Artis Hijrah dan Kekeliruan Jalan

 
Artis Hijrah dan Kekeliruan Jalan
Sumber Gambar: Ilustrasi/Bimbinganislam.com

Laduni.ID, Jakarta – Entah siapa yang ajarkan agama ke mereka (beberapa artis) yang dulu populer, dan masih laris. Ketika sudah tidak laku karena usia, karena jam terbang sedikit, dan karena sudah membosankan lalu mereka hijrah. Soal mereka hijrah dengan niat taubatan nasuha, sungguh niatan mulia sekali.

Sadar seseorang dalam hidupnya ketika terjadi dalam dirinya, satu sikap, satu titik balik atau titik nadir untuk perubahan hidup. Jika saja hijrah dimaknai sebagai taubatan nasuha jelas itu sikap yang kita dukung, bahkan kita yang bukan artis harusnya belajar pada sikap artis yang sudah bertobat.

Tapi, hijrah ternyata tidak dimaknai taubatan nasuha, melainkan pindah dari kebiasaan lama kepada kebiasaan baru, pindah dari estafet pertama (kehidupan glamor) ke estafet kedua atau akhir (kehidupan agamis), namun dibarengi paham yang berbeda. Paham yang bersifat eksklusif, cenderung fundamentalis, dan mengarah bagaimana berislam sesuai anjuran golongan ahli salaf (Wahabi salafi). Tujuannya jelas bagaimana mengamalkan agama sesuai dengan kehidupan Nabi, tidak ada bid’ah, tidak ada tahayyul, tidak ada khurafat. Semua harus hidup layaknya di zaman Nabi SAW masih hidup.

Hijrah model itu lebih tepat disebut tajahhul (keadaan bodoh), dan hijrah macam di atas adalah kekeliruan jalan, karena yang membimbingnya sudah beda jalan. Ajakan murobinya kembali seperti di kehidupan zaman Nabi, dengan pengertian menghindari bid'ah jelas adalah perbuatan bid'ah itu sendiri.

Lihat dan pikirkan, bahwa menghindari bid'ah, lalu memfatwakan haram pada setiap kebiasan hidup manusia umumnya adalah juga fatwa tersebut disebut bid'ah. Dasarnya darimana? Justru kalau bersandar pada ayat-ayat suci Al-Qur'an, akan nampak kemukjizatannya karena satu ayat akan banyak tafsir, satu ayat saja ditafsiri lalu akan muncul tafsir-tafsir lainnya.

Lihat fakta, banyak kitab-kitab tafsir itu menunjukkan bahwa ayat-ayat suci Al-Qur'an berlaku untuk semua zaman hingga akhir dunia ini, berlaku untuk semua manusia, jin dan alam semesta. Jelas ada dinamisasi di dalam ayat-ayat Al-Qur'an.

Lalu, kenapa ada pandangan kembali hidup seperti di zaman Nabi. Prinsip pengamalan Islam secara fundamentalis justru adalah bid'ah. Karena cenderung mengada-ada, dan ini jalan yang keliru, kekeliruan yang didasarkan dari penguasaan atas ilmu agama yang sangat dangkal dan bodoh. Sementara mereka berbasis teks, ini artinya ada potensi mentakwilkan ayat dan hadis dengan semaunya, dengan kebodohannya.

Kita tidak alergi atas hijrah, dari saudara-saudara kita yang berprofesi artis. Tapi ketahuilah hijrah jangan dipasang sebagai kedok untuk menutupi kebejatan, kemaksiatan, dan juga niatan busuk dan bedebah dalam upaya pengkerdilan terhadap Islam. Hijrah lagi-lagi disimbolkan dengan jenggot panjang, jidat hitam, cadar dan celana cingkrang. Padahal hijrah itu sikap merubah dari kebodohan agar mengetahui, hijrah dari kemunafikan agar berlaku jujur, hijrah dari kemaksiatan agar beramal soleh. Bukan merubah penampilan, tapi sikap.

Mengenali agama itu dari ilmu agama, maka belajar agama harus melalui ilmunya, kepada siapa mendapatkannya. Jawabnya jelas ya dari ulama. Agama sekali lagi akan dikenali secara kaffah jika tuntas belajar ilmu agamanya.

Perhatikan dan pahami apa yang sudah disabdakan oleh kanjeng Nabi.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ، أَنَّهُ قَالَ: ” يَا ابْنَ عُمَرَ دِينُكَ دِينُكَ، إِنَّمَا هُوَ لَحْمُكَ وَدَمُكَ، فَانْظُرْ عَمَّنْ تَأْخُذُ، خُذْ عَنِ الَّذِينَ اسْتَقَامُوا، وَلا تَأْخُذْ عَنِ الَّذِينَ مَالُوا“

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar RA, bahwa Nabi SAW bersabda, “Wahai Ibnu ‘Umar, (jagalah) agamamu! (jagalah) agamamu! Sesungguhnya agamamu adalah daging dan darahmu, maka perhatikanlah dari siapa kau mengambilnya. Ambillah (ilmu agamamu) dari orang-orang yang istiqomah (Istiqomah di atas sunnah, mengikuti tuntunan Rasulullah SAW), dan janganlah kau mengambilnya dari orang-orang yang menyimpang.”

Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin (seorang ulama tabi’in) dan Imam Malik bin Anas rahimahumallah serta sejumlah ulama as-salafus shalih lainnya, mereka berkata:

 إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

“Sesungguhnya agama (Islam) ini adalah ilmu, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil (ilmu) agama kalian.” (Lihat Fadhlul ‘Ilmi Wa Adaabu Tholabihi Wa Thuruqu Tahshiilihi Wa Jam’ihi, karya Abu Abdillah Muhammad bin Sa’id bin Ruslan, hal.128)

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا ( رواه البخاري )

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan. (Hadits Riwayat Imam Bukhari)

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ تَلِيدٍ حَدَّثَنِى ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ شُرَيْحٍ وَغَيْرُهُ عَنْ أَبِى الأَسْوَدِ عَنْ عُرْوَةَ قَالَ حَجَّ عَلَيْنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو –رضي الله عنهم- فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ e يَقُولُ : ( إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاهُمُوهُ انْتِزَاعًا ، وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ ، فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ ، فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ )

“Imam Bukhori rahimahullahu ta’ala berkata bahwa Said ibnu Talid telah berkata bahwa Ibnu Wahbin telah berkata bahwa Abdurrahman bin Syuraih telah berkata yang demikian juga dari yang lainnya juga dari Abi Aswad dari Urwah dia berkata bahwa Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radiallahu anhuma berhaji kepada kami (Makkah) dan aku (Urwah) mendengarnya mengatakan bahwa aku mendengar Rasulullah SAW mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu itu setelah ilmu itu diberikan kepada kalian, akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut nyawa para ulama dengan ilmu mereka. Tinggallah manusia-manusia yang jahil. Mereka dimintai fatwa, mereka pun berfatwa, tetapi dengan logika saja. Akibatnya mereka sesat dan menyesatkan.’” (Hadits riwayat Imam Bukhori)

Sebelum terlambat dalam kesesatan yang terbungkus dalam kedok hijrah, sebaiknya memikirkan kembali jalan yang harus ditempuh. Keselamatan beragama jauh lebih penting dari sekedar jargon dan simbol hijrah. Sebab hijrah itu secara subtansial adalah menuju keselamatan, selamat dengan kesahihan dan kesalehan beragama.

Cipocok, 15 Januari 2022

Oleh: Gus Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten


Editor: Daniel Simatupang