifikasi. Dalam bahasa agama, kita gagal melakukan tabayun terlebih dahulu sebelum bereaksi yang konsekuensinya bisa merugikan pihak lain.

Dalam sekali pencet di layar smartphone sejumlah ajaran akhlak yang diajarkan Nabi dilanggar seketika. Harus tabayun, jangan ghibah, jangan mencari-cari kesalahan saudaramu, jangan memberi label atau panggilan yang buruk, jangan mudah mengkafirkan orang lain, jangan menuduh saudaramu, jangan merusak kehormatannya dengan mempermalukan di depan umum, jangan debat kusir, jangan bersikap kasar, jangan bersikap sombong, jangan menganggap dirimu suci, dan seterusnya.

Kita juga cenderung mempercayai sesuatu yang memang kita ingin percayai. Kalau ada berita jelek atau berita baik tentang seorang tokoh, tanpa berpikir dua kali, kita langsung forward atau share berita tersebut, sesuai isi hati kita yang senang atau benci dengan tokoh tersebut. Jadi, yang menentukan itu bukan benar atau tidaknya isi berita, tapi apakah kita senang atau benci dengan tokoh yang dibicarakan itu. Ini yang namanya bias.

Dalam bahasa ayat ilahi, kita diingatkan untuk bersikap adil meski terhadap kelompok atau orang yang tidak kita sukai. Dalam bahasa Pram novelis keren itu, kita diminta untuk adil sejak dalam pikiran, karena pikiran itu yang akan menentukan tindakan kita selanjutnya.

#Dikutip dari laman FB Gus Nadirsyah Hosen tangal 11/01/2022


Editor: Daniel Simatupang