Rawat Kerukunan Beragama dengan Islam Humanis (Bagian 2)

 
Rawat Kerukunan Beragama dengan Islam Humanis (Bagian 2)
Sumber Gambar: Ilustrasi/Sorogan

Laduni.ID, Jakarta – Sesungguhnya dalam Islam, hak beragama terwadahi dalam hifzh ad-dien. Hak hidup, terbebas dari rasa takut, penganiayaan, penindasan, dan menentukan nasib sendiri tercermin dalam hifzh an-nafs. 

Hifzh al-'aql merupakan prinsip yang menjamin kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat, hak pendidikan, berbudaya, berserikat, dan berkumpul. Sedangkan hak atas jaminan sosial, bebas dari kepalaran, dan upah yang layak.

Akhirnya, hifzh al-'irdl wa an-nasl merupakan muara bagi persamaan derajat di hadapan hukum, hak privacy, hak berkeluarga, hak untuk turut serta dalam pemerintahan, hak atas pekerjaan, dan hak atas peradilan bebas. Begitu mulianya Islam menempatkan sosok manusia. Inilah cita-cita yang melandasi berdirinya masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.

Perjuangan para ulama pada masa penjajahan untuk merebut kemerdekaan, kalau kita amati bukanlah disebabkan oleh tidak terakomodasinya kepentingan-kepentingan umat Islam dalam melakukan ibadah-ibadah ritual, seperti shalat, puasa, dan haji. 

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, justru umat Islam dibuat sedemikian rupa sehingga lebih berkonsentrasi pada pelaksanaan ibadah-ibadah ritual. Yang dituntut oleh para ulama adalah agar keadilan bisa ditegakkan. 

Mereka menentang penjajah bukan bertujuan agar semua orang bisa melakukan shalat, puasa, atau haji. Tetapi bagaimana nilai-nilai kemanusiaan, seperti persamaan hak di depan hukum, keadilan, kesetaraan, dan kebebasan berekspresi. Oleh sebab itu, bersama-sama komponen bangsa lainnya, para ulama tampil membela kepentingan rakyat dan menentang "aneksasi spiritual" yang memporakporandakan nilai-nilai kebangsaan dan agama masyarakat Nusantara.

Islam mengajarkan bahwa kita semua adalah saudara, kita berasal dari jenis yang sama, tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya, kecuali dengan iman dan taqwa. Ajaran tentang humanisme tergambar dengan jelas melalui pesan-pesan Nabi SAW di Padang Arafah.                                         

Lebih 14 abad yang lalu, di padang Arafah yang tandus, yang kini mulai ditumbuhi pohon-pohon menghijau, Rasul Muhammad SAW menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang luhur. Dalam pidato perpisahannya di sana, juga dalam rangka ibadah haji, yang disebut haji wada' atau haji perpisahan, sebagai ibadah haji terakhir sebelum beliau wafat.

Rasul yang menjadi rahmat bagi alam semesta itu menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang amat mengharukan dan berkesan sampai kelubuk hati.

"Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap orang yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah, kecuali dengan taqwanya." (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami)

Pidato perpisahan yang amat singkat itu membuat para sahabat Nabi terharu, sehingga pakaian ihram mereka yang putih bersih itu bersimbah air mata, menandakan pesan itu amat berkesan dan sangat berpengaruh terhadap prilaku mereka.

Misi perdamaian dan persamaan hak inilah yang kemudian dikembangkan dan diperjuangkan para sahabat, sehingga menjadi umat yang besar dan berwibawa yang selalu dikagumi oleh semua bangsa di dunia.

Konsep kemanusiaan dalam Islam begitu luhur, semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kita semua adalah bersaudara, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan lainnya, kecuali dengan iman dan taqwanya. Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. AlHujarat: 13)

Dalam ayat lainnya Allah berfirman:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujarat: 10)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujarat: 11)

Beberapa ayat tersebut di atas, jelas sekali membimbing umat manusia agar menjalin persaudaraan terhadap sesamanya. Saling berpesan mengenai kebenaran, ketabahan dan kesabaran. Dalam beberapa wasiat Nabi SAW banyak sekali dipesankan agar umat manusia menjalin persaudaraan dengan sesamanya. Nabi bersabda:

"Engkau jumpai orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, saling mencintai dan beriba hati antara mereka bagaikan tubuh yang satu." (HR. Muttafaq 'alaih)

"Siapa yang tidak bersikap kasih terhadap sesamanya, maka Allah tidak akan mengasihinya." (HR. Muttafaq 'alaih)

Pesan Arafah yang mulia itu akan tetap abadi, yang dapat kita petik dari pesan itu kali ini, bagaimana kita dapat membangkitkan kembali semangat persaudaraan dan ukhuwah di tengah-tengah masyarakat.

Apalagi dalam suasana krisis ekonomi, sosial, politik dan kepercayaan seperti sekarang ini, sehingga pesan itu benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Peran para pemimpin, ulama atau ilmuwan dan tokoh masyarakat sangat penting dalam memasyarakatkan pesan kemanusiaan yang luhur itu.

Oleh: Aji Setiawan


Editor: Daniel Simatupang